Mendengar ucapan yang terdengar tidak tulus dari Shevia, Juna dan Anika saling bertatapan satu sama lain. Anika terlihat sedih dan menjadi tak enak hati.Mengetahui perubahan air muka Anika, Rinjani menyodokkan sikunya perlahan ke Shevia di sampingnya untuk memberi kode. “Aiyaa … tentu saja mereka akan langgeng. Sudah terlihat dari bersinarnya muka mereka, ‘kan?”Untuk menetralkan atmosfir yang kurang nyaman dari Shevia baru saja, Rinjani tertawa agar suasana jadi lebih cair.Shevia akhirnya juga sadar kalau dirinya menyebabkan Anika sedikit terlihat muram. “Ah, Kak Anik! Aku tak sabar ingin lihat penampilan Kak Anik nanti malam! Pasti super cantik!”Dengan cepat, Shevia membelokkan topik obrolan ke arah lain sambil meraih kedua tangan Anika. Tak lupa dia juga menyematkan tawa riangnya.Shevia tak mungkin melupakan kekonyolan yang pernah dia ucapkan pada Anika ketika mereka sempat berduaan saja.“Kak Anik, Juna ganteng, yah! Dia juga hebat. Aku selalu merasa nyaman kalau ada di dekat
“Shevia!” pekik beberapa orang sekaligus, termasuk Juna. Sedangkan orang lain segera merunduk, berjongkok ketakutan.Semua terjadi begitu cepat dan tidak terduga, sampai-sampai Juna saja lengah. Ada orang yang membawa senjata api dan menembakkannya ke dia, tapi dihalangi Shevia.Juna segera bergerak cepat, lari mengejar orang yang tadi meletuskan senjata apinya. “Berani sekali kamu!”Dia melancarkan energi kanuragannya sehingga berhasil menumbangkan orang itu meski dari jauh.“Argh!” Pelakunya jatuh terjerembab dan tak bisa ke mana-mana lagi.Dibantu petugas katering, Juna berhasil meringkus pelakunya dan seseorang lain menelepon polisi.“Kamu! Sangat hebat sekali kau!” Juna menarik bangun orang itu sambil matanya sudah dipenuhi dengan hawa membunuh.“Ya! Aku memang hebat! Memangnya kenapa?” Pelakunya ternyata masih muda dan terlihat bukan seperti preman atau sejenis suruhan.Kening Juna berkerut heran, kenapa penampilan orang ini sepertinya memang terbiasa di kelas atas? Kalau preman
“Semua ini pokoknya gara-gara kau!” Hamid sudah terlalu emosi sampai tinjunya melayang ke Juna.Dhuakk!Juna tidak menghindar dan menerima tinju dari Hamid dengan sikap penuh ksatria. Dia bisa saja mengelak atau menangkap serangan Hamid, tapi tidak melakukannya.Di hatinya, Juna membatin, ‘Aku memang sudah bersalah, jadi biarlah aku menerima kemarahan Hamid kali ini saja.’“Mas!” Anika memekik tertahan.“Jun!” Rinjani juga demikian.“Papah!” Ibunya Shevia turut menjerit tertahan melihat kelakuan suaminya yang di luar dugaan.“Om, jangan begitu, dong!” Rinjani sudah pasang badan di depan Juna sambil berkacak pinggang dan memicing mata tajam ke Hamid di hadapannya.“Rin, tak apa.” Juna menyentuh bahu Rinjani sambil menggeser pelan tubuh wanita itu. “Pak Hamid, saya benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi dengan Shevia. Kami juga tidak mengira—““Kalau sampai Shevia kenapa-kenapa, cacat sekali pun, aku akan tuntut kamu untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya!” Hamid memotong ucapa
Rinjani masih tak paham dengan ucapan Anika barusan. Apa dia salah dengar? “Energi murni … apa? Chakra?”Anika menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan. Dia tidak tega melihat kondisi Shevia yang demikian.“Lebih baik dicoba daripada hanya diam saja dan menunggu lama.” Anika berbisik, sebenarnya untuk dirinya sendiri.Rinjani tidak bisa berbuat apa-apa dan menuruti saja keinginan Anika yang meminta dia untuk berjaga-jaga di pintu andaikan nanti ada orang masuk.“Ayo, Shevia, izinkan aku untuk menyembuhkan kamu. Sang Hyang Widhi … beri aku kekuatan.” Anika berbisik setelah Rinjani menjauh dari tempat tidur Shevia.Kedua tangan Anika segera membentuk mudra terlebih dahulu untuk mengumpulkan energi di telapak tangannya sembari dia merapalkan mantra jawa kuno yang mendadak saja muncul di kepalanya.Tak berapa lama, dari tapak tangan Anika, muncul berkas sinar samar yang kian lama, kian jelas dan terang.“Shevia, lekaslah bangun dan sembuh, yah!” bisik Anika sembari menempelkan tapak ta
