Hai-hai! Gimana kabarnya pagi ini? Semoga sehat selalu dan dipenuhi dengan kebahagiaan... Untuk dukungan kalian semua chinta sampaikan terima kasih banyak, ya!
“Sha, kamu kenapa?” tanya Zayden dengan tersenyum pada Alisha, tetapi detik berikutnya, seolah tersadar dengan apa yang terjadi, apalagi ucapan Zayden barusan terkesan mengejeknya!“Ah, tidak apa-apa,” Alisha menjawab cepat.Mendapati hal itu, dari sudut pandang Alisha Zayden terlihat tersenyum penuh kemenangan. ‘Ah! Pria ini benar-benar sangat licik! Menyebalkan sekali!’ maki Alisha dalam hati.Demi menutupi hal itu, Alisha segera mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah televisi.“Walaupun ini minuman tidak ada rasanya, tapi kalau diberikan oleh Kakakmu rasanya sangat nikmat!” Kembali Zayden memuji Alisha di depan Nariza.Jelas hal ini makin membuat Alisha keki dalam hati.Makin lama rasanya akting Zayden sangat luar biasa!“Kak Al sangat beruntung mendapatkan suami seperti Kak Zayden!” puji Nariza.Sementara Alisha hanya menanggapinya dengan senyuman yang merekah.Obrolan berlanjut santai. Mereka berbincang soal pernikahan yang tidak dihadiri Nariza. Tawa, canda, dan beberapa le
Zayden menarik napas dalam atas tindakan Alisha barusan. “Alisha apa kamu bisa untuk tidak berbuat onar?” Zayden mengambil tisu di atas meja dan mengelap wajahnya. “Kenapa kita harus satu kamar?” Alisha tidak peduli kalau dia baru saja melakukan tindakan buruk terhadap suaminya itu. Menurutnya, masalah tinggal di satu kamar ini jauh lebih luar biasa untuk didiskusikan segera! “Tentu saja karena kamu adalah istriku, apalagi?” Zayden berkata dengan sangat enteng. “Tapi ini tidak mungkin!” Alisha menolak keras ide ini. “Yang tidak mungkin itu tinggal di kamar yang berbeda, apalagi saat Nariza dinyatakan boleh pulang.” Zayden berkata dengan datar lalu, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Alisha terdiam. O-ow... Dia lupa soal Nariza. Kalau mereka terlihat tidur di kamar berbeda, bisa-bisa Nariza tahu bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan dengan kesepatakan. “Kalau kamu mau tinggal di kamar lain sementara Nariza belum pulang, silakan saja. Tinggal pilih saja kamar yang ada
“Se-re-na … wajahmu sepertinya memperlihatkan suasana hatimu yang menjadi tidak baik." Tania berkata dengan nada provokasi yang cukup kental. Serena adalah wanita yang pernah Zayden cintai. Seseorang yang pernah hampir pria itu nikahi. Sampai 'kecelakaan' itu terjadi .... "Kalau kamu kembali muncul, menurutmu bagaimana reaksi Zayden?" lanjut Tania lagi. Serena berusaha menguasai dirinya. Dia kemudian tersenyum dan berusaha tenang menghadapi kalimat provokasi tersebut. “Kalau dia sudah menikah, ya biarkan saja dia menikah. Lagi pula, aku tidak berniat untuk mengganggu hubungan orang lain.” Gaya bicaranya terdengar tenang, tidak seperti sebelumnya, membuat Tania sedikit terkejut, tetapi dia segera menetralkannya. “Oh, ya? Yakin kamu tidak terganggu dengan kebahagiaan yang dia punya?” Tania kembali memancing wanita yang ada di depannya ini. Serena hanya diam. Namun, kepalanya jelas sangat berisik dan suasana hatinya menjadi tidak karuan! Mana mungkin dia rela Zayden bisa hidup bah
