Malam itu, ayah memandang Rere dengan linangan air matanya.
"Maafkan ayah ya, Nak. Tidak bisa jadi wali di pernikahanmu." Akhirnya ayah yang memulai percakapan, tangan yang di tusuk jarum itu mengelus jari sang putri yang berada dalam genggamannya.
Rere tak menjawab, malah meletakkan kepalanya di samping ranjang tempat ayahnya rebah.
"Re ... bunda dan ayah mengikhlaskan kamu menjadi istrinya Dewa, semoga Allah juga meridhoinya."
"Aamiin." desis Rere hampir tanpa suara.
"Assalamualaikum." Rere tak mendongakkan kepala, dia hafal benar siapa yang baru saja mengucapkan salam.
"Wa Alaikum salam." Hampir serentak semua menjawab salam dari mas Rio.
"Bagaimana? Apa ada perkembangan? Menurut bunda, kamu tadi ke kantor polisi?" tanya pak Bagas pada orang yang baru saja mengucapkan salam.
"Iya, Om. Alhamdulillah orang yang nabrak sudah ditangkap," jawab mas Rio, yang mendekat ke ayah hanya sekedar mencium kening ayah kemudian
"Pa, jangan bilang ke Dewa dulu kalau aku ikut, ya? Aku mau bikin kejutan, dari bandara mau langsung ke kantor," pesan Rere pada papa mertuanya.Siang itu Rere dan pak Bagas dalam perjalanan ke bandara, setelah sebelumnya ke rumah sakit untuk pamit pada ayah dan bunda Rere."Siap." Pak bagas menjawab permintaan Rere, dengan lirikan mata menggoda, sebentar. Kemudian kembali fokus pada gerakan tangannya yang sibuk di atas ponsel.Lima belas menit perjalanan ke bandara, persiapan, kemudian langsung terbang sekitar empat puluh lima menit, mengantarkan pak Bagas dan Rere yang kini berdiri di lokasi yang berbeda."Kau mau aku temani ke kantor?" tanya pak Bagas, saat melihat mobil beserta supir pribadinya datang menghampiri."Tidak, Pa. Lagian aku mau ke apartemen setelahnya," jawab Rere dengan bibir tersenyum."Oiya, Pa. Pesan ayah jangan lupa. Istirahat dan jangan ....""Stres!"Keduanya tertawa s
Dengan bangga Alman menceritakan siapa sosok Nia pada Dewa. Juga tentang bagaimana hubungan Rere dan calon istrinya ini."Kenapa tidak kau ajak ke sini, Man.""Dia ada di rumahku sekarang, bersama orang tuanya,""Benarkah?" Rere tampak antusias sekali mendengar Nia ada di sini."Ya, rencananya nanti malam aku akan mengajaknya menemui pak Bagas.""Bisakah kau membantuku, Dew?""Membantu apa?""Suruh dia berhenti kerja, aku ingin dia di rumah saja."Rere sontak menoleh kepada Dewa yang saat itu juga tengah menatapnya."Apa?""Apakah kau juga bakalan menyuruhku untuk berhenti kerja.""Kalau untuk kerja di kantor seperti sekarang, iya. Tapi kalau kau kerja yang bisa kau lakukan semaumu, aku dukung.""Maksudnya?" Alman dan Rere hampir bersamaan, bertanya dengan kata yang sama."Ya kalau seumpama kau buka kafe, toko buku, bunga, atau salon. Itu semua kan nggak menuntut kamu harus ada setiap saat di
"Selamat ya mbak, atas pernikahannya. Mudah-mudahan Allah memberkahi mbak dan bapak, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan mbak dan bapak berdua pada kebaikan."Rere dan Dewa tersenyum dan mengaminkan doa Mak.Mungkin sebelum Rere dan Dewa datang ke apartemen, Udin sudah menceritakan lebih dulu tentang pernikahan kedua bosnya.Hingga saat mereka baru saja menginjakkan kaki di apartemen langsung disambut Mak dengan doa."Aden berdua, ini sudah makan apa belum?" tanya Mak dengan sikap dan panggilan yang berbeda."Aden apa, Mak? Biasa aja ah, aku nggak suka." Rere memonyongkan bibirnya saat mendengar Mak merubah panggilannya untuknya.Mak hanya bisa tersenyum saat di protes oleh bosnya. Dan langung pamit ke belakang, setelah Dewa meminta untuk membuatkan dirinya kopi."Mau nunggu di sini apa, gimana?""Kamu maunya gimana?""Maksudnya?""Kita sudah nikah Rere, apa kau mau kita tinggal d
