Nah kan Alvin sih... 😂😅 temen2nya chinta sekaliannn.. makasih lohhhhhhh supportnya sama buku ini.. maaf kalo komentar kalian tuh banyak yg g kebales, bukan ada udang di balik tepung jadi bakwan sih, cumaaa... Aplikasinya g ada ngasih info ke chinta (penulis) kalo kalian pada komentar. Tapi, percayalah dari hati yg paling dalam, kadang kalo pas gabut chinta suka bacain komentar kalian yg lucu2 itu. 😂😂 moodboaster syekalih sayang2 semua...😘😘
“Kok jadi Alvin sih?!” desis Alisha ketus.Zayden terdiam, tapi terus menatap wanita yang telah secara sah menjadi istrinya itu tajam.“Pandanganmu tidak lepas darinya sejak awal. Di sisi lain, Yumi juga terus memperhatikanmu dan bersikap waspada. Bukan berita baru kalau bocah itu menyukai Alvin, dan kalau dia bersikap waspada padamu, bukankah itu berarti dia menganggapmu saingannya?” cerocos pria itu.Alisha terbengong. Patut dia akui Zayden memang jeli dalam melihat situasi dan membaca ekspresi orang-orang di sekelilingnya, tapi … tebakannya kali ini melenceng jauh!Jelas-jelas Alisha memerhatikan Yumi dan bukan Alvin!Karena Alisha tidak kian menjawab, Zayden kembali mendesak. “Jadi, katakan padaku, apa hubunganmu dengan Alvin? Apakah kalian … mantan kekasih?”“Bukan!” Alisha menyemburkan kata itu dengan sedikit keras, membuat sejumlah tamu yang berada di bawah panggung agak terkejut. Bahkan, orang tua Zayden sampai menoleh dan menatap mereka bingung.“He he he ….” Cepat Alisha men
Ditembak pertanyaan seperti itu, Zayden membeku. Dia yang tangannya masih berada di atas rambut Alisha yang lembut hanya bisa terdiam di tempat.Dengan wajah ngeri, Zayden menatap Alisha. “Kamu … bilang apa?”Tak sadar dengan kengerian di wajah Zayden, Alisha menegaskan, “Aku bilang, apa kamu cemburu sama Alvin tadi?” Senyuman iseng terlukis di bibirnya. “Habisnya, kalau bukan cemburu, kenapa kamu sampai mendesakku begitu dan terlihat sangat lega setelah dengar aku ada hubungannya sama Yumi?”Zayden cepat menarik tangannya dari kepala Alisha dan mengalihkan pandangan ke depan. “Konyol. Aku hanya tidak ingin ada skandal di keluarga dan mendapatkan cap sebagai perebut kekasih sepupu.”Sudut bibir Alisha semakin meninggi. “Oh? Seorang Zayden yang tidak takut dibilang menyimpang, sekarang takut disebut perebut kekasih orang? Menarik, menarik.”Pelipis Zayden berkedut. “Alvin sepupu dekatku, aku tidak mau kami bermasalah hanya karena wanita.”“Ohhh, jadi kalau aku mantan kekasih Alvin, kamu
Alisha berusaha dengan cepat untuk berdiri, namun sekali lagi gaunnya yang sebagian masih tertindih badan Zayden membuatnya sedikit kesulitan, wajah Alisha terlihat makin memerah karena malu, gerakan terburu-burunya ini, membuatnya sekali lagi terjatuh dan menimpa Zayden.“AH!”Zayden hanya menghela napas panjang. Dengan satu gerakan lembut, ia memegang kedua bahu Alisha, mencoba menenangkannya. Alisha akhirnya mematung beberapa saat, merasa canggung dengan posisi mereka. Pandangan mata mereka saling bertemu, dan saat itu pula Zayden menyunggingkan senyuman miring. Matanya melirik ke arah dada Alisha, lalu pria itu menggelengkan kepalanya.Alisha langsung merona merah, malu dan marah. Apa maksud pria itu?! Apa dia baru saja mengejek ukuran dadanya?!Dia ukuran C! Itu sudah cukup di atas rata-rata, ya!Mengabaikan tatapan marah Alisha, Zayden pun berdiri selagi membantu Alisha. “Jangan terlalu terburu-buru, santai saja. Kalau tidak, nanti kamu terjatuh lagi.”Alisha bergidik. Suara Zay