Bangun tidur pagi ini, Zayden merasa tubuhnya jauh lebih ringan. Ia meregangkan bahu dan lengan dengan malas, menikmati sejenak ketenangan pagi. Tapi itu hanya sesaat.“Selamat pagi, Tuan. Sarapanmu sudah tersedia di bawah.”Suaranya datar—nyaris sarkastik. Alisha berdiri di ambang pintu, tangan terlipat di depan dada, pandangan lurus menatapnya. Zayden yang tak menyangka kehadirannya langsung terduduk.“Aku ke kantor duluan. Kalau telat, bisa-bisa kena surat peringatan.” Alisha meraih tas, lalu melangkah pergi.Dia sempat berhenti di ambang pintu.“Oh ya, karena di apartemenmu cuma ada bahan seadanya, aku membuat sarapanmu pakai bahan yang ada saja, jangan kebanyakan protes.”Langkahnya menjauh, tapi suaranya kembali terdengar.“Aku pulang agak malam. Mau mampir ke apartemenku, ambil beberapa barang dan sekalian belanja bahan makanan untuk rumah ini!”Setelah Alisha mengatakan hal itu, yang ada hanya hening.Zayden masih terduduk, tercenung.“Wanita itu benar-benar …!” gumamnya, tapi
Seperti yang dikatakan oleh Alisha, pulang dari kantor dia kembali ke apartemennya, di sana dia mengambil barang-barang yang dia perlukan untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya sebagai seorang videographer. Tidak banyak yang tahu kalau selama ini Alisha adalah sosok yang sangat kreatif dibalik akun media sosial besar yang dipegangnya, hanya beberapa orang saja yang tahu dia orang yang cukup profesional dalam hal pembuatan video iklan brand-brand ternama untuk produk mereka.Termasuk tempatnya bekerja pernah bekerja sama dengannya untuk membuat video campaign untuk pengenalan brand perusahaan, hanya saja kerjasama itu batal dengan alasan yang terbilang tidak masuk akal. Kalau mengingat hal ini dia cukup kesal dengan CEO yang menjabat sebelum Zayden, beruntunglah kabarnya dia dipecat dan digantikan oleh Zayden.Baru saja keluar dari lobi apartemennya, Alisha terkejut karena sudah ada Zayden yang menunggunya di sana.“Loh, kok kamu di sini?” tanya Alisha heran.Namun, Zayden tidak langs
Sejak menerima telepon itu, Alisha mulai menyadari perubahan dalam diri Zayden. Pria itu tampak sedikit gelisah, meski berusaha setenang biasanya, tapi kali ini, Alisha tidak mudah dibohongi.Zayden memang berdiri di sampingnya, tapi pikirannya jelas melayang entah ke mana.“Zay, tolong ambilin itu, dong,” ujar Alisha, menunjuk satu barang di rak.Namun Zayden hanya terus mendorong troli tanpa menoleh sedikit pun. Seolah tak mendengar permintaannya.Alisha hanya bisa tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.‘Ternyata benar dugaanku. Ada sesuatu yang bikin dia nggak tenang,’ gumamnya dalam hati. ‘Apa mungkin penelpon itu?’Awalnya, Alisha hanya ingin menguji—ingin tahu seberapa dalam pria itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan reaksi Zayden barusan cukup jadi jawaban.Sejujurnya Alisha sangat penasaran siapa pria itu, hanya saja … berdasarkan kontrak perjanjian pernikahan mereka, tertulis jelas kalau terdapat poin bahwa: Tidak diperkenankan mencampuri urusan pribadi masing-masing.A
Daripada bertanya maksud Zayden, Alisha lebih tertarik untuk tahu tentang pria itu.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Zayden kembali duduk tanpa menjawab, pandangannya kosong. Jemarinya menaut di atas meja. Alisha bisa melihat betapa pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang besar.Setelah pelayan mengantarkan pesanan makanan mereka yang terakhir, akhirnya Zayden berkata, “Besok, aku akan pergi lebih pagi, aku akan ke rumah mama lebih dulu.” Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi hingga akhirnya Alisha tidak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi lagi. “Kuperhatikan sejak mendapatkan telepon tadi, kamu menjadi gelisah, apa aku boleh tahu siapa yang menghubungimu?” Zayden menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Terlihat seperti sedang berpikir. “Itu bukan apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi jelas saja itu tidak membuat Alisha puas.Wanita itu terlihat mendesah berat dan meletakkan sendok dan garpunya. “Bukan apa-apa tapi wajahmu kentara s
Zayden mendadak terdiam. Rahangnya mengeras, dan seulas senyum masam terbit di wajahnya, lebih mirip seringai kecut daripada tawa. Sorot matanya meredup sejenak, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin ia ungkap. Ada kilatan tidak suka di matanya, meski mencoba menutupinya dengan sikap acuh. “Jangan banyak tanya,” ujarnya akhirnya, nada suaranya datar namun mengandung tekanan. “Makan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendapatkan respons yang seperti itu dari Zayden mendadak Alisha tersadar akan sesuatu. ‘Mana mungkin juga Zayden punya pacar, kan? Bukannya dia ini menyimpang!’ Alisha lalu melanjutkan makannya dengan cukup santai sambil menertawai canggung kebodohannya yang berkata hal itu pada Zayden. Namun, jauh di dalam lubuk hati Alisha, ada perasaan tidak enak. Kalau bukan persoalan mantan pacar, maka … kiranya siapa yang mampu membuat Zayden mengeluarkan ekspresi seperti itu? *** Sepanjang perjalanan mereka tidak terlibat percakapan yang cukup serius, pun Alisha
Saat tiba di rumah Zayden terkejut melihat Alisha yang masih belum tidur. Wanita itu sedang berdiri di depan jendela kaca besar dengan penerangan yang minim.“Kamu belum tidur?” tanya Zayden pada Alisha, saat Alisha berbalik melihat ke arahnya.“Ah, belum. Sengaja nungguin kamu.” Alisha menjawab jujur.“Sengaja?” Alisha menganggukkan kepalanya. “Kamu capek banget-banget gak? Kalo kita ngobrol sebentar setelah kamu bersih-bersih boleh, nggak?” Alisha bertanya tanpa basa-basi.Zayden mengangguk. “Baik, tunggulah sebentar kalau begitu.”Setelah mengatakan hal itu Zayden segera masuk ke kamar mandi, sementara Alisha masih terpaku melihat pemandangan kota dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasinya dari jendela besar ini.Tidak menunggu lama, Zayden keluar dari dalam kamar mandi, Alisha langsung menoleh ke arah pria itu, wajah Zayden sudah terlihat lebih segar, Zayden berjalan santai mendekat Alisha yang duduk di salah satu bean bag besar yang menghadap ke arah luar kamar.Makin dekat, wa
Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan detik jarum jam di dinding terdengar lebih lantang daripada detak jantung Alisha yang berdebar cepat.Otak Alisha berpacu, mencari celah untuk mengalihkan perhatian Nariza sebelum sandiwara ini terbongkar.“Ah, jadi kamu nama penamu itu Miss Chinta, ya?” Alisha akhirnya bersuara, berusaha memecah ketegangan dengan senyum tipis dan nada setenang mungkin.Nariza tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan dengan tatapan tajam, seperti sedang menembus lapisan kepura-puraan.‘Gawat… dia curiga!’Alisha menelan ludah. Tangannya yang tadi santai kini mengepal kecil.“Wah, kalau begitu... kakak jadi penasaran mau baca deh! Siapa tahu kisahnya mirip banget. Kalau sampai sama, berarti kamu nulis kisah cinta kakak, dong?” lanjutnya dengan ekspresi seolah-olah benar-benar takjub.Ia menambahkan senyum lebarnya, mencoba terlihat setulus mungkin—padahal dadanya sudah sesak menahan gugup.Namun belum cukup. Nariza masih menatap, ekspresinya belum melunak.Alish
