Sara terkejut dan tertegun untuk waktu yang lama sebelum akhirnya sadar apa yang Sandy perbuat. Sara memapahnya untuk kembali berdiri, tapi Sandy malah mendorongnya menjauh."Kalau kamu nggak setuju, aku nggak akan bangun!"Wina yang melihat kejadian ini dari awal sampai akhir pun akhirnya paham kenapa Sara tidak berani berbicara.Sara bukannya tidak mau bertindak kejam, tapi dia tidak bisa bersikap kejam saat berhadapan dengan pria yang begitu rendah hati ini.Sikap Sandy ini membuat Sara merasa Sandy tidak bersalah. Kalau Sandy memang tidak bersalah, tidak adil juga Sara memperlakukannya seperti ini.Wina tidak tahu apakah Sara merasa seperti ini, tapi itulah yang dia rasakan sekarang.Rasanya seperti ada perdebatan batin dan moral. Keputusan yang begitu sulit bagi kedua belah pihak karena akan saling menyakiti.Sandy yang berlutut pun menarik perhatian banyak orang yang lewat.Sara merasa sangat tertekan, dia tidak tahu harus berbuat apa.Sandy tidak mengatakan apa-apa, dia hanya me
Sebelum Wina pamit, dia meraih tangan Sara dan menjabatnya kuat-kuat. "Sara, jangan ngomong gitu. Setiap orang berhak bermimpi tentang pernikahan, cuma tinggal pernikahannya akan bahagia atau tidak saja."Tatapan Sara penuh dengan ketidakberdayaan, "Kenapa semua yang aku temui pasti nggak berakhir bahagia?"Wina tidak tahu bagaimana menjawabnya. Semua pria yang ditemui Sara sungguh membawa cerita yang pahit.Mantan suaminya, Denis, sudah menipunya dengan bilang dia punya uang dan rumah. Hubungannya dengan Jefri hanya untuk bersenang-senang. Saat Sara bertemu dengan Sandy, dia pikir Sandy adalah pasangan yang cocok, tidak tahunya begitu banyak hal juga terjadi.Menatap wajah Sara yang makin lesu, Wina menghela napas dalam-dalam, "Tadi kamu 'kan nggak menolak Sandy, ibunya pasti akan cari gara-gara lagi."Sara tentu tahu kalau Nela akan membuat masalah lagi, "Dalam situasi seperti ini aku beneran nggak tahu gimana caranya nolak dia. Setiap aku melihat Sandy yang seperti itu, aku nggak bi
Sandy mengantar orang tuanya pulang, sehingga Sara bisa lebih tenang dan berkonsentrasi mengurus klub. Sementara itu, Wina fokus mempersiapkan sidang pengadilan.Saat malam persidangan makin dekat, dia tidak bisa tidur. Ketika Wina turun untuk minum air, Gisel berjalan ke arahnya sambil memegang bantal dan menarik ujung gaun tidurnya."Tenang saja, Bibi, aku pasti akan memilih Bibi."Wina sontak merasa terharu. Dia meletakkan gelasnya, lalu berjongkok agar tinggi pandangannya sama dengan Gisel."Kok Gisel belum tidur padahal sudah malam begini?"Gisel memiringkan kepalanya sambil tertawa."Gisel nggak bisa tidur kayak Bibi."Wina ikut tersenyum, senyuman polos seorang anak memang obat yang sangat mujarab untuk menenangkan hati."Gisel juga merasa gugup?""Tentu saja."Gisel langsung mengaku dengan jujur,"Aku memang kadang kangen dengan Britton, tapi itu nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Bibi."Selain mengajarinya cara menembak, Ayah Robert juga selalu baik pada Gisel. Pri
"Jeana, apa yang kamu lakukan!"Wina sangat ketakutan sehingga dia bergegas mendekat, tapi Jihan mengulurkan tangan untuk menghentikannya.Mata dingin pria itu dipenuhi amarah, "Biarkan dia pergi."Jeana sebenarnya sedikit takut dan berkata dengan gemetar, "Ini adalah cucu perempuanku, anak yang ditinggalkan putra aku untuk mengenang kenanganku."Melihat hal ini, George melangkah maju dan menuduh Jeana, "Pengadilan sudah mengumumkan putusannya, tetapi kamu masih menahan anak itu. Pernahkah kamu mempertimbangkan perasaan anak itu?"Ketika Jeana mendengar ini, dia menundukkan kepalanya dan menatap Gisel dalam pelukannya. Dia melihatnya mengedipkan mata besarnya dengan ekspresi kecewa di wajahnya.Melihat bahwa dia tampak ragu-ragu apakah akan membawa anak itu pergi dengan paksa, Wina membujuk, "Nyonya Jeana, keinginan Gisel adalah bersamaku, bukan bersamamu. Kalau kamu benar-benar menyayangi anak yang ditinggalkan oleh Alvin, maka hormatilah pilihannya ...."Jeana masih sedikit enggan un
Gisel menatap neneknya yang tampak kurus di luar jendela sana, lalu berpikir sebentar dan akhirnya mengangguk, "Selama nggak membawaku pergi dengan paksa kayak sekarang, ya ... datang saja."Jeana langsung menangis. "Tenang saja, Nak, aku nggak akan segegabah ini lagi ...."Gisel mengiakan singkat, lalu berbalik dan mengambil makanan ringan yang diam-diam dia sembunyikan di kotak penyimpanan di kursi belakang.Wina pun menepuk bokong Gisel dengan gemas."Gisel, 'kan sudah Bibi bilang makanan seperti ini nggak sehat dan gampang merusak gigi? Kenapa kamu bandel banget?"Nada bicara Wina terdengar lembut sekaligus mengomel.Jeana jadi teringat pada masa kecil Alvin. Sepertinya, selama ini dia belum pernah berbicara selembut itu dengan putranya.Jeana pun menatap Wina. "Kalau dia nggak mau menurut, kenapa nggak rebut saja makanan ringannya dan membuangnya?"Setelah menghentikan Gisel, Wina pun menoleh menatap Jeana yang berada di luar jendela. "Waktu di panti asuhan, aku lambat sekali saat
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Jeana, Jefri pun menepati janjinya pada Artha dan mengundang semua orang yang pergi ke pengadilan.Kecuali Sara.Ketika mereka berada di pengadilan, Jefri dan Sara duduk cukup dekat satu sama lain, tetapi mereka bahkan tidak saling memandang.Bahkan ketika mereka secara tidak sengaja bertabrakan satu sama lain ketika hendak meninggalkan lapangan, keduanya tetap sopan dan saling mengucapkan "maaf" sebelum berpisah.Dengan situasi mereka saat ini, semua orang mengerti bahwa Jefri tidak mengundang Sara, tetapi Artha merasa Jefri belum benar-benar merelakan.Dia pun mengambil gelas anggurnya dan bersulang dengan Jefri. "Kamu yakin mau melepaskannya seperti ini?"Jefri yang sedang sibuk minum menjawab tanpa emosi, "Aku sudah terlalu capek berusaha."Jefri merasa lelah dan tidak ingin memohon pada Sara lagi. Percuma saja.Ketika Artha ingin membujuknya lagi, dia mendongak dan melihat Aulia masuk dari pintu. Sorot tatapannya pun berubah menjadi berbi
Gisel meletakkan lobster di tangannya dan mengambil gelas jus di depannya dengan tangannya yang berminyak, lalu bersulang dengan Aulia dari jauh."Nih, sudah bersulangnya."Semua orang di meja merasa terhibur dengan kepintaran Gisel.George menyentuh kepala kecil Gisel dan bertanya, "Dari siapa kamu mempelajari ini?"Gisel menunjuk iPad di atas meja, "Dari film. Gimana, Kakek George? Apa aku punya bakat akting?"George memelototinya, "Sudah kubilang, umurku baru 40 tahun, aku nggak pantas jadi kakekmu. Panggil aku paman."Gisel memiringkan kepalanya dan berkata, "Tapi kamu terlihat seperti berumur 70 tahun."Jefri refleks menahan tawanya. "Benar juga sih."George sontak terdiam.Dia berbalik dan bertanya pada Sam, "Apa terlihat seperti itu?"Sam berkata, "Gimana kalau aku pipis dulu, biar kamu bisa ngaca?"George kembali terdiam. Tidak seharusnya dia bertanya, ujung-ujungnya malah diledek.Andrew melihat sekeliling ke orang-orang di atas meja dan menganggapnya cukup menarik, tapi ....
Setelah melihat Artha beberapa kali meniduri wanita lain, Aulia selalu mengunci diri di dalam kamar tanpa tidur, makan atau minum.Saat itu, dia berharap Artha akan datang menemuinya. Bukan untuk balikan, tetapi hanya untuk menghiburnya. Namun, Artha ternyata tidak peduli.Sejak itu, Aulia tidak bertemu Artha lagi.Namun, setelah sekian tahun berlalu, tiba-tiba Artha muncul menemuinya dan mengatakan bahwa mereka bisa bersama lagi. Sayangnya, Aulia sudah tidak memperhatikan Artha.Jefri berkata bahwa Artha tidak punya pilihan selain putus dan Aulia sendiri tahu, tapi dia tidak peduli lagi dan tidak pernah bertanya kenapa.Aulia tidak tahu dan dia tidak ingin tahu.Seolah bisa membaca pikiran Aulia, Artha yang berdiri di lereng menurun pun tersenyum menatapnya di bawah lampu jalan yang redup."Nggak ada yang perlu dikatakan."Aulia saja sudah menyerah. Lagi pula, penjelasan Artha hanya akan menimbulkan perselisihan antara Aulia dan orang tuanya, jadi kenapa repot-repot?Lebih baik Aulia