Sepasang pria dan wanita tampak berpegangan tangan dengan erat sembari menunggu kedatangan sebuah bis. Pasangan itu adalah Davina dan Edwin yang sedang menjemput Clay pulang dari karyawisatanya. Sudah tiga hari bocah itu pergi dan rasa rindu Davina sepertinya sudah tidak terbendung lagi.Tak berapa lama, sebuah bis bergerak mendekati sekolah tempat Davina dan Edwin menunggu. Riuh keramaian bahkan sudah terdengar saat bis itu masih berjarak sepuluh meter. Davina tersenyum sumringah saat mengenali Clay yang kepalanya menyembul dari jendela bis.Davina melambaikan tangannya dengan penuh semangat ke arah Clay. Bis itu pun akhirnya merapat dan berhenti. Rombongan bocah yang tampak menggelap karena terlalu banyak bermain di pantai itu berlarian menghambur. Setiap anak sibuk memeluk orangtuanya masing-masing. Tak terkecuali dengan Clay. Bocah itu berlari kencang dan memeluk Edwin. Setelahnya ia langsung beralih ke Davina dan merengek minta digendong."Miss! Gendong aku, please." Pinta Clay y
"Miss, apakah Miss suka tinggal disini?"Clay bertanya kepada Davina sembari memainkan ujung pakaian Davina dengan jemari mungilnya. Keduanya berbaring di ranjang empuk milik Clay dengan Davina yang memeluk bocah itu sembari mengelus kepalanya. Rutinitas setiap malam yang sekarang menjadi kebiasaan bagi keduanya.Davina mengangguk pelan."Iya, Miss suka sekali tinggal bersama Clay disini."Clay menggeliat dan meringkuk memeluk Davina erat. Bocah itu menguap dan matanya tampak sudah mengantuk. Davina tersenyum lembut karena hatinya terasa hangat diperlakukan Clay seperti itu."Clay sangat sayang Miss Davina. Jangan tinggalkan Clay ya Miss?" Pinta Clay sembari memeluk Davina semakin erat.Davina mencium puncak kepala Clay dengan penuh kasih sayang. Tanpa ia sadari, air mata menetes di sudut matanya. Hatinya begitu tersentuh dengan aksi kecil seperti ini. Davina seolah menemukan hangatnya sebuah keluarga di rumah ini. Rumah yang tak pernah ia kira akan menjadi tempat hatinya terikat."Mi
Davina mengedipkan matanya beberapa kali. Berusaha memproses perintah yang dikeluarkan oleh Edwin. Beberapa saat kemudian, gadis itu mengangguk dan menurutinya. Davina melepas atasan piyamanya dan membalik tubuhnya. Ia mengambil posisi seperti yang diminta Edwin. Ia bertumpu dengan kedua tangannya dan kedua lututnya.Dari belakangnya, ia dapat mendengar gemerisik yang ditimbulkan Edwin. Pria itu sedang melucuti dirinya sendiri dengan begitu cepat. Setelah melepaskan seluruh pakaiannya, Edwin memeluk Davina dari belakang. Tubuhnya ikut menekuk mengikuti Davina yang bertumpu dengan tangan dan lututnya.Dari belakang, tangan Edwin merayap ke kedua dada Davina. Meremasnya dengan pelan sembari memilin-milin puting Davina. Gadis itu mendesah pelan. Sensasi luar biasa itu membuat ia kembali bergairah. Kejantanan Edwin yang sudah menegang seolah ingin protes untuk segera masuk ke dalam bagian intim Davina. Edwin segera menurunkan tangannya ke pinggul Davina. Ia lalu memposisikan benda itu te
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa sudah tiga bulan Davina bekerja sebagai pengasuh Clay dan dua bulan menjadi kekasih Edwin. Baik Davina maupun Edwin tidak pernah memberitahukan kepada siapapun tentang hubungan mereka. Tapi keduanya juga tidak menutupi apapun tentang itu. Edwin tidak pernah ragu menunjukkan kemesraannya di rumah dan begitu pula Davina. Setiap malam, Davina akan tidur bersama Clay dan kemudian menyelinap ke kamar Edwin ketika Clay sudah tertidur. Tidak jarang pula ketiganya tidur bersama seperti keluarga kecil yang bahagia.Suasana rumah pun terasa menjadi semakin hangat. Seolah kebahagiaan yang sudah lama hilang itu kini muncul kembali. Musim dingin yang menyelimuti hati Edwin kini telah berganti menjadi musim semi. Setiap hari hatinya merasa hangat karena melihat pemandangan Davina yang tertidur nyenyak di sisinya. Tak jarang pula perasaan bahagia itu menyelinap ketika Edwin melihat Davina yang sedang bermain dan mengurus Clay seperti seor
