"Mmm ... sepertinya aku harus mulai membeli banyak sabar." Rere berdesis, kakinya melangkah menuju ke meja, hanya mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam tas, barulah kemudian ia jinjing tas itu keluar dari ruangannya.
"Na ... Ini uang untuk delivery nanti, aku ada urusan di luar kantor, sebelum pulang tolong benahi ruanganku dulu ya," ujarnya saat sengaja berhenti di depan meja sekretarisnya.
"Akan saya lakukan, Bu." jawab Ina yang langsung berdiri, tangannya mengambil uang yang tadi Rere letakkan di atas meja.
"Makanan yang untukku boleh kamu bawa pulang, dari pada mubazir."
"Terima kasih, Bu."
Selesai memberikan pesan pada Ina, Rere melangkah mendekati ruangan Dewa yang tampak tak tertutup pintunya, dengan melewati meja Dyah.
"Assalamualaikum ...."
"Wa alaikum salam," jawab Bu Zeza dan Dewa hampir bersamaan. Keduanya juga langsung menoleh pada Rere yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Kamu sudah siap?" tanya Dewa,
"Hei ... lepaskan aku!" Dinda menjerit saat tangannya ditarik Dewa keluar dari ruangan. Sesaat mereka menjadikan diri sendiri sebagai tontonan pengunjung."Apakah kamu tahu hubungan mereka, Dew?" Selidik bu Zeza, pada Rere yang hanya bisa mengangguk dengan wajah datar, walau masih tampak kalau dirinya sedang menyembunyikan satu rasa."Apakah ini yang membuatmu ragu pada Dewa, sehingga meminta untuk tidak melanjutkan pertunangan kalian?""Iya, Ma.""Mmm ...." Helaan nafas dalam dari hidung bu Zeza tampak seperti membuang sesak beban di dada beliau."Silahkan ...."Seorang perempuan berseragam datang membawa list makanan dan minuman yang kemudian diletakkan di depan aku dan Bu Zeza. Kemudian berdiri menunggu."Apa yang ingin kau makan, siang ini, Dew?" tanya Bu Zeza, bertanya tanpa menoleh ke arah Rere. Terkesan sedang mengalihkan pembicaraan.Ada yang berubah dari nada suara Bu Zeza, sepertinya tak ada l
"Kau mau sambalku?" tanya Dewa, yang menyodorkan sambal di sendoknya ke arah Rere."Mau!" Sontak wajah Rere sumringah, tangannya langsung mengambil alih sendok berisi sambal itu dari tangan Dewa."Makasih ya," ujarnya lagi, kali ini tanpa melihat ke arah Dewa. Membuat Bu Zeza dan Dewa saling pandang dan saling tersenyum."Ya ampun, Dew. Itu sudah banyak banget lo, awas sakit perut!?" seru Bu Zeza melihat Rere dengan lahapnya menikmati bebek bumbu dengan sambal dan nasi."Insya Allah, nggak Ma. Huuk huuk!"Rere langsung meneguk gelas berisi air mineral yang berada di depannya. Dibantu Dewa yang sudah berdiri dan menepuk pelan punggung Rere, dari belakang."Dew, pelan pelan, aduh sampai segitunya ...." ujar mama yang tersenyum bahagia melihat kerukunan keduanya."Hahaha ... lama nggak pernah ngerasain yang kayak gini, juga baru tahu kalau resto semewah ini bisa mesen masakan lokal seperti yang sekarang di atas meja." jawab Re
"Bu, tadi ada orang ngirim paketan, sengaja langsung saya letakkan di atas meja." lapor Ina, langsung berdiri dari duduknya, saat melihat Rere, yang baru saja datang dari rapat di luar kantor bersama Dewa."Makasih ya, Na." jawab Rere, meneruskan langkah yang sempat terhenti, untuk segera masuk ke dalam ruangannya.Dari pintu, Rere sudah melihat di atas mejanya, ada bungkusan kotak berpita, berukuran sedang dengan warna yang sangat tidak ia sukai, merah!Sambil berjalan mendekat, matanya terus melihat aneh pada bungkusan yang ada di atas meja. Tangannya terulur mencari siapa nama pengirimnya. Namun, Ia tak menemukannya.Mungkin, Rere merasa ada sesuatu dengan bungkusan itu, badannya tiba tiba bergidik, apalagi dia merasa tidak memesan barang, dan tidak sedang merayakan hal yang special hari ini."Na ....!" Rere memanggil sekretarisnya."Ya, Bu." Ina bergegas masuk ke dalam ruangan Rere, yang pintunya