Ketika Hamid masuk lagi ke ruang perawatan putrinya, dia mendengar istrinya menyeru, “Aku benar-benar akan melaporkanmu karena sudah macam-macam dengan putriku!”Mata Hamid langsung mendelik bengis ke Anika, siap melontarkan kata-kata kejam yang lebih lebih menyengat ketimbang istrinya. Bahkan mulai mengeluarkan ponsel untuk menghubungi polisi.Namun ….“Ermmgghh ….” Ada gerakan kecil dari Shevia.“She—Shevia bangun!” Rinjani lebih dulu berseru sambil matanya membola.Segera saja, Hamid dan istrinya mendekat ke putri mereka. Juna tahu diri dan membopong Anika menjauh dari ranjang rawat inap tersebut.“Via! Via Sayang! Nak?” Ibundanya memanggil Shevia berulang kali sambil mengusap wajah pucat Shevia.Mata Shevia perlahan saja membuka.“Shevia! Kamu tidak apa-apa?” Hamid memeriksa putrinya, berharap tidak terjadi sesuatu pada putri semata wayangnya.Perawat yang sudah datang lekas saja mengambil alih untuk memeriksa kondisi terbaru Shevia.“Kok sudah sadar, yah?” bisik salah satu perawa
Rinjani lekas menyusul Juna untuk bertanya, “J—Jun! Tunggu dulu! Kamu mau ke mana?”“Membawa adik iparku datang ke sini. Tolong atur Nik mendapatkan kamar rawat inap VIP untukku, yah! Aku akan sangat berterima kasih padamu akan itu.” Usai menjawab pertanyaan Rinjani, Juna melanjutkan langkah cepatnya karena dia buru-buru harus lekas tiba di unit apartemen yang ditempati Hartono.Ya, dia memang berencana membawa Rafa untuk memulihkan Anika. Meski ini sudah termasuk pagi dini hari, dia yakin Rafa pasti bersedia.“Jun?” Hartono yang membukakan pintu apartemen pun merasa heran melihat Juna yang seperti baru berlari.“Pa, Rafa di mana? Ada di kamar?” tanya Juna sambil masuk ke hunian sementara yang dia atur untuk keluarga kecil ayah mertuanya.“Iya … dia di kamarnya, sudah tidur.” Hartono masih kebingungan.“Aku minta tolong agar Rafa boleh aku bawa sebentar ke rumah sakit, yah Pa.” Juna memberikan muka memohon.“Kenapa?” Hartono kebingungan. Dibangunkan oleh Juna dini hari begini, tentu s
“Rin, apakah kondisi vital Nik baik-baik saja?” Juna bertanya sambil menghilangkan selubung halimunan dari tubuh Rafa.Dia tidak menggubris wajah terkesiap Rinjani yang melihat kemunculan Rafa secara gaib di depan matanya.“Di—Dia! Dia! Dia! Dia hantu?” Rinjani sambil menunjuk ke Rafa di gendongan.Wajar saja bila Rinjani sampai tergagap panik melihat kemunculan tak disangka-sangka dari Rafa. Dia yang tidak pernah bersinggungan dengan hal mistis, kini dipaksa melihat banyak hal di luar nalar logikanya.“Jangan ngawur, ini adik iparku yang kukatakan tadi.” Juna menurunkan Rafa di ranjang tempat Anika dibaringkan.“A—Adik ipar, astaga!” Rinjani kembali terkesiap akan jawaban Juna. “Dia … dia yang akan menolong Anika? Jun! Jangan bercanda!”Kini Juna sudah lebih tenang dan dia tertawa kecil pada keterkejutan Rinjani.“He he … jangan menilai dia dari kecil tubuh dan umurnya.” Juna sambil melihat Anika yang sudah mendapatkan tindakan pemberian cairan infus di tangan.Juna membangkitkan tub
“Enggak apa, Kak Rin. Aku siap nerima itu karena aku juga salah udah berbuat suatu hal ke Shevia tanpa meminta persetujuan mereka.” Anika menggeleng pelan sambil memunculkan senyumnya.Akhirnya, Juna menggandeng Anika sambil terus menggamit pinggang istrinya, berjaga-jaga andaikan Anika masih lemas dan berkemungkinan limbung.Di belakangnya, Rinjani hanya bisa menatap canggung pasangan baru di depan matanya. Dia membatin, ‘Sepertinya cinta mereka memang tidak mudah digoyahkan. Aku jadi malu udah maksain diri ke Juna. Hgh!’Masuk ke ruang VIP tempat rawat inap Shevia, dia sedang makan buah dikupaskan ibunya yang duduk di samping ranjangnya.“Potong kecil-kecil saja, Ma. Eh, Mbak Anik!” sapa Shevia ketika melihat kedatangan rombongan kecil tiga orang memasuki kamarnya.Melihat kedatangan Juna dan dua lainnya, tatapan mata Hamid ternyata tidak lagi segarang sebelum ini. Justru dia seperti sungkan saat bertemu pandang dengan Anika.Hamid mendekat ke Juna yang sedang memegangi Anika. Juna