Zayden yang baru saja ditampar membeku di tempat. Di sisi lain, Alisha dengan panik kembali menarik bathrobe-nya dan menutup tubuhnya dengan cepat, wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Merasa bersalah karena jiplakan merah ada di pipi pria itu, Alisa pun berkata, “Ma-maaf … tapi kenapa juga kamu keluar lagi!? Aku pikir kamu sedang mandi!” Zayden mengalihkan pandangan pada Alisa selagi mengusap wajahnya yang masih terasa panas. “Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal.” “Jangan mendadak dong!” tegur Alisa, masih tidak mau kalah. Zayden menatapnya beberapa detik sebelum mengangkat tangan, menyerah. "Oke, salahku. Lain kali aku ketuk pintu dulu sebelum keluar dari kamar mandi." Ucapan Zayden membuat Alisha makin tersipu, tahu dirinya tidak masuk akal. Akhirnya, wanita itu pun membuang muka, pura-pura sibuk mencari piyamanya. Tapi dalam hati, pikirannya kacau. ‘Dia lihat nggak ya? Astaga… kalau dia lihat… jangan-jangan lingerie itu juga?’ "Sudah kamu ma
Amarah membara sang wanita, ditambah pecahan gelas kaca yang berserakan di lantai, membuat empat wanita muda yang berlutut di hadapannya gemetar ketakutan. Ruangan yang biasanya tenang kini terasa seperti medan perang, penuh ketegangan dan hawa panas dari emosi yang membuncah.“Hanya mengacaukan sebuah pesta pernikahan saja kalian tidak bisa? Apa gunanya aku membayar kalian mahal?!” bentak sang wanita, suaranya menggema tajam di seluruh ruangan.“Maaf, Nyonya...” Salah satu dari mereka memberanikan diri bicara, meski suaranya nyaris tak terdengar, bergetar hebat karena takut.“Nyonya, kami benar-benar sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, tapi... saat itu kondisi di lapangan tidak memungkinkan,” lanjutnya mewakili yang lain, berusaha mempertahankan ketenangan meski tubuhnya mulai gemetar.“Aku sudah membayar mahal untuk pekerjaan semudah ini, tapi hasilnya sangat mengecewakan.” Nada dingin Tania membuat mereka tak berani menatap langsung ke arahnya.“S-sa... saya sudah berusaha
Pagi itu datang perlahan.Sinar matahari menyelinap lembut melalui celah tirai, menari di atas kulit mereka yang masih terlindung kehangatan malam. Di balik selimut yang setengah tersingkap, Alisha masih terjebak dalam batas tipis antara mimpi dan kenyataan. Helaan napasnya tenang, seiring tangannya yang terulur tanpa sadar, merengkuh tubuh hangat di sampingnya.Ia tersenyum dalam setengah sadarnya.Tangan mungilnya menyusuri kontur wajah itu perlahan, seakan ingin menghafal setiap lekuk yang begitu ia rindukan, seolah pria dalam pelukannya adalah wujud nyata dari mimpi-mimpinya yang tak pernah tercapai.Sentuhannya melayang ke dada bidang pria itu. Ia merasakan detak jantung yang kuat, otot-otot yang nyata, dan kehangatan yang tak terbantahkan. Dalam hati, ia bergumam lirih,"Kalau saja ini bukan mimpi… kalau saja Zayden bisa seperti ini—hangat… hadir… dan nyata untukku."Ia membiarkan dirinya terbuai, menolak kenyataan, menggantungkan harap pada mimpi yang terlalu manis untuk dilepas
Perlakuan Zayden barusan—di tempat umum, di hadapan banyak pasang mata—membuat Alisha nyaris kehilangan napas. Dadanya bergemuruh tak karuan, seperti genderang perang yang ditabuh terlalu keras. Dia berdiri kaku, seolah disengat aliran listrik tegangan tinggi. Pria itu baru saja menciptakan badai kecil, dan Alisha berada tepat di tengah pusarannya. Tangan Zayden melingkar santai di pinggangnya, seolah-olah tindakan tadi bukanlah sesuatu yang besar. Lalu dengan tenang, dia membelai rambut Alisha, senyumnya manis tapi berbahaya—senyum yang bisa meruntuhkan pertahanan siapa pun. Beberapa kali Alisha mengerjapkan mata, berusaha menstabilkan degup jantung yang masih kacau. Meskipun mereka pernah lebih dekat dari ini, ciuman yang lebih dalam dan momen yang lebih intim—kenapa kali ini terasa … berbeda? Belum sempat pikirannya mengurai makna dari semua sensasi yang mekar di dadanya, sebuah suara familiar menginterupsi. Ceria dan sedikit mengusik. “Wah … ternyata pengantin baru memang seda
“K-kamu ngomong apa sih, Tik!?” tanya Alisha cepat, masih berusaha keras mengelak. “Ya bercandalah, Al!” Tika tertawa, tidak menyadari betapa pucat wajah sahabatnya itu. “Aku cuma godain kamu karena nama istrinya Pak Zayden sama kayak kamu. Namanya Alisha juga.” Tika kemudian menepuk pundak Alisha ringan. “Ya masa iya istri Pak Zayden tuh kamu? Heleeh, mimpi apa aku semalam kalau sampai iya.” Tika menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak tahu betapa lega hati Alisha mendengar balasannya itu. “Katanya dia ini anak pejabat gitu, mereka udah lama rahasia-rahasia karena gak mau ada gejolak sesuatu … ya … kamu tahu sendiri lah kalo misalnya urusan politik dan pengusaha.” Tika kembali melanjutkan. “Eh, Al, tapi kalo dipikir-pikir, Bos besar emang sering kan ya panggil kamu ke ruangan dia, apa karena dia kesel kali ya, kok bisa nama bininya sama kayak kamu!” Tika kembali terkekeh. Alisha turut tertawa mendengarnya, hanya saja tawa Alisha ini menutupi rasa gugupnya yang mungkin sempat
Pagi itu, Alisha terbangun lebih dulu.Kelopak matanya membuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya samar yang masuk dari sela-sela tirai. Tubuhnya terasa berat, bukan karena kelelahan, tapi karena sesuatu—atau lebih tepatnya seseorang yang masih memeluknya.Ia menundukkan pandangannya, menemukan tangan kanan Zayden yang masih terselip di bawah tubuhnya, seolah enggan melepaskan. Sementara tangan kiri pria itu, tanpa sadar menggenggam erat tangan kanan Alisha.Deg!Alisha mematung beberapa detik, hatinya berdegup campur aduk. Ada kehangatan, ada rasa tidak percaya, ada geli... tapi juga ada ketakutan kecil yang tidak bisa ia jelaskan.Melihat wajah Zayden yang tertidur dengan tenang membuat hatinya terasa penuh. Garis tegas di rahangnya, alis yang sedikit berkerut seperti orang yang tetap serius bahkan saat tidur ... semuanya terasa terlalu manusiawi. Terlalu nyata. Dan terlalu berbahaya untuk hatinya.‘Aku harus keluar sebelum aku benar-benar jatuh makin dalam,’ pikir Alisha pan
Alisha terdiam mendengar penjelasan yang disampaikan oleh Zayden barusan. Pandangan mata Zayden terlalu dalam untuk diselami. Lalu pria itu segera mengalihkan pandangannya, menarik napas dalam seolah-olah memikirkan beban yang tidak mungkin dijangkau oleh Alisha.“Akhir pekan kalau tidak ada urusan mendesak kita temui nenek seperti yang kukatakan padamu kemarin dan kalau dia bertanya bagaimana kita bisa bertemu, katakan saja seperti apa yang kamu ceritakan pada Nariza.” Zayden mengalihkan topik pembicaraan mereka.Alisha berpikir sejenak. “Eh, tapi … tidak mungkin karena cerita itu melibatkan mama.”“Ya sudah disesuaikan saja tanpa ada mama di dalamnya.” Zayden menanggapi dengan cepat.Alisha menggigit bibirnya ragu. Hatinya masih dipenuhi pertanyaan. Dan sebelum sempat dia menahan diri, mulutnya sudah bertanya, “Sebenarnya... kenapa kamu terlihat seperti membenci nenekmu?”Zayden menatap kosong ke jendela. Untuk beberapa detik, hanya suara napas mereka yang terdengar.“Aku tidak memb