Sepi! Hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang sepertinya menjawab apa yang ada dalam benak Dewa, saat ia kembali masuk ke dalam kamarnya karena urusan kantor dengan papanya sudah selesai.Dasi yang dari tadi sudah tak rapi lagi, dia buka lalu di letakkan begitu saja di sandaran kursi meja hias.Dewa menghela nafas panjang,matanya menatap ke arah pintu kamar mandi dengan pikiran yang yang traveling.Merasa tak mendapatkan satu pun jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dewa kemudian membantingkan badannya yang terasa lebih capek ke atas ranjang. Memejamkan mata dan mencoba mengatur lagi rasa malas yang kini ada di hatinya."Mas!?" Tiba tiba Dewa di kejutkan dengan suara istrinya yang sudah berdiri di samping ranjang dengan tubuh di balut handuk berwarna biru, namun tak mampu mencegah wangi sabun untuk masuk ke dalam hidung Dewa.Dewa terus memandangi Rere yang masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan menggunakan -- hair dryer. Sam
Namun, matanya menatap sang suami yang rupanya hanya sebatas memanggil saja, lihat! Dewa malah tertidur dengan pulasnya.Rere terus memandangi wajah tampan di depannya, dia mendekat kemudian mengecup kening suaminya dengan perlahan."Makasih!"Rere membesarkan matanya saat mendengar Dewa mengucapkan terima kasih, dengan mulut yang tersenyum walau matanya terpejam."Ish ... kupikir kau sudah tidur," seru Rere yang kemudian sedikit menjauh, duduk di depan meja hias yang tersedia.Baru saja tangannya hendak membuka kosmetik miliknya, ponsel Dewa tampak menyala dengan mengeluarkan nada yang tidak begitu keras.Tanpa membukanya, tampak di jendela ponsel milik suaminya, pesan dari aplikasi hijau yang mengabarkan tentang seseorang yang sedang hamil, dan Dewa harus tanggung jawab. Hanya sebagian pesan, tapi isinya sudah cukup bagi Rere mengerti apa yang dimaksud oleh si pengirim pesan.Sontak Rere terdiam sejenak, hing
"Mbak ....!"Rere tersenyum saat matanya yang dari tadi menatapi setiap orang yang ada di bandara, akhirnya dia melihat perempuan berambut panjang yang tergerai indah, cantik berbaju casual. Vera, teman kos yang sengaja ia minta untuk menjemput."Diiih, tambah cantik aja kamu, Ver?!"sapa Rere yang mendekat, kemudian memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Vera, sekilas. "Mbak juga, tampak lebih cantik, lebih gemuk sekarang," sahut Vera, tak mau kalah.Mereka melangkah beriringan, melangkah ke mobil Vera. Selama perjalanan ke parkiran, Vera lebih aktif, dia menceritakan semua yang terjadi di rumah kos setelah Rere pergi."Mbak beneran mau kos lagi?" tanya Vera, saat mereka sudah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Vera."Iya ....""Kenapa?""Ada sesuatu yang tak bisa aku ceritakan sekarang, entah nanti malam atau besok.""Hahaha ... silahkan istirahat aja, Mbak. Eh .... Tapi musik yang aku nyalain ini ng
Rere masuk kedalam kamarnya kemudian meletakkan baki itu di meja dekat ranjangnya, entah kenapa perutnya langsung terasa tidak enak saat tercium aroma sesuatu yang ada di bubur.Rere memuntahkan isi perutnya yang masih kosong di kamar mandi. Dengan mata berair, Rere keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya, kelihatan lelah sekali."Mbak, are you, ok?" Dita, anak kos yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Rere muncul dari balik pintu yang memang belum di tutup."Tolong singkirkan bubur itu, Dit, please ...."Dita mengangguk, dari gerakan mulut nya terbaca dia mengatakan ok berulang kali. Baki yang di atas meja, Dita ambil kemudian dia bawa keluar dari kamar, menyisakan teh hangat.Rere akhirnya bisa bernafas lega, perlahan dirinya melangkah ke ranjang, sambil duduk, tangannya meraih gelas yang berisi teh dan disesapnya sedikit demi sedikit."Mbak ... sepertinya Mbak harus ke dokter deh, anak anak pada khawatir," pinta Di
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D