Davina tersenyum tipis. Senyuman yang menggoda Edwin untuk melumat bibirnya. Namun ia menunggu gadis itu untuk mengatakan apapun yang ada di pikirannya saat itu. Hadiah apa yang dipikirkan oleh Davina untuk Edwin? Dan begitu tiba-tiba?"Hadiah apa?" Tanya Edwin penasaran.Davina lalu bergerak turun dari pangkuan Edwin. Ia lalu berlutut di antara kedua kaki Edwin dan mendongak ke arah Edwin yang duduk di kursinya. Dalam sekejap saja, Edwin sudah mengerti apa yang akan dilakukan Davina selanjutnya. Namun entah kenapa, Edwin ingin bibir Davina mengatakannya sendiri apa yang akan ia lakukan."Apa yang akan kamu lakukan, Sayang?" Ucap Edwin menggoda. Ia memegang dagu Davina dengan ibu jari dan telunjuknya serta mengangkat wajah gadis itu.Davina tersenyum sensual. Ia menjilati bibirnya dengan perlahan seolah sengaja ingin menggoda Edwin."Aku akan membuatmu merasakan kenikmatan yang kamu suka, Sayang." Bisik Davina lembut.Edwin mengangguk mantap. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat ka
"Davina, Clay, apakah semuanya sudah siap?"Edwin berseru dari ruang tengah memanggil Davina yang sejak tadi masih menyiapkan barang-barang Clay. Sementara Clay yang sejak tadi heboh membantu Davina bersiap, menjadi sebal karena ayahnya yang terus menerus memanggil mereka.Dengan bibir mengerucut, Clay berjalan dengan sebal dan mengintip dari pangkal tangga ke arah ayahnya."Papa, sabar sebentar dong! Aku dan Miss Davina kan harus bersiap-siap dulu!" Seru Clay dengan wajah cemberut.Clay berdecak sembari menggelengkan kepalanya."Papa ini memang tidak sabaran sekali!" Gerutunya lagi lalu pergi kembali ke kamarnya.Melihat tingkah anaknya itu tentu saja membuat Edwin tergelak dalam tawa. Kenapa sekarang anaknya itu semakin cerewet dan suka sekali mengomelinya? Edwin tidak habis pikir dengan anaknya yang semakin banyak bicara itu. Dengan geli ia menggelengkan kepalanya sembari berdecak pelan."Clay, Clay."Setengah jam berlalu, akhirnya semua yang akan ikut berlibur ke Bali dan Lombok s
Davina merasa bingung. Sejak di bandara hingga sekarang, raut wajah Edwin tampak begitu gelisah seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Rasanya Davina sangat ingin menanyakan hal tersebut. Ia khawatir kepada kekasihnya itu.Namun menanyakan hal seperti itu di depan Clay bukanlah hal yang baik. Mempertimbangkan itu, Davina menunggu sepanjang hari agar bisa mendapatkan waktu berdua bersama Edwin. Ia takut sesuatu yang buruk sedang terjadi dan Davina malah tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi dua orang kesayangannya itu.Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh malam namun Clay sudah terlalu pulas tidur. Bocah itu terlalu asyik bermain di pantai hingga kelelahan. Dan sekarang suasana kamar yang mereka tempati bertiga seketika menjadi sunyi. Edwin tampak duduk di balkon dengan tatapan yang menerawang ke arah depan. Davina menghampirinya dan memeluk Edwin dengan hangat dari belakang."Hmmm, Sayang." Sapa Davina manja sembari melingkarkan lengannya di leher Edwin.Edwin tersadar
"Apakah Clay sudah tidur?"Edwin bertanya dengan suara yang begitu pelan. Cenderung berhati-hati karena takut membangunkan puteranya. Sungguh, sangat sulit bagi Edwin dan Davina untuk mencari privasi saat liburan mereka berlangsung. Bagaimana tidak? Clay terus menerus membuntuti mereka kemanapun. Bahkan Clay saja enggan untuk tidur di kamar yang berbeda meskipun Edwin sudah menyewa president suite di hotel tersebut.Dan alhasil, Edwin harus terus menahan keinginannya untuk berduaan dengan Davina. Terkadang Davina merasa kasihan dengan kekasihnya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Davina lebih tidak tega jika ia harus mengabaikan Clay yang sangat manja kepadanya."Iya, Clay sudah tidur sejak tadi." Jawab Davina pelan.Gadis itu berjalan dengan hati-hati untuk meninggalkan Clay di kamar kedua yang ada di president suite itu. Davina melangkah tanpa suara dan segera menghampiri Edwin yang sudah menunggunya dengan tidak sabar di kamar utama yang ukurannya lebih besar.Dengan langkah yang ringan
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun