Share

Pak Boss, Galakk!
Pak Boss, Galakk!
Penulis: IfaZuzu

Janji

Penulis: IfaZuzu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Maaf aku harus pergi. Tapi ini semua demi masa depan kita. Pada saatnya nanti aku akan kembali dengan keadaan yang sudah siap mempersuntingmu," kata Angga sambil menggenggam jemariku.

Aku terdiam sejenak, berusaha menenangkan hatiku yang sesak. Pada akhirnya perpisahan ini harus terjadi. Jauh sebelum hari ini, Angga memang sudah pernah menceritakan padaku tentang mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Namun aku tak menyangka hari itu akan datang secepat ini.

"Kamu akan kembali kan?" tanyaku terdengar meragukannya.

Angga tersenyum, "Tentu. Rumahku kan disini."

"Maksudku... kamu akan kembali padaku kan? Kamu akan setia meskipun di kota banyak cewek cantik?" tanyaku penuh harap -harap cemas.

"Ha ha ha...," Angga tertawa lebar membuat Ayu cemberut.

"Ayu... Ayu... Kamu tidak paham maksudku ya?"

Aku mengernyitkan kening tidak paham dengan apa yang dia bicarakan.

"Aku sudah bilang kan kalau aku pasti pulang ke rumah?"

"Iya, aku tahu. Kamu pasti pulang ke rumah karena disana ada orang tuamu. Yang aku tanyakan, kamu akan setia dan kembali padaku kan?" terangku setengah kesal.

Angga menatapku serius membuatku sedikit gugup.

"Rumahku itu kamu. Jadi aku pasti pulang ke kamu," Angga tersenyum manis membuat aku tertegun. Salah satu yang membuatku jatuh cinta pada Angga adalah senyum manisnya dan tatapan teduhnya.

Hembusan angin terasa begitu menyejukkan. Kicauan burung terdengar seperti nyanyian merdu. Hamparan padi yang menghijau seperti taman bunga. Gubuk kecil tempat kami berlindung dari panas tak ubahnya seperti villa dan hanya ada kami berdua disini. Lebay memang, tapi seperti itulah yang kurasakan. Tak terasa wajah kami semakin dekat hingga membuatku memejamkan mata dan bibir kami saling menempel. Hanya sepersekian detik aku mendorong dada Angga karena takut ada yang melihat. 

"Maaf...," ucap Angga canggung.

"Tidak apa- apa, aku juga salah karena tak menolak."

Suasana menjadi sedikit canggung namun aku berusaha mencairkannya karena tak ingin menghabiskan waktu kami hanya untuk saling diam.

"Besok berangkat jam berapa?" tanyaku.

"Tiket bus jam 8. Kamu mau ikut mengantar?" tawar Angga.

"Apa boleh?"

Angga tersenyum, "Tentu saja boleh."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Besok pagi datang ke rumah ya, aku akan diantar pakai mobil Mas Rian."

Aku terdiam sejenak, Mas Rian adalah suami Mbak Indah, kakak Angga. Mbak Indah terlihat tidak begitu menyukaiku begitu juga dengan ibunya. Beberapa kali mencoba mengakrabkan diri tapi tetap ketus dan setengah hati kalau membalas sapaanku.

"Ya sudah, pulang yuk! Aku masih harus packing untuk besok," ajak Angga.

Kami pun beranjak dari gubuk berjalan beriringan meninggalkan pematang sawah. Angga mengantarku sampai depan rumah yang disambut oleh ibuku.

"Eh Nak Angga... Mari masuk dulu," ibu yang tengah menyapu halaman menghampiri kami.

"Terima kasih, Bu. Tapi saya harus segera pulang dan persiapan untuk besok," tolak Angga sopan.

"Nak Angga jadi berangkat ke kota?" tanya ibu.

"Iya, Bu. Doanya ya, Bu...."

"Pasti. Ibu pasti doakan," kata ibu sembari tersenyum.