Setelah pertemuannya dengan Yumi tadi membuat Alisha merasa gelisah. Hanya saja semua bentuk kegelisahannya itu ditutupinya saat tiba di apartemen ini.“Hai, Kak!” sapa Nariza dengan senyum mengembangnya.“Wah, sepertinya kamu benar-benar sudah sangat sehat, ya!” Alisha berkata dengan nada riang seperti sebelumnya, jelas dia tidak mungkin memperlihatkan kegelisahannya itu di depan Nariza.“Kak Zayden pulangnya malam lagi, ya?” tanya Nariza.“Ya, masih banyak yang harus dia kerjakan di kantor.” Alisha menjawab santai, detik berikutnya, hidungnya mencium bau wangi dari masakan.“Kamu masak?” Alisha memastikan penciumannya.“Ya, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita bertiga, cuma sepertinya Kak Zayden tidak makan bareng kita ya malam ini.” Nariza berkata dengan mendesah pelan.“Sudah tenang saja, semua yang kamu siapkan pasti akan habis kok!” Alisha terkekeh ringan.Alisha memang tidak memesan makanan berat saat bersama Yumi tadi, karena dia tahu kalau ada Nariza biasanya adiknya ini su
“Hei!” Yumi menepuk pundak Alisha hingga membuatnya tersadar dari pikirannya yang terbang memikirkan Zayden.“Ah, kamu ngagetin aja deh!” Alisha berkata dengan mengerucutkan bibirnya, lalu dia memasang seat belt dengan santai.Melihat hal itu, Yumi mengernyitkan keningnya. “Jadi, kamu sudah dapat izin nih ceritanya?” Yumi berkata dengan nada sedikit menyindir sahabatnya itu, karena sebelumnya Alisha seolah-olah tidak ada waktu untuk mereka.“Untungnya dia sangat sibuk dan akan pulang larut malam. Jadi, kita bisa ngobrol dengan santai, cuma ….” Alisha menjeda sejenak, dia teringat pesan Zayden itu. “Aku tidak bisa sampai malam banget, karena Nariza sudah pulang dari rumah sakit, kasian dia sendirian di rumah.”“Nariza sudah pulang ya, syukurlah.” Yumi berkata dengan senang. “Ya sudah kita pergi sekarang.”Yumi segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, karena jalanan masih sangat padat. Tidak begitu lama mereka sudah ada di salah satu restoran ala Timur Tengah yang ada di de
Alisha menerima telepon itu dengan cepat, nada bicaranya ringan, tapi penuh ketertarikan. “Halo, Yumi,” sapanya lembut.“Al, kamu sibuk nggak hari ini? Aku pengin banget ketemu. Ada yang mau aku omongin,” ucap Yumi dengan menjeda sebentar, “… dan ini sangat penting!” suara Yumi terdengar sangat serius.Alisha tersenyum, kalau sahabatnya mengatakan hal seperti ini jelas ini berkaitan dengan Alvin Wicaksana, siapa lagi yang membuat Yumi mendadak sangat serius, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab. “Aku juga, Yum. Aku malah baru aja mikir kamu orang yang paling pas buat aku ajak ngobrol. Tapi ...” Suara Alisha menggantung.Entah kenapa Alisha mendadak terpikir bagaimana mereka bisa bertemu sementara malam ini dia harus menyiapkan makan malam untuk Zayden.“Tapi kenapa? Apa kamu harus izin dulu sama Kak Zayde?” tanya Yumi cepat dengan nada selidik.“Itu … aku udah janji sama Zayden mau masak makan malam hari ini.” Alisha menggigit bibir bawahnya, matanya menyapu kalender kecil
“Bella, Bella...” Nada suara Alisha terdengar santai, tapi matanya menyiratkan ketegasan saat ia melangkah ke wastafel di sebelah Bella. “Kenapa, sih, kamu hobi banget nyebar gosip nggak penting?”Tangan Alisha memutar keran, air mengalir, membasahi jemarinya yang ramping. “Aku peringatkan ya,” lanjutnya sambil mengusap sabun ke telapak tangan, “jangan asal bikin cerita, apalagi yang nyeret-nyeret nama Pak Zayden.”Bella mendengkus. “Kamu itu ya, Alisha, jangan kebanyakan gaya, mentang-mentang sudah jadi sekretaris CEO!” katanya sinis, melipat tangan di depan dada.Alisha hanya menoleh sekilas, tidak terpancing. Ia melanjutkan mencuci tangan, gerakannya tenang. “Oh, ya?” jawabnya datar, seolah komentar Bella barusan tidak lebih dari sekadar suara angin lewat.“Lihat aja nanti,” ujar Bella lagi, kali ini suaranya mengandung ancaman yang samar. “Kamu pikir kamu bisa bertahan di kantor ini? Jangan terlalu yakin. Semua orang di sini itu terlibat satu sama lain. Kalau ada yang jatuh, semuan
Mendengar hal itu Alisha sontak menggeleng-gelengkan kepalanya, dia memandang Zayden dengan sorot mata yang cukup rumit. Entah kenapa dia merasa sangat berat menjadi Zayden. Sepertinya, dia bukan orang yang disukai di keluarganya sendiri.Mulai dari sepupunya Tania, lalu Tante Vivian, sekarang anaknya Vivian–Austin. Entah kenapa dia melihat Zayden sedikit berbeda. Namun, semua itu masih ditahannya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, mengingat saat ini mereka tidak hanya berdua saja di mobil ini.“Kenapa?” tanya Zayden mempertanyakan ekspresi Alisha itu.“Nanti saja,” ucap Alisha lalu melihat ke arah sopir itu, sementara Zayden mengangguk pelan, mengerti bahwa apa yang akan dikatakan Alisha sangat privasi untuk mereka berdua.“Malam ini kamu mau makan apa?” tanya Alisha mengalihkan topik pembicaraan mereka.“Apa saja yang kamu siapkan,” jawab Zayden singkat.Jawaban ini, jelas membuat Alisha menghela napas berat. “Ya sudah, jangan protes kalau kamu tidak suka dengan makanan
Sesampainya di mobil, Alisha masuk lebih dulu dan langsung duduk diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tatapannya tertuju lurus ke depan, meski ekor matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah Zayden yang kini duduk di sebelahnya—dengan wajah jauh lebih kelam dari biasanya.Banyak yang ingin ia tanyakan. Banyak hal yang memenuhi pikirannya. Tapi… Alisha memilih diam. Saat ini, ia tak punya cukup keberanian untuk mengusik ketegangan yang menggantung rapat di antara mereka.Sampai akhirnya suara berat Zayden memecah hening, dingin namun terdengar seperti tantangan.“Katakan, apa yang kamu mau?”Kalau sebelumnya dia sangat bersemangat dengan reward yang akan diberikan Zayden, tetapi kali ini dia tidak tahu apa yang dia inginkan dari pria itu, apalagi ancaman Austin terdengar sangat serius.“Aku tidak mungkin mengingkari ucapanku, kan? Kamu sudah berhasil membuatku dan Austin bertemu. Sesuai kesepakatan aku akan memenuhi janjiku.” Zayden berkata tegas.“Ah, itu ….” Suarany
Seketika atmosfer di ruangan itu berubah. Tegang. Padat. Seperti udara dipenuhi arus listrik. Wajah Austin mengeras, senyumnya pudar. Kilatan marah muncul di matanya, tapi ia menahan diri. Rahangnya mengencang. Tangannya mengepal, nyaris tak terlihat di balik meja, tapi cukup untuk menyampaikan satu hal—ia tersulut. Alisha menelan ludah. Ia bisa merasakan denyut nadi di lehernya berdetak lebih cepat. Matanya bergantian menatap dua pria di hadapannya, keduanya berdiri seperti dua kutub yang siap saling hantam kapan saja. Tak ada basa-basi. Tak ada formalitas manis. Kemudian, pikiran yang tidak masuk akal muncul dalam benaknya. ‘Apa dia ini kekasihnya Zayden?!’ Hanya saja, itu seperti tidak mungkin. ‘Tidak, tidak, tidak! Ini tidak masuk akal. Konyol sekali!" Alisha membantah pikirannya sendiri. Zayden tanpa diperintah duduk dengan santainya di sofa kulit berwarna hitam itu, lalu menengadahkan tangannya ke arah Alisha, memberikan isyarat pada wanita itu untuk memberikan file