Suara Vika memanggil dirinya sungguh pilu, tak lama Sinta muncul. Vika menangis di dekapan Biru. Ia kemudian meraih Vika dan menenangkannya. "Kakak di sini, Dek. Udah ya jangan nangis." "Kakak dari mana aja? Aku takut Kakak dijambak lagi," ucap Vika sambil terisak, ternyata anak kecil itu sedih Kakaknya disakiti orang. "Hehe ... maaf, Kakak kebelet jadi ke toilet dulu, yuk kita pulang, Dek." Sinta membukakan pintu mobil, dia masuk bersama Vika duduk bersama dibangku kedua. "Kakak jangan ke mana-mana ya," pinta Vika ia memeluk erat Sinta, begitu pun Sinta membalas erat pelukan Vika. Biru memasukkan boneka ke kursi depan dan ia juga masuk ke dalam mobil, duduk kemudian menyalakan mesin mobilnya lantas mereka pergi dari sana. Sinta dan Biru saling tatap dari kaca dalam mobil. ***Pikiran Sinta berkecamuk, ia langsung masuk ke dalam kamar tak ikut berbincang dengan Biru di ruang tamu. Sedangkan Vika sudah asyik dengan boneka barunya juga menyuruh orangt
Sinta enggan mendekat, bahkan ia tak menatap Biru sejak tadi. Ia duduk di tepi kasurnya, sedangkan Biru hendak masuk ke kamar namun dilarang oleh Sinta. "Stop! Nggak usah masuk! Mau ngapain masuk-masuk segala!" bentaknya galak. "Ya mau peluk cewekku yang lagi marah lah, mau ngapain lagi?!" Biru malah masuk, segera memeluk erat Sinta. Gadis itu tetap dengan keputusannya, ia mencoba memberontak namun Biru terlalu kuat untuk dikalahkan. Tangan kanannya terus memukul punggung lelaki itu, Biru membiarkan hal tersebut agar gadisnya lega melampiaskan amarahnya. "Lepas! Lepasin aku!" "Nggak akan, aku kangen kamu Honey." Biru mencium rambut Sinta, menghirup aroma tubuh Sinta yang selama ini membuatnya kecanduan. Setelah lima menit lamanya Sinta lelah dan akhirnya diam. Biru menarik diri, menatap Sinta yang menunduk, meraih dagunya dan mengecup bibirnya. "Oh, shit. Tutup pintunya!" seru Riko, ia menarik pintu dan menutup kamar Kakaknya, sedangkan Biru melepaskan bibirnya dari kekasihnya,
Biru merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. "Halo, Pak. Gimana ada perkembangan soal kasus Sinta?" tanya Biru, ia memegang pelipisnya, mengurut pelan agar pusingnya berkurang."Iya, Tuan Muda. Sejauh ini polisi sudah meminta Non Marsya untuk datang ke kantor, dia juga sepertinya menyewa pengacara untuk membela diri nanti." "Kalau begitu urus juga pengacara untuk Sinta, Pak. Perintahkan pengawal berjaga di rumah Sinta, takutnya Marsya menyuruh orang untuk menyerang Sinta dan keluarganya." "Baik, Tuan. Segera saya laksanakan.""Oke, Pak. Saya tutup.""Baik, Tuan."Biru menyimpan ponselnya kembali, saat akan melajukan mobilnya ia teringat Sinta. Ia tak jadi pergi sekarang, tapi ia menelpon lagi. Tiga panggilan tak diangkat oleh Sinta, gadis itu sengaja membuat Biru kesal. Ia sudah bertekad akan meninggalkan lelaki kaya tersebut, namun apa semudah itu? rasa-rasanya tidak. Dan mungkin malah tidak bisa. Sinta menon-aktifkan
Biru mendekat ke Sinta. Memegang tangan kanan Sinta dengan tangannya, kekasihnya itu grogi begitupun dirinya, Sinta tahu bahwa Langit sedang marah karena ia menepis tangannya berulang kali. Napas Biru menerpa wajahnya, Sinta refleks menutup matanya. Biru menurunkan jok tempat duduk Sinta agar gadis tersebut bisa merebah. Gadis itu kemudian membuka mata, ternyata Biru sedang melepas jasnya, menaruhnya dikursi samping kemudian melepas ikat pinggangnya. Pikiran Sinta sekarang sudah tidak bisa jernih, ia tentu berpikir negatif. Ia ingin menutupi bagian kewanitaannya tapi kalau Biru hanya ingin istirahat pasti dia akan malu nanti. Akhirnya ia menutup mata kembali, mencoba berpikir positif, tangan kanannya meremas celana yang dipakainya. Biru terkekeh karena Sinta terlihat begitu tegang. Biru menggeser kedua kaki Sinta, agar lututnya mendapat tempat dikursi. 'Mau ngapain sih? Jangan-jangan mau ngajak gue begituan,' tebak Sinta dalam hati. Jantung Sinta makin berdebar tak ka
Ketukan dipintu mobil mengagetkan keduanya, mereka menoleh ke jendela samping kemudi. Biru segera mengenakan pakaiannya lagi, sedangkan Sinta mengelap keringat di dahinya dengan tisu yang ia ambil dari dasbor mobil. Jantungnya berdetak tak karuan, Biru meminta Sinta duduk kembali di tempatnya, ketukan semakin memburu. Biru membuka sedikit jendela samping kemudi dan bersikap tenang seperti tak ada sesuatu yang terjadi. "Halo, Mas. Kenapa kok berhenti di sini? Anda warga mana ... bisa minta KTP?"Biru bukannya menjawab namun ia tersenyum dan turun dari mobil, menutup pintunya kembali. Brak! "Saya berhenti karena ngantuk jadi tidur sebentar. Saya akan melakukan perjalanan jauh, bahaya kan kalo mengemudi dalam keadaan mengantuk, bisa terjadi kecelakaan," kilah Biru berucap tenang, Sinta heran kenapa lelaki itu pintar mencari alasan. "Oh, begitu ... lain kali kalo mau tidur di hotel aja, Mas. Warga sini sering mergoki mobil berhenti tapi malah enak-enak dimobil." "Alesan aja tidur, tu
Sinta tak enak hati, ia yang digandeng tangannya oleh Biru berjalan tergesa, perlahan menghentikan langkahnya. Biru menoleh untuk bertanya. Koridor sedang sepi, mereka bisa bicara leluasa. Sinta melepaskan tangannya dari genggaman Biru. Ia memegang satu tangan Biru, menatap lekat mata lelaki di hadapannya. "Kamu nggak boleh gitu sama Mama kamu, kita nggak usah lanjutin hubungan ini ya?" Mata Sinta berair, air mata hampir jatuh dari pelupuk matanya. Biru tak setuju, ia menggelengkan kepalanya. "Nggak, kita nggak akan putus sampai kapanpun, nggak akan Sin." Sinta berkata lembut sekali. "Ngelawan orangtua itu nggak boleh, Langit. Kamu harus nurut apa kata mereka, aku juga bukan wanita yang tepat buat kamu." "Nah, nyadar diri juga lo, bagus deh. Yuk, Biru, kita masuk," ajak Sarah tiba-tiba muncul di belakang Sinta. "Nggak usah ikut campur urusan kita, mending kamu balik ke dalem," timpal Biru masih sabar. "Biru, lo nggak kena pelet cewek udik ini kan?"
Sinta menjadi sibuk berurusan dengan polisi, dua hari berlalu ia diantar jemput oleh Biru sendiri. Kasus tersebut hanya menunggu putusan pengadilan, namun anehnya bukan Marsya yang ditahan namun sopirnya. Sinta sebenarnya tak tahu siapa yang ada di dalam mobil waktu itu, tapi ia yakin bahwa yang sedang menyetir di dalam mobil tersebut adalah wanita. Mungkin bukan Marsya tapi entahlah, semoga ada titik terang. Keadilan memang harua ditegakkan tapi ... sekarang uang bisa membelinya, sekalipun salah jika ada uang tetap akan dianggap benar. ***"Anak itu emang susah dibilangin, baru kali ini dia nggak nurut apa kata tante," sungut wanita paruh baya, mondar-mandir di ruang rawat suaminya. "Tante, aku punya ide," celetuk Sarah mengagetkan Mama Biru, padahal suaminya sedang tidur jadi Sarah cukup mengganggu. "Sssstttt, jangan keras-keras dong, Sarah," protes Mama Biru. "Ups, iya, Tante, aku lupa ..." Sarah menutup mulutnya, tersenyum kemudian melanjutkan ucapannya. "gimana kalo aku-" Sar
Biru benar-benar tidak mengerti dengan maksud Sinta yang tiba-tiba meminta putus lagi. "Kamu tuh kenapa coba?" Sinta tersenyum jengkel, ia menghela napas kasar. "Lepasin gue sekarang!" Biru tetap memeganggi Sinta, gadis itu hanya perlu didengarkan sekarang. Sinta menggeleng lemah, dia merasa lelah karena dipermainkan oleh Biru."Udah-mendingan lo sekarang pergi dari sini!" usir Sinta setengah berteriak. Para tetangga yang mendengar teriakan Sinta buru-buru mengintip dari jendela rumah mereka masing-masing, sangat rugi ada tontonan jika mereka melewatkannya begitu saja, ibu-ibu itu sedang senang karena ada bahan untuk besok. "Sayang ... kamu itu kenapa sebenernya, aku salah apa? kamu tanya aja siapa tahu aku bisa jelasin. Kamu pasti cuma salah paham," balas Biru menatap sendu kekasihnya. "Apa? cuma salah paham?" tanya Sinta kesal, ia menepis kedua tangan biru. Menatapnya dengan sorot ingin menghabisi. "Kamu itu kenapa, Sayang?" Biru meraih jemari Sinta."Lo sadar apa yang lo lak
"Pak, nanti ikut saya ke showroom," ucap Biru. Dia kemudian membereskan beberapa berkas kemudian memasukkannya ke dalam tas lalu beranjak dari tempat duduknya. "Pak, nanti saya telepon kalo saya udah nyampek sana." "Ba-baik, Tuan." Pak Sony menatap Biru sebentar lalu mengangguk paham, tapi sedikit bingung ... menggaruk tengkuknya pelan, ekor matanya memperhatikan Biru yang keluar dari ruangan. Pintu tertutup, tapi tak lama kemudian langkah kaki terdengar mendekati pintu, dan ... kriit"Pak, siapin kamar dan private dinner buat tanggal 10 di resort kemarin," pinta Biru melongok dari luar pintu. Pak Sony memegang dadanya yang berdetak kencang karena terkejut. "Astaga!""Haha, maaf, Pak-sengaja ..." Biru membuka pintu lebar, terkekeh pelan. "Nggak, Pak, aku bercanda.""I-iya, Tuan," balas Pak Sony sekenanya. "Jangan sampek lupa ya, Pak," pesan Biru, balik badan melangkahkan kakinya melewati pintu ruang kerjanya. Tapi ketika Biru akan menutup pintu, Pak Sony menghentikannya. "Maaf, T
Sinta tersenyum penuh arti dan Vivi mengernyitkan dahinya, heran. "Woy, jawab dong malah nyengir," protes Vivi pada sahabatnya yang menurutnya jadi agak berbeda dari yang lain. "Eemmm-kayaknya gue kenal sih, kayak nggak asing gitu mukanya," papar Sinta santai. Vivi menghela napas dalam mengembuskannya kasar, meletakkan sendok dan mengelus dadanya berusaha sabar dengan jawaban sahabatnya yang datar sekali. "Elo kenal apa kagak? kalo nggak kenal emang lo gak takut diliatin terus? Iiih, ngeri," sambung Vivi bergidik ngeri, dia masih belum paham dengan maksud Sinta. "Udah tenang aja, lanjut makan," titah Sinta menatap Vivi, sahabatnya itu mendengus kesal dan melanjutkan makannya begitu pula Sinta. Mengacuhkan dua pengawal Langit yang terang-terangan mengawalnya ... Ah, bukan, lebih tepatnya membuntuti dirinya. Bagaimana tidak, mereka berdua sangat terang-terangan, seperti belum profesional dalam membuntutinya. Sinta selesai makan begitu pula Vivi. Sebelum masuk kelas dia mengirimkan
Sinta bangun pagi dengan perasaan gembira walau tubuhnya terasa remuk, lelah sekali. Sudah waktunya kembali ke kampus, dia harus melanjutkan kuliahnya, seperti hubungan percintaannya yang terus berlanjut dan menuju jenjang yang lebih serius. Sinta merentangkan kedua tangannya, duduk di tepi ranjang mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menguap. Senyum indah terbit begitu saja dari bibir Sinta, dia terkikik kala menyadari hidupnya terasa bagai dongeng pengantar tidur. "Udah adzan subuh aja, gue harus bangun ... siap-siap buat ke kampus ..." ucap Sinta beranjak dari kasurnya. "bisa-bisa gue ditendang keluar ntar kalo kebanyakan bolos," gumamnya berjalan gontai menuju meja belajarnya.***Sinta memarkir motornya ke belakang gedung perpustakaan, tak lama kemudian Sinta mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, tak ada suara motor berhenti. Sinta tak berpikir macam-macam dan segera membawa tumpukan buku penting ke dekapannya tanpa menoleh ke belakang. "Wih hebat bener lo udah tuna
Semua orang yang ada di ballroom hotel itu terpana melihat Sinta yang anggun dengan balutan kebaya warna pink pastel dengan jarik motif bunga. Tatanan rambut yang menawan, anggun dan cocok dengan kepribadian Sinta. Ratusan pasang mata tertuju pada gadis itu, mereka sampai membuka mulut karena terkesima dengan paras elok Sinta."Cantik juga tunangannya," ucap salah seorang pria, yang tak lain tak bukan ialah tamu undangan. "Iya, pasti pintar dan terpelajar," timpal lelaki lain. Pak Lukman berjalan berdampingan dengan Sinta, putri sulungnya itu memegang lengan bapaknya, jantung mereka berdetak kencang. "Tapi, keluarganya rumornya bukan orang kaya," ucap wanita itu setengah berbisik. Sinta dan Pak Lukman berusaha bersikap biasa, melewati tamu undangan yang sibuk membicarakan dia sekaligus keluarganya. "Gue denger-denger hubungan mereka gak direstui pihak ortu Biru, pasti si cewek ini ada apa-apanya." "Kayaknya cewek biasa sih, anak kuliahan mungkin," sahut yang lain. Acara sudah b
"Pakai lagi cincinnya, Sin," titah Biru menatap datar Sinta, gadis itu tak bergeming ia malas, malah bersedekap membuang muka ke samping. "Ayo, Sin pakai lagi," bujuk Biru, dia tetap sabar. "Nggak, kita putus," balas Sinta. "Kamu yakin? Kalau kamu bilang putus sekali lagi aku akan bener-bener pergi selamanya, kamu mau jauh dari aku?" Sinta menoleh, ia menghadap ke Biru, dia bersiap menumpahkan segalanya. "Kamu pikir gampang jadi aku? Harus nerima penghinaan dari keluarga kamu, kamu pikir aku nggak sakit hati?!" Sinta menitikkan air mata, dia tak sanggup membendungnya lagi. "Maaf, Sayang. Ayo kita hadapi ini sama-sama, kamu berdiri di samping aku," ujar Biru, menggenggam erat jemari Sinta. "Latar belakang kita beda, Langit, beda jauuh ... bagai langit dan bumi." Sinta melepas tangannya dari genggaman Biru. "Dan aku yang akan buat mereka tidak berjarak, Sin. Kita bersatu, buktikan ke orang tuaku kalau kita punya cinta, kekuatan itu yang buat kita bersama." Sinta menggeleng dan me
Setelah mereka bertiga selesai mengisi perut yang kosong, barulah Biru bertanya ada apa gerangan Pak Sony menyusulnya ke sini. Biru menatap lekat asisten pribadinya, melipat kedua tangan di atas meja. Sinta yang hendak pergi di tahan oleh Biru untuk sekadar menemaninya, tak ada hal yang ingin ia rahasiakan dengan calon istrinya itu. "Gimana, Pak? Ada apa?" Pak Sony mengelap mulutnya dengan tisu kemudian mulai berbicara. "Begini, Tuan. Ibu meminta saya untuk menyusul Tuan, meminta Tuan untuk segera pulang." Raut wajah Pak Sony berubah drastis, menjadi sangat serius. Biru hanya santai mendengarnya, menyedot kembali smoothie buah naga pesanannya yang belum habis, setelah Pak Sony diam lelaki itu meletakkan minumannya dan menatap asprinya, menyatukan jemari tangannya yang diletakkan di atas meja. "Saya sudah bilang ke mama, Pak, saya ada urusan di luar kota, Bapak juga tinggal bilang gitu harusnya.""Tapi, Ibu memaksa saya untuk membawa pulang Tuan hari ini
Dari kejauhan, lelaki dan perempuan itu menyipitkan mata memandang ke halaman bangunan lobi, melangkah semakin dekat ... Biru menangkap sosok yang tak asing baginya yaitu asistennya, Pak Sony. "Bukannya itu pak Sony?" tebak Sinta ragu, menatap lelaki yang menggandengnya, Biru menatap sebentar pada kekasihnya dan menatap depan lagi. "Iya, kamu bener, yuk kita ke sana." Biru dan Sinta mempercepat langkah untuk menghampiri Pak Sony yang berdiri di samping mobil berwarna hitam. "Iya, yuk," balas Sinta mengangguk samar. Pak Sony terlihat gelisah, sesekali melirik ke pergelangan tangannya dimana jarum arlojinya terus berjalan, pria itu lantas menoleh ke kiri dengan waspada lalu ke kanan. Senyumnya terbit ketika melihat orang yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat, mereka saling berpandangan. "Ah, Tuan, akhirnya Anda datang juga," ucap Pak Sony tersenyum setelah majikannya berdiri di hadapannya, asistennya tersebut menegakkan badan kemudian membungkuk sebentar. "Apa Bapak sudah lama nu
Dia lupa, Sinta lupa, dirinya tak melihat apakah Biru memakai pengaman atau tidak. Dia terlena sampai benar-benar lupa akan hal yang penting."Mati gue!" batinnya resah."Kamu kenapa sih, Honey?" tanya Biru masih dengan mata terpejam. "Nggak," balas Sinta singkat, dia kesal dan sekarang merubah posisinya memunggungi Biru. Laki-laki itu malah memeluk Sinta dari belakang. "Nggak papa ngomong aja pasti aku dengerin kok," ucapnya. Sinta memutar bola mata malas, dia tak percaya dengan ucapan lelaki di belakangnya. Sinta memindahkan tangan Biru yang melingkari perutnya, namun tangan itu malah memeluknya lagi bahkan rasanya ingin meremukkan tulang iganya. Sekarang 2 tangannya bergerilya ditubuhnya, tangan kirinya menyelusup ke bawah pinggangnya, dan satunya lagi di atas perutnya, Biru malah makin mengeratkan pelukannya. "Lepasin dong!" pekiknya sambil berusaha membuka kedua tangan Biru. "Nggak ... nggak akan aku lepas sebelum kamu jujur ke aku ada masalah apa," balas Biru tenang."Plis
Sinta terpana dengan panorama laut malam, bulan bersinar dengan terangnya, bintang-bintang bertaburan ... deburan ombak diiringi angin sepoi-sepoi, terasa sejuk dan menenangkan. Sinta duduk agak dekat dengan pinggiran laut, berjarak dua meter saja. Biru yang heran menggelengkan kepalanya karena Sinta tak menghampirinya malah berjalan mendekat ke pinggir laut, lelaki itu kemudian langsung menghampiri Sinta, duduk di sampingnya. "Nakal ya kamu," ucap Biru sambil memencet hidung Sinta. Sinta cemberut, menepuk punggung tangan Biru yang berhasil membuat hidungnya merah sekejap. "Cium nih," ancam Biru, mendekatkan wajahnya ke Sinta. Gadis itu tersipu, meski Biru tak melihat jelas rona merah dipipinya namun ia tahu Sinta tersenyum. Biru melekatkan bibirnya menyapu permukaan bibir Sinta, gadis itu langsung menutup matanya. Lelaki itu menjauh dan menatap gadisnya sejenak, Sinta yang heran karena Biru tak lagi menciumnya akhirnya membuka matanya perlahan. Biru tersenyum, berhasil menjahili