Saat tiba di rumah Zayden terkejut melihat Alisha yang masih belum tidur. Wanita itu sedang berdiri di depan jendela kaca besar dengan penerangan yang minim.“Kamu belum tidur?” tanya Zayden pada Alisha, saat Alisha berbalik melihat ke arahnya.“Ah, belum. Sengaja nungguin kamu.” Alisha menjawab jujur.“Sengaja?” Alisha menganggukkan kepalanya. “Kamu capek banget-banget gak? Kalo kita ngobrol sebentar setelah kamu bersih-bersih boleh, nggak?” Alisha bertanya tanpa basa-basi.Zayden mengangguk. “Baik, tunggulah sebentar kalau begitu.”Setelah mengatakan hal itu Zayden segera masuk ke kamar mandi, sementara Alisha masih terpaku melihat pemandangan kota dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasinya dari jendela besar ini.Tidak menunggu lama, Zayden keluar dari dalam kamar mandi, Alisha langsung menoleh ke arah pria itu, wajah Zayden sudah terlihat lebih segar, Zayden berjalan santai mendekat Alisha yang duduk di salah satu bean bag besar yang menghadap ke arah luar kamar.Makin dekat, wa
Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan detik jarum jam di dinding terdengar lebih lantang daripada detak jantung Alisha yang berdebar cepat.Otak Alisha berpacu, mencari celah untuk mengalihkan perhatian Nariza sebelum sandiwara ini terbongkar.“Ah, jadi kamu nama penamu itu Miss Chinta, ya?” Alisha akhirnya bersuara, berusaha memecah ketegangan dengan senyum tipis dan nada setenang mungkin.Nariza tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan dengan tatapan tajam, seperti sedang menembus lapisan kepura-puraan.‘Gawat… dia curiga!’Alisha menelan ludah. Tangannya yang tadi santai kini mengepal kecil.“Wah, kalau begitu... kakak jadi penasaran mau baca deh! Siapa tahu kisahnya mirip banget. Kalau sampai sama, berarti kamu nulis kisah cinta kakak, dong?” lanjutnya dengan ekspresi seolah-olah benar-benar takjub.Ia menambahkan senyum lebarnya, mencoba terlihat setulus mungkin—padahal dadanya sudah sesak menahan gugup.Namun belum cukup. Nariza masih menatap, ekspresinya belum melunak.Alish
Setelah pertemuannya dengan Yumi tadi membuat Alisha merasa gelisah. Hanya saja semua bentuk kegelisahannya itu ditutupinya saat tiba di apartemen ini.“Hai, Kak!” sapa Nariza dengan senyum mengembangnya.“Wah, sepertinya kamu benar-benar sudah sangat sehat, ya!” Alisha berkata dengan nada riang seperti sebelumnya, jelas dia tidak mungkin memperlihatkan kegelisahannya itu di depan Nariza.“Kak Zayden pulangnya malam lagi, ya?” tanya Nariza.“Ya, masih banyak yang harus dia kerjakan di kantor.” Alisha menjawab santai, detik berikutnya, hidungnya mencium bau wangi dari masakan.“Kamu masak?” Alisha memastikan penciumannya.“Ya, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita bertiga, cuma sepertinya Kak Zayden tidak makan bareng kita ya malam ini.” Nariza berkata dengan mendesah pelan.“Sudah tenang saja, semua yang kamu siapkan pasti akan habis kok!” Alisha terkekeh ringan.Alisha memang tidak memesan makanan berat saat bersama Yumi tadi, karena dia tahu kalau ada Nariza biasanya adiknya ini su
“Hei!” Yumi menepuk pundak Alisha hingga membuatnya tersadar dari pikirannya yang terbang memikirkan Zayden.“Ah, kamu ngagetin aja deh!” Alisha berkata dengan mengerucutkan bibirnya, lalu dia memasang seat belt dengan santai.Melihat hal itu, Yumi mengernyitkan keningnya. “Jadi, kamu sudah dapat izin nih ceritanya?” Yumi berkata dengan nada sedikit menyindir sahabatnya itu, karena sebelumnya Alisha seolah-olah tidak ada waktu untuk mereka.“Untungnya dia sangat sibuk dan akan pulang larut malam. Jadi, kita bisa ngobrol dengan santai, cuma ….” Alisha menjeda sejenak, dia teringat pesan Zayden itu. “Aku tidak bisa sampai malam banget, karena Nariza sudah pulang dari rumah sakit, kasian dia sendirian di rumah.”“Nariza sudah pulang ya, syukurlah.” Yumi berkata dengan senang. “Ya sudah kita pergi sekarang.”Yumi segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, karena jalanan masih sangat padat. Tidak begitu lama mereka sudah ada di salah satu restoran ala Timur Tengah yang ada di de
Alisha menerima telepon itu dengan cepat, nada bicaranya ringan, tapi penuh ketertarikan. “Halo, Yumi,” sapanya lembut.“Al, kamu sibuk nggak hari ini? Aku pengin banget ketemu. Ada yang mau aku omongin,” ucap Yumi dengan menjeda sebentar, “… dan ini sangat penting!” suara Yumi terdengar sangat serius.Alisha tersenyum, kalau sahabatnya mengatakan hal seperti ini jelas ini berkaitan dengan Alvin Wicaksana, siapa lagi yang membuat Yumi mendadak sangat serius, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab. “Aku juga, Yum. Aku malah baru aja mikir kamu orang yang paling pas buat aku ajak ngobrol. Tapi ...” Suara Alisha menggantung.Entah kenapa Alisha mendadak terpikir bagaimana mereka bisa bertemu sementara malam ini dia harus menyiapkan makan malam untuk Zayden.“Tapi kenapa? Apa kamu harus izin dulu sama Kak Zayde?” tanya Yumi cepat dengan nada selidik.“Itu … aku udah janji sama Zayden mau masak makan malam hari ini.” Alisha menggigit bibir bawahnya, matanya menyapu kalender kecil
“Bella, Bella...” Nada suara Alisha terdengar santai, tapi matanya menyiratkan ketegasan saat ia melangkah ke wastafel di sebelah Bella. “Kenapa, sih, kamu hobi banget nyebar gosip nggak penting?”Tangan Alisha memutar keran, air mengalir, membasahi jemarinya yang ramping. “Aku peringatkan ya,” lanjutnya sambil mengusap sabun ke telapak tangan, “jangan asal bikin cerita, apalagi yang nyeret-nyeret nama Pak Zayden.”Bella mendengkus. “Kamu itu ya, Alisha, jangan kebanyakan gaya, mentang-mentang sudah jadi sekretaris CEO!” katanya sinis, melipat tangan di depan dada.Alisha hanya menoleh sekilas, tidak terpancing. Ia melanjutkan mencuci tangan, gerakannya tenang. “Oh, ya?” jawabnya datar, seolah komentar Bella barusan tidak lebih dari sekadar suara angin lewat.“Lihat aja nanti,” ujar Bella lagi, kali ini suaranya mengandung ancaman yang samar. “Kamu pikir kamu bisa bertahan di kantor ini? Jangan terlalu yakin. Semua orang di sini itu terlibat satu sama lain. Kalau ada yang jatuh, semuan
Mendengar hal itu Alisha sontak menggeleng-gelengkan kepalanya, dia memandang Zayden dengan sorot mata yang cukup rumit. Entah kenapa dia merasa sangat berat menjadi Zayden. Sepertinya, dia bukan orang yang disukai di keluarganya sendiri.Mulai dari sepupunya Tania, lalu Tante Vivian, sekarang anaknya Vivian–Austin. Entah kenapa dia melihat Zayden sedikit berbeda. Namun, semua itu masih ditahannya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, mengingat saat ini mereka tidak hanya berdua saja di mobil ini.“Kenapa?” tanya Zayden mempertanyakan ekspresi Alisha itu.“Nanti saja,” ucap Alisha lalu melihat ke arah sopir itu, sementara Zayden mengangguk pelan, mengerti bahwa apa yang akan dikatakan Alisha sangat privasi untuk mereka berdua.“Malam ini kamu mau makan apa?” tanya Alisha mengalihkan topik pembicaraan mereka.“Apa saja yang kamu siapkan,” jawab Zayden singkat.Jawaban ini, jelas membuat Alisha menghela napas berat. “Ya sudah, jangan protes kalau kamu tidak suka dengan makanan