"Karena kamu adalah cinta pertamaku."Rere melengos, jengah. Rasa tak percaya tampak sekali di wajah itu."Dengarkan! Waktu itu di kantin. Sebenarnya tak sengaja mendengarmu berjanji, aku memang sengaja datang ke kantin atau ke perpus tempatmu biasanya duduk sendiri atau berdua bersama temanmu, Yuni. Benar?""Kau tahu?" Rere kaget, tak menyangka Dewa bisa tahu kesehariannya dulu waktu masih di SMA."Tentu saja, karena aku adalah orang yang menyelamatkanmu saat hampir ditabrak mobil saat pulang sekolah waktu SMP dulu," jelasnya lagi, tangannya mengelus lembut jemari Rere dan diangkat mendekati wajah kemudian menciuminya lama.Rere memandang Dewa tak percaya, bayangan kejadian masa lalu, seperti berputar ulang di benaknya sekarang."Jadi kau ....!""Ya, itu aku! Orang yang kau teriakin 'makasih, i love you'!"Rere langsung berdiri dan memeluk pria yang masih menggenggam tangannya itu, andai saat itu De
51Rere tak menjawab, ia merasa percuma berdebat dengan Dewa, dirinya lebih memilih berdiri, dan meletakkan bungkusan yang Dewa beri tadi, ke atas meja."Mau kemana?"dengan sigap Dewa menangkap tangan Rere yang hendak melangkah pergi."Cuci tangan. Nggak mungkin kan aku makan bebek pakai sendok?"Dewa tersenyum, tangannya melepaskan genggaman dan membiarkan Rere menjauh menuju ke kamar mandi yang berada di sebelah ruangannya.Dyah dan Ina pun ikut berdiri, saat mendengar alasan Rere. Mereka pun ingin cuci tangan.Sesaat kemudian Rere dan kedua sekretaris nya datang dengan kedua tangan basah.Dewa terus menerus menatap Rere yang juga tengah menatapnya."Ada apa?" tanya Rere dengan memajukan dagunya sejenak ke arah Dewa. Sebelum duduk di tempat yang sama.Dewa tak menjawab, dia hanya tersenyum saat melihat Rere kembali duduk di sampingnya.Kembali tangan Rere mengambil kotak yang tadi, kemudian mencampurkan nasi d
Hampir saja Rere melepas ponselnya saat tiba tiba ada suara sambung terdengar dan layar berubah, ada sebuah nama di sana.[Ada apa, Din] tanya Rere, saat tahu Udin adalah orang yang sedang menghubungi dirinya[Mau mengabarkan, Mbak. Nur udah di bawa ke ruang rawat. Juga mau izin pulang ke apartemen sebentar, ngambil keperluan Mak dan Nur.][Ooo ... Ok!][Apakah, mbak mau saya ambilkan sesuatu di apartemen?][Tidak, tidak ada][Baik mbak, makasih atas izinnya. Saya langsung berangkat. Wassalamualaikum]Rere memutuskan komunikasinya, setelah sebelumnya membalas salam Udin. Kini tangannya beralih menelpon nomor tujuan yang sebelumnya tak pernah di angankan untuk ia hubungi.Sudah sepuluh kali Rere men-dial nomor yang sama. Tapi sepertinya orang yang ia tuju mungkin sudah terlelap, mengingat ini sudah menunjukkan lewat tengah malam.Bergegas Rere menyelesaikan administrasi untuk Nur, juga sekalian menebus obat
"Mak, aku pulang dulu ya, nanti balik lagi, mau ganti baju sekalian liat kondisi apartemen." Rere pamit pada Emak yang baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Mbak. Maaf nggak bisa masak dan bersih bersih," sesal Mak dengan pandangan mata menunduk, menatap lantai.Rere tak menjawab, dia hanya mengangguk sambil menepuk pundak mak pelan."Mbak pulang dulu ya, Nur. Nanti kalau pengin sesuatu bilang aja ma kakak, ya!?"Nur tak menjawab, dia hanya tersenyum pada Rere dan Dewa bergantian. Wajahnya sudah tidak pucat lagi.Dengan diantar Dewa, Rere pulang ke apartemen nya."Masuk, Wa." ujar Rere mempersilahkan Dewa masuk ke dalam apartemennya. Setelah dirinya membuka pintu."Tunggu sebentar, ya."Rere melangkah naik tangga menuju ke kamarnya. Setelah Dewa mengiyakan permintaanya. Kemudian turun lagi dengan menggunakan baju kaos lengan panjang dan celana training panjang. Tampak lebih santai."Kau suka kopi apa teh?" ta
Dewa menarik tangan Rere yang masih dalam genggamannya ke arah balkon."Kau tahu banget dengan seluk beluk apartemen ini, Wa?" tanya Rere yang melangkahkan kaki bersama."Begitukah menurutmu?""Ya, seingatku, aku tidak pernah bercerita kalau di apartemen ini ada balkonnya, tapi kamu kok bisa tahu?""Mungkin kamu lupa?!" Dewa menjawab sambil melirik ke arah perempuannya."Aku bukan jenius, tapi aku masih ingat betul kalau aku tak pernah bercerita tentang apartemen ini." jawab Rere, tangannya yang bebas mendorong pintu sebelah kanan, begitu pun dengan tangan Dewa yang berhasil membuka pintu di sisi yang lainnya."Re ... Kamu sering duduk di sini?" tanya Dewa, yang masih menggiring Rere ke tepi balkon, hingga tampaklah olehnya lampu kota Jakarta yang bersinar seakan sedang berkelap-kelip."Tidak begitu, memangnya kenapa?""Sini, dud
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D