Hari ini sudah genap seminggu Davina bekerja sebagai pengasuh Clay. Edwin benar-benar menepati kata-katanya. Fasilitas yang diberikan kepada Davina sungguh tidak main-main. Dan Davina pun sebenarnya mendapatkan kamarnya sendiri. Cukup besar dan sangat nyaman. Tapi kenyataannya Davina lebih sering menghabiskan malamnya di kamar Clay. Bocah itu benar-benar tidak mau melepaskan Davina bahkan sedetik saja.Sungguh, bukannya Davina merasa keberatan. Hanya saja Davina sesekali terpikir bagaimana keadaan Clay jika Davina benar-benar pergi dari rumah ini?"Clay sudah mengantuk? Kita tidur yuk, nanti besok kita akan bermain lagi." Bujuk Davina sembari mengusap lembut kepala Clay.Clay mengangguk dengan patuh. Anak laki-laki itu selalu patuh pada Davina. Ia mendengarkan setiap kata-kata Davina dengan baik dan tidak pernah membantah. Tiba-tiba terpikir oleh Davina tentang pertanyaan yang selalu ia pikirkan itu. Ia mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Clay. Karena Davina sadar bena
Davina melangkah keluar dengan cepat dari kamar Edwin. Jantungnya berdebar tidak karuan karena kejadian tadi. Davina bahkan merasa wajahnya terbakar rasa malu dan memerah seperti tomat. Dengan tergesa-gesa, Davina masuk ke kamarnya yang berada di lantai satu. Ia membuka pintu dan segera bersembunyi di balik selimutnya. "Gila! Apa-apaan ini? Kenapa jantungku berdebar kencang sekali?" Seru Davina heboh kepada dirinya sendiri.Kaki Davina sibuk menendang-nendang selimutnya. Ia dapat merasakan perutnya yang terasa lucu. Seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan disana. Davina berusaha keras mengatur nafasnya dan membuat dirinya lebih tenang. Ia berbaring dan berusaha memejamkan matanya untuk tidur namun yang ia lihat hanyalah wajah Edwin disana."Argh! Sialan! Aku bisa gila kalau seperti ini!" Gumam Davina kesal.Davina menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Ia kembali membayangkan momen yang hanya terjadi beberapa detik tadi. Betapa dekatnya wajah Davina dan Edwin. Betapa
Hari ini adalah hari keberangkatan Clay untuk mengikuti karyawisata sekolahnya. Dan karena Davina bukan lagi guru di sekolah Clay, gadis itu tidak bisa lagi menyertai Clay dalam perjalanannya. Jadi yang dapat Davina lakukan hanyalah mengantar bocah itu bersama ayahnya."Clay hati-hati disana ya. Nanti kalau sudah sampai, jangan lupa untuk menelepon Papa ya." Pesan Edwin kepada Clay.Clay mengangguk mantap. Senyumnya menyeringai memamerkan deretan giginya yang putih dan seperti kelinci."Siap, Pa!" Jawab Clay bersemangat.Davina berdiri tak jauh dari keduanya dan tersenyum bangga kepada Clay. Untuk pertama kalinya bocah itu akan bepergian sendiri dan Davina merasa sangat bangga terhadap Clay. Seolah gadis itu adalah ibunya sendiri.Clay melihat ke arah Davina dan berlari menghampirinya. Ia memeluk erat Davina hingga topi yang ia pakai terlempar ke belakang."Clay pergi dulu ya, Miss. Sebentar kok, cuma tiga hari. Miss jangan kangen sama aku ya." Canda Clay dengan riang.Davina beraktin
Di depan matanya, Davina melihat Edwin yang bertelanjang bulat. Tangannya tampak memainkan kejantanannya dengan cepat. Ia memompa miliknya sendiri dengan gerakan yang membuatnya mengerang. Iya, Davina tidak salah lagi. Erangan itu berasal dari Edwin yang sedang bermasturbasi di kamar mandinya.Davina mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum sebuah jeritan tertahan lolos dari bibirnya."Bapak? Pak Edwin?!" Seru Davina tak percaya.Edwin dapat mendengar jelas teriakan gadis itu. Ia tercekat karena tertangkap basah sedang bermain dengan dirinya sendiri. Dan yang lebih memalukan lagi, yang memergokkinya adalah gadis yang belakangan ini menjadi objek fantasinya. Davina Anindira. Pengasuh anaknya.Edwin menoleh ke arah Davina yang berdiri di depan pintu kamar mandinya. Ia dengan buru-buru mengambil handuknya dan menutup bagian bawahnya yang masih menegang. Edwin dengan cepat menghampiri Davina seolah ingin menjelaskan apa yang baru saja dilihat gadis itu."Tunggu dulu, Davina. Saya bisa m