"Ya sudah, Bu. Saya pamit dulu."

"Ya, hati- hati ya, Nak."

Angga mengangguk sambil tersenyum. "Aku pulang dulu Yu?" pamit Angga padaku.

"Iya. Hati- hati," jawabku dengan berat hati.

Aku bergegas masuk ke rumah untuk mandi karena waktu memang sudah sore.

"Angga jadi pergi ke kota?" 

Suara ayah menghentikan langkahku yang mengarah ke kamar.

"Jadi, Yah," jawabku sambil membalikkan badan ke arah sumber suara.

Ternyata ayah duduk di ruang tamu sambil minum teh. 

"Kamu jangan terlalu barharap padanya. Ayah takut kamu akan sakit hati," tutur ayah hati- hati.

Aku terpaku menatap ayah yang menyeruput tehnya pelan. Aku tahu ayah tak begitu menyetujui hubunganku dengan Angga. Tapi kupikir setelah melihat sikap Angga yang baik dan sopan akan meluluhkan ayah. Karena beberapa waktu lalu saat Angga main ke rumah, ayah menanggapinya dengan ramah.

"Kalau Ayu setia menunggunya yang ingin meraih mimpi, apa itu salah, Yah?" 

Ayah menggeleng, "Tidak. Itu tidak salah. Ayah tidak melarangmu untuk itu, Ayah hanya mengingatkanmu untuk tidak terlalu berharap padanya."

Selama ini aku tidak pernah membantah kata- kata ayah karena selain aku menyayangi dan menghormatinya, ayah adalah orang yang bijak dalam memutuskan segala sesuatu. Tapi hari ini aku begitu ingin membantah kata- kata ayah.

"Yah, apa Ayah punya masalah pribadi dengan keluarga Angga hingga Ayah punya pikiran negatif pada Angga, Yah?" sekuat hati aku menahan agar suaraku tak meninggi.

"Hhhh...," ayah menghela napas berat. "Ayah hanya tak ingin putri Ayah tersakiti. Itu saja."

Aku tak ingin menjadi anak durhaka dengan terus membalas kata- kata ayah. Aku memilih meneruskan langkah untuk masuk ke kamar. Sesampainya di dalam kamar, kuhirup napas dalam- dalam untuk menetralkan rasa marah di dada. Pikiran buruk ayah mengenai Angga sungguh membuatku tak terima tapi mendengar jawaban yang ayah katakan bahwa tak ingin aku tersakiti membuatku marah. Tidak, aku tidak marah pada ayah, aku marah pada diriku sendiri. Tak salah apa yang dikatakan ayah, yang salah itu aku karena terlalu mencintai seseorang. Padahal apa yang disampaikan ayah itu benar, jangan pernah berharap pada manusia.

Untuk mendinginkan hati dan pikiranku yang terlanjur panas, aku mengambil handuk dan mandi di kamar mandi belakang rumah. Rumah sederhana hasil jerih payah ayah dan ibu dari hasil bertani dan menjual sapi saat aku masih SD. Dan sekarang atapnya sudah bocor sana sini karena lama tak direnovasi.

Penghasilanku dari menjahit masih belum cukup untuk merenovasi rumah. Aku memilih melanjutkan pendidikan di SMK bukan tanpa alasan. Aku sengaja mengambil jurusan tata busana agar aku punya ketrampilan kalau aku tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kehidupan sederhana kami tentu yang menjadi sebab aku tak bisa kuliah. Tapi aku tak berkecil hati, dengan ketrampilan yang kumiliki aku bisa mencari uang dan menabung jika aku ingin melanjutkan nanti.

Besok paginya aku datang ke rumah Angga jam setengah tujuh pagi karena jarak rumah Angga dan terminal bus yang lumayan jauh.

"Lho... Ayu kok kesini? Bukannya kemarin kalian udah ketemuan ya?" tanya ibu Angga tanpa basa- basi.

"Iya Bu, kemarin kata Angga, saya boleh ikut mengantar ke terminal," jawabku sambil tersenyum tipis.

"Aduh... maaf ya Yu, kayaknya mobil udah penuh," jawab Mbak Indah yang baru keluar dari dalam rumah.

"Penuh Mbak? Memang siapa aja yang ikut mengantar?" 

"Banyak Yu, aku sama anak- anakku aja udah berapa ditambah ayah ibu, barang bawaan Angga juga banyak banget tuh," jawab Mbak Indah yang sepertinya memang tidak ingin aku ikut.

"Kalau begitu, aku bisa ketemu Angga sebentar Mbak?" tanyaku meski penuh dengan kekecewaan.

"Angga lagi sarapan di dalam. Ada pesan apa? Nanti aku sampaikan."

Ayu semakin kecewa, mbak Indah benar- benar takkan membiarkanku bertemu dengan Angga rupanya.

"Ayu?" suara Angga bagai penyelamat bagiku. Hampir saja aku berteriak memanggilnya seperti orang tak beradab.

"Jangan lama- lama ya, Ngga. Takut macet nanti," suara mbak Indah terdengar kesal kemudian berlalu meninggalkan kami. Angga hanya mengangguk mengiyakan.

"Maaf ya, Yu, kayaknya kamu tidak bisa ikut mengantar. Adik Mas Rian ikut juga soalnya," kata Angga yang semakin membuatku kecewa namun aku berusaha menutupinya dengan senyum. Aku tadi berharap Angga akan membelaku dan tetap mengajakku untuk mengantarnya ke terminal. Benar kata ayah, jangan berharap pada manusia. Tapi aku tetap berharap Angga akan tetap setia pada komitmen kami nantinya.

"Iya tidak apa- apa. Aku hanya akan memberikan ini buatmu," kuulurkan tas kertas yang berisi kemeja batik. Aku menjahitnya selama dua hari ini.

"Ini kamu yang jahit sendiri, Yu?" Angga tersenyum sumringah sambil mengeluarkan kemeja itu.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Terima kasih banyak, ya," ucapnya.

"Udah belum, Ngga? Udah siang ini!" teriak mbak Indah yang terlihat mengunci pintu karena yang lain sudah memasuki mobil.

"Iya Mbak sebentar. Ini Ayu ngasih aku kemeja batik," jawab Angga dengan memamerkan baju yang dipegangnya.

"Halah... Kemeja kayak gitu di kota juga banyak," balas mbak Indah ketus kemudian berlalu memasuki mobil.

"Maaf ya Yu, omongan mbak Indah jangan dimasukin ke hati. Dia orangnya memang kayak gitu," Angga terlihat tak enak padaku.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis hingga kemudian terdengar klakson mobil yang dibunyikan tak beraturan.

"Masuklah," kataku melihat Angga yang terlihat semakin tak enak padaku.

"Aku pergi dulu ya. Jaga diri baik- baik."

Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata- kata. Karena aku yakin pertahananku akan jebol kalau aku membalasnya dengan kata- kata. Kulihat mobil meninggalkan pelataran rumah Angga dengan perlahan. Kulihat mobil itu tidak penuh seperti yang mereka katakan. Aku paham, mereka hanya tidak ingin aku ikut mengantar.

Dengan lesu dan perasaan carut marut aku pulang ke rumah.

"Lho... kok sudah pulang? Tidak jadi mengantar ke terminal?" tanya ibu.

"Tidak Bu, mobil penuh," jawabku kemudian duduk di depan mesin jahit yang selama ini kugunakan untuk menghasilkan rupiah.

Ada beberapa jahitan pelanggan yang belum kuselesaikan karena kemarin mengerjakan kemeja Angga. Untuk menghibur diri kuputuskan untuk bekerja demi rupiah yang akan membuat mataku ijo. Saat dihadapkan dengan pekerjaan seketika perhatianku teralihkan dan Angga pun bisa kulupakan sejenak.

TBC

Bab terkait

  • Pak Boss, Galakk!   Gosip Miring

    Meski kemarin aku sempat kecewa karena tidak bisa ikut mengantar Angga ke terminal bersama keluarganya tapi hari ini kekecewaanku terobati karena Angga baru saja mengabariku bahwa ia telah sampai di Jakarta. Walaupun kami hanya berbicara sebentar itu sudah cukup bagiku karena aku tahu dia juga butuh istirahat setelah perjalanan jauh."Istirahat dulu Nak, jangan terlalu diforsir," tegur ayah."Iya Yah," balasku sambil tersenyum. Aku beranjak meninggalkan mesin jahit dengan senyum manis terukir di bibirku. Aku sudah minta maaf pada ayah kemarin mengenai kekesalanku pada ayah tempo hari dan tentu saja ayah memaafkan."Ayah sudah makan siang?" tanyaku sambil bergelayut di lengan ayah. Manja memang tapi beginilah aku. "Belum, nungguin putri ayah yang cerewet," jawab ayah sambil tersenyum jahil.Aku tak marah karena itu memang kenyataan. Tak hanya manja aku juga cerewet hanya saja saat bersama Angga aku harus menekan itu semua karena Angga tak menyukai gadis cerewet apalagi manja.Begitula

  • Pak Boss, Galakk!   Nasehat Mbak Siska

    Tok tok tok. Kuketuk pintu rumah mbak Siska yang terlihat habis direnovasi. Gentengnya terlihat baru, dindingnya yang dulu masih semen sekarang sudah dicat warna hijau dan lantainya sudah dikeramik. Aku tersenyum ikut bangga, sepertinya mbak Siska beneran sudah sukses di kota. Di halaman juga terparkir mobil. Bukan mobil yang wow memang tapi untuk ukuran orang desa punya mobil itu sudah cukup membuktikan kekayaan seseorang.Saat pintu dibuka, keluarlah seorang wanita cantik, putih dan wangi membuat Ayu melongo melihatnya. Sesaat wanita itu juga terdiam, seperti mengingat- ingat sesuatu."Mbak Siska?!" pekik Ayu kegirangan."Iya...?Kamu...?" "Aku Ayu, Mbak. Masa lupa?" Mbak Siska terlihat mengerutkan kening, mungkin sedang menggali ingatannya."Ya ampun Ayu?!" sekarang gantian mbak Siska yang memekik kegirangan setelah berhasil mengembalikan memorinya."Mbak sekarang cantik banget ih...," aku menoel pipi mbak Siska."Kamu bisa aja. Ayo masuk dulu!" ajak mbak Siska merangkul bahuku.A

  • Pak Boss, Galakk!   Membulatkan Tekat

    "Masuk dulu yuk, Mbak!" ajakku pada mbak Siska yang datang untuk ukur badan.Mbak Siska mengangguk dengan senyum merekah. Tepat saat baru turun dari motor, bu Surti, ibu Angga melintas depan rumahku."Eh ini Siska kan? Kapan pulang Nduk? Uayu tenan dirimu sekarang," pujinya pada mbak Siska tanpa memperdulikan aku."Iya Bulek, saya Siska. Bulek apa kabar?" balas mbak Siska sopan."Baik. Bulek baik banget kabarnya. Kamu udah sukses ya di kota, udah bisa beli mobil juga. Angga juga sekarang di kota, udah kerja di perusahaan gede. Kamu gak pernah ketemu sama dia?" bu Surti masih terus nyerocos membuatku jengah."Enggak Bulek, saya gak pernah ketemu Angga," mbak Siska memberi kode mata padaku dan aku hanya mengangkat bahu."Ya ampun, nanti deh Bulek kasih nomer HP-nya Angga. Soalnya Angga ganti nomer kemarin."DEG. Perkataan bu Surti mengusikku kali ini."Jadi anak muda jaman sekarang memang harus kerja keras. Harus berani keluar dari desa biar sukses. Kalau cuma di desa ya ujung- ujungnya

  • Pak Boss, Galakk!   Dipecat

    Aku terbangun jam 2 siang tapi belum ada tanda- tanda mbak Siska pulang. Suasana kost juga sepi, mungkin mereka sibuk bekerja. Aku mulai mencari- cari lowongan kerja di media sosial tapi nihil, aku tidak memenuhi kriteria yang dicari, minimal pendidikan D3.Tiba- tiba ada notifikasi pesan berlogo hijau. Buru- buru kubuka, berharap Angga yang membalas pesanku karena tadi pagi aku sempat mengirim pesan padanya. Ternyata aku masih harus kecewa karena bukan Angga melainkan mbak Siska. Tapi sedetik kemudian aku berteriak heboh karena mbak Siska mengabarkan ada lowongan kerja di restoran temannya. Sungguh aku girang bukan kepalang, mbak Siska emang malaikat yang dikirim untukku. Pagi hari berikutnya aku diantar mbak Siska ke restoran milik temannya. Aku diterima tanpa melalui proses rekruitmen atas rekomendasi mbak Siska."Kerja yang bener ya, Yu. Ingat tujuanmu kesini. Kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri," nasehat mbak Siska."Siap Mbak. Aku gak akan ngecewain mbak Siska," jawa

Bab terbaru

  • Pak Boss, Galakk!   Dipecat

    Aku terbangun jam 2 siang tapi belum ada tanda- tanda mbak Siska pulang. Suasana kost juga sepi, mungkin mereka sibuk bekerja. Aku mulai mencari- cari lowongan kerja di media sosial tapi nihil, aku tidak memenuhi kriteria yang dicari, minimal pendidikan D3.Tiba- tiba ada notifikasi pesan berlogo hijau. Buru- buru kubuka, berharap Angga yang membalas pesanku karena tadi pagi aku sempat mengirim pesan padanya. Ternyata aku masih harus kecewa karena bukan Angga melainkan mbak Siska. Tapi sedetik kemudian aku berteriak heboh karena mbak Siska mengabarkan ada lowongan kerja di restoran temannya. Sungguh aku girang bukan kepalang, mbak Siska emang malaikat yang dikirim untukku. Pagi hari berikutnya aku diantar mbak Siska ke restoran milik temannya. Aku diterima tanpa melalui proses rekruitmen atas rekomendasi mbak Siska."Kerja yang bener ya, Yu. Ingat tujuanmu kesini. Kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri," nasehat mbak Siska."Siap Mbak. Aku gak akan ngecewain mbak Siska," jawa

  • Pak Boss, Galakk!   Membulatkan Tekat

    "Masuk dulu yuk, Mbak!" ajakku pada mbak Siska yang datang untuk ukur badan.Mbak Siska mengangguk dengan senyum merekah. Tepat saat baru turun dari motor, bu Surti, ibu Angga melintas depan rumahku."Eh ini Siska kan? Kapan pulang Nduk? Uayu tenan dirimu sekarang," pujinya pada mbak Siska tanpa memperdulikan aku."Iya Bulek, saya Siska. Bulek apa kabar?" balas mbak Siska sopan."Baik. Bulek baik banget kabarnya. Kamu udah sukses ya di kota, udah bisa beli mobil juga. Angga juga sekarang di kota, udah kerja di perusahaan gede. Kamu gak pernah ketemu sama dia?" bu Surti masih terus nyerocos membuatku jengah."Enggak Bulek, saya gak pernah ketemu Angga," mbak Siska memberi kode mata padaku dan aku hanya mengangkat bahu."Ya ampun, nanti deh Bulek kasih nomer HP-nya Angga. Soalnya Angga ganti nomer kemarin."DEG. Perkataan bu Surti mengusikku kali ini."Jadi anak muda jaman sekarang memang harus kerja keras. Harus berani keluar dari desa biar sukses. Kalau cuma di desa ya ujung- ujungnya

  • Pak Boss, Galakk!   Nasehat Mbak Siska

    Tok tok tok. Kuketuk pintu rumah mbak Siska yang terlihat habis direnovasi. Gentengnya terlihat baru, dindingnya yang dulu masih semen sekarang sudah dicat warna hijau dan lantainya sudah dikeramik. Aku tersenyum ikut bangga, sepertinya mbak Siska beneran sudah sukses di kota. Di halaman juga terparkir mobil. Bukan mobil yang wow memang tapi untuk ukuran orang desa punya mobil itu sudah cukup membuktikan kekayaan seseorang.Saat pintu dibuka, keluarlah seorang wanita cantik, putih dan wangi membuat Ayu melongo melihatnya. Sesaat wanita itu juga terdiam, seperti mengingat- ingat sesuatu."Mbak Siska?!" pekik Ayu kegirangan."Iya...?Kamu...?" "Aku Ayu, Mbak. Masa lupa?" Mbak Siska terlihat mengerutkan kening, mungkin sedang menggali ingatannya."Ya ampun Ayu?!" sekarang gantian mbak Siska yang memekik kegirangan setelah berhasil mengembalikan memorinya."Mbak sekarang cantik banget ih...," aku menoel pipi mbak Siska."Kamu bisa aja. Ayo masuk dulu!" ajak mbak Siska merangkul bahuku.A

  • Pak Boss, Galakk!   Gosip Miring

    Meski kemarin aku sempat kecewa karena tidak bisa ikut mengantar Angga ke terminal bersama keluarganya tapi hari ini kekecewaanku terobati karena Angga baru saja mengabariku bahwa ia telah sampai di Jakarta. Walaupun kami hanya berbicara sebentar itu sudah cukup bagiku karena aku tahu dia juga butuh istirahat setelah perjalanan jauh."Istirahat dulu Nak, jangan terlalu diforsir," tegur ayah."Iya Yah," balasku sambil tersenyum. Aku beranjak meninggalkan mesin jahit dengan senyum manis terukir di bibirku. Aku sudah minta maaf pada ayah kemarin mengenai kekesalanku pada ayah tempo hari dan tentu saja ayah memaafkan."Ayah sudah makan siang?" tanyaku sambil bergelayut di lengan ayah. Manja memang tapi beginilah aku. "Belum, nungguin putri ayah yang cerewet," jawab ayah sambil tersenyum jahil.Aku tak marah karena itu memang kenyataan. Tak hanya manja aku juga cerewet hanya saja saat bersama Angga aku harus menekan itu semua karena Angga tak menyukai gadis cerewet apalagi manja.Begitula

  • Pak Boss, Galakk!   Janji

    "Maaf aku harus pergi. Tapi ini semua demi masa depan kita. Pada saatnya nanti aku akan kembali dengan keadaan yang sudah siap mempersuntingmu," kata Angga sambil menggenggam jemariku. Aku terdiam sejenak, berusaha menenangkan hatiku yang sesak. Pada akhirnya perpisahan ini harus terjadi. Jauh sebelum hari ini, Angga memang sudah pernah menceritakan padaku tentang mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke kota. Namun aku tak menyangka hari itu akan datang secepat ini. "Kamu akan kembali kan?" tanyaku terdengar meragukannya. Angga tersenyum, "Tentu. Rumahku kan disini." "Maksudku... kamu akan kembali padaku kan? Kamu akan setia meskipun di kota banyak cewek cantik?" tanyaku penuh harap -harap cemas. "Ha ha ha...," Angga tertawa lebar membuat Ayu cemberut."Ayu... Ayu... Kamu tidak paham maksudku ya?" Aku mengernyitkan kening tidak paham dengan apa yang dia bicarakan. "Aku sudah bilang kan kalau aku pasti pulang ke rumah?" "Iya, aku tahu. Kamu pasti pulang ke rumah karena disana

DMCA.com Protection Status