Edwin memposisikan miliknya sejajar di depan bagian kewanitaan Davina. Ia yakin benar pasti milik gadis itu masih sangat rapat. Membayangkannya saja sudah membuat bagian bawah Edwin meronta.Edwin mendekatkan tubuhnya pada Davina dan mencium lembut bibir gadis itu. Ia benar-benar berada di bawah Edwin dengan pasrah. Malam ini, Davina akan menyerahkan segalanya kepada pria ini. Dan Davina tidak akan menyesalinya sedikitpun."Katakan pada saya kalau kamu merasa sakit, Davina." Ujar Edwin lembut.Davina mengangguk. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meloncat dari rusuknya. Tapi ciuman Edwin membuat ketegangannya sedikit mencair. "Saya akan memulainya." Bisik Edwin.Pria itu mulai mengambil posisinya. Ia memasukkan ujung kejantanannya ke dalam bagian intim Davina. Sesuai dugaannya, milik Davina begitu sempit dan cukup sulit ditembus. Davina menjerit kesakitan saat milik Edwin menembus sedikit miliknya."Sa-kit... sakit sekali Pak..." rintih Davina pelan.Edwin menghentikan pe
Aroma sarapan pagi menyeruak dari dapur. Memanggil setiap perut yang kelaparan untuk segera turun. Mbak Murni tengah asyik mengaduk dan membuat sarapan sembari menyanyikan lagu campur sari kesukaannya. Tubuhnya yang gempal menari-nari kecil mengikuti alunan gendang khas musik Jawa.Karena Clay sedang mengikuti karyawisata dengan sekolahnya, Mbak Murni bisa sedikit lebih berkreasi dengan sarapannya. Mbak Murni membuat makanan khas daerahnya sebagai menu sarapan hari itu.Edwin menuruni tangga dengan langkah ringan. Suasana hatinya sedang sangat baik sekarang. Alasannya apa lagi kalau bukan karena kejadian semalam. Setelah memimpikan Davina selama beberapa minggu terakhir, akhirnya Edwin bisa bersatu sepenuhnya dengan gadis itu. Tentu saja ia akan merasa berbunga-bunga sejak pagi."Selamat pagi, Bi." Edwin menyapa Mbak Murni dengan senyuman yang cerah.Mbak Murni mengerutkan kedua alisnya dan menatap Edwin heran. Tumben sekali bosnya ini tampak begitu ceria? Bahkan seingatnya Edwin tida
Kata-kata yang baru saja meluncur dari mulut Edwin sontak membuat wajah Davina bersemu merah. Apakah ini artinya semua yang terjadi bukanlah sesuatu yang sesaat? Bukan sebuah cinta semalam melainkan sebuah hubungan yang mungkin berkembang menjadi sesuatu yang lebih? Davina menggelengkan kepalanya. Berusaha menyadarkan dirinya agar tidak berharap lebih pada hal fana seperti itu.Davina sedang larut dalam pikirannya ketika Edwin tiba-tiba menciumnya dengan lembut. Tepat di bibirnya yang kemerahan dan selalu tampak menggiurkan bagi Edwin. Davina terhenyak dan mengerjapkan matanya."Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Edwin penasaran."Bukan apa-apa, Pak." Jawab Davina berbohong.Edwin tertawa pelan. Ia lalu meraih sarapan yang ada di atas nakas dan menyodorkannya kepada Davina."Makan ini. Jangan sampai sakit karena semalam." Ucap Edwin.Davina hanya dapat menatap Edwin dengan mulut yang sedikit menganga. Seolah tersadar dari lamunannya, Davina mengangguk pelan. Menuruti apapun yang dikatakan
Hari itu, Edwin benar-benar mengajak Davina berkeliling tempat-tempat elit Jakarta. Mengenalkan dunia yang Davina kira bahkan tidak pernah ada. Keduanya menjelajahi gemerlap kehidupan kelas atas berdua. Seolah dunia indah itu memang hanya milik mereka berdua.Edwin memarkirkan mobilnya di taman dekat kompleksnya. Langit sudah gelap dan jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Itu berarti hampir seharian penuh mereka mengelilingi setiap jengkal kota Jakarta. Namun tampaknya Edwin masih ingin menghabiskan waktu bersama gadis yang ada di sampingnya ini.Davina menatap Edwin dengan tatapan bingung."Kenapa kita berhenti disini, Pak?"Edwin menyenderkan tubuhnya ke jok mobil. Menikmati setiap kesunyian malam itu dengan hanya danau buatan khas kompleks elit mereka yang ada di hadapannya. Entah apa yang dimiliki Davina, tapi Edwin merasa ia bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama gadis itu. Sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan. Sisi dirinya dibalik topeng kokoh yang selalu ia pakai."Saya
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun