51
Rere tak menjawab, ia merasa percuma berdebat dengan Dewa, dirinya lebih memilih berdiri, dan meletakkan bungkusan yang Dewa beri tadi, ke atas meja.
"Mau kemana?"dengan sigap Dewa menangkap tangan Rere yang hendak melangkah pergi.
"Cuci tangan. Nggak mungkin kan aku makan bebek pakai sendok?"
Dewa tersenyum, tangannya melepaskan genggaman dan membiarkan Rere menjauh menuju ke kamar mandi yang berada di sebelah ruangannya.
Dyah dan Ina pun ikut berdiri, saat mendengar alasan Rere. Mereka pun ingin cuci tangan.
Sesaat kemudian Rere dan kedua sekretaris nya datang dengan kedua tangan basah.
Dewa terus menerus menatap Rere yang juga tengah menatapnya.
"Ada apa?" tanya Rere dengan memajukan dagunya sejenak ke arah Dewa. Sebelum duduk di tempat yang sama.
Dewa tak menjawab, dia hanya tersenyum saat melihat Rere kembali duduk di sampingnya.
Kembali tangan Rere mengambil kotak yang tadi, kemudian mencampurkan nasi d
Hampir saja Rere melepas ponselnya saat tiba tiba ada suara sambung terdengar dan layar berubah, ada sebuah nama di sana.[Ada apa, Din] tanya Rere, saat tahu Udin adalah orang yang sedang menghubungi dirinya[Mau mengabarkan, Mbak. Nur udah di bawa ke ruang rawat. Juga mau izin pulang ke apartemen sebentar, ngambil keperluan Mak dan Nur.][Ooo ... Ok!][Apakah, mbak mau saya ambilkan sesuatu di apartemen?][Tidak, tidak ada][Baik mbak, makasih atas izinnya. Saya langsung berangkat. Wassalamualaikum]Rere memutuskan komunikasinya, setelah sebelumnya membalas salam Udin. Kini tangannya beralih menelpon nomor tujuan yang sebelumnya tak pernah di angankan untuk ia hubungi.Sudah sepuluh kali Rere men-dial nomor yang sama. Tapi sepertinya orang yang ia tuju mungkin sudah terlelap, mengingat ini sudah menunjukkan lewat tengah malam.Bergegas Rere menyelesaikan administrasi untuk Nur, juga sekalian menebus obat
"Mak, aku pulang dulu ya, nanti balik lagi, mau ganti baju sekalian liat kondisi apartemen." Rere pamit pada Emak yang baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Mbak. Maaf nggak bisa masak dan bersih bersih," sesal Mak dengan pandangan mata menunduk, menatap lantai.Rere tak menjawab, dia hanya mengangguk sambil menepuk pundak mak pelan."Mbak pulang dulu ya, Nur. Nanti kalau pengin sesuatu bilang aja ma kakak, ya!?"Nur tak menjawab, dia hanya tersenyum pada Rere dan Dewa bergantian. Wajahnya sudah tidak pucat lagi.Dengan diantar Dewa, Rere pulang ke apartemen nya."Masuk, Wa." ujar Rere mempersilahkan Dewa masuk ke dalam apartemennya. Setelah dirinya membuka pintu."Tunggu sebentar, ya."Rere melangkah naik tangga menuju ke kamarnya. Setelah Dewa mengiyakan permintaanya. Kemudian turun lagi dengan menggunakan baju kaos lengan panjang dan celana training panjang. Tampak lebih santai."Kau suka kopi apa teh?" ta
Dewa menarik tangan Rere yang masih dalam genggamannya ke arah balkon."Kau tahu banget dengan seluk beluk apartemen ini, Wa?" tanya Rere yang melangkahkan kaki bersama."Begitukah menurutmu?""Ya, seingatku, aku tidak pernah bercerita kalau di apartemen ini ada balkonnya, tapi kamu kok bisa tahu?""Mungkin kamu lupa?!" Dewa menjawab sambil melirik ke arah perempuannya."Aku bukan jenius, tapi aku masih ingat betul kalau aku tak pernah bercerita tentang apartemen ini." jawab Rere, tangannya yang bebas mendorong pintu sebelah kanan, begitu pun dengan tangan Dewa yang berhasil membuka pintu di sisi yang lainnya."Re ... Kamu sering duduk di sini?" tanya Dewa, yang masih menggiring Rere ke tepi balkon, hingga tampaklah olehnya lampu kota Jakarta yang bersinar seakan sedang berkelap-kelip."Tidak begitu, memangnya kenapa?""Sini, dud
Terdengar suara Isak, lirih namun terasa dekat, memaksa Dewa dengan susah payah membuka matanya."Ma ...."Panggilan Dewa pada Bu Zeza, sangat lirih. Namun, masih bisa terdengar oleh mamanya"Dewa, kamu sudah sadar?" seru Bu Zeza dengan suara tertahan, beliau sontak berdiri dari kursinya dan menekan bel yang menempel di tembok atas kepala sang putra. Seperti yang dokter pesankan pada beliau.Wajah perempuan separuh baya itu terlihat sangat bahagia, walau guest kecemasan belum sepenuhnya hilang."Dewa ...!" Pak Bagas yang berada di sofa sebelah pintu masuk kamar, bergegas menghampiri putranya yang sedang terbaring lemah dengan balutan perban di kepala dan tangan kiri. Saat mendengar jeritan tertahan dari istrinyaWalau pun akhirnya beliau, hanya mendapatkan senyuman yang dipaksakan oleh sang putra sulung."Tunggu ya, sayang," seru
"Kamu sehat?" tanya Dewa , saat melihat siapa orang yang baru masuk ke dalam kamar rawatnya. Dewa juga sontak mengulurkan tangannya untuk perempuan itu genggam.Rere tersenyum sambil mendekat, menuruti apa yang Dewa minta tadi. Ada gelenyar indah yang ia rasa saat tangan mereka bergenggaman.Sesuai dengan rencana, pagi itu Rere di antar ke dua orangtuanya jenguk Dewa. Dan sekalinya bertemu, sikap manja dewa semakin terlihat, makan minta di suapi, apa-apa minta Rere yang membantunya, hingga membuat dua pasang orang tua yang berada di kamar yang sama hanya bisa tersenyum."Aku mau pulang ke surabaya,""Kenapa?""Aku ingin kita pisah dulu sementara, sejak kita dekat banyak kejadian luar nalar yang terjadi.""Maaf ....""Kamu selesaikan dululah urusanmu, jangan sampai di antara mereka ada yang sakit hati, karena kalau perempuan udah sakit hati, itu ba
"ini rumah makan baru, Bun?" tanya Rere saat mobil yang ayahnya kendarai berhenti di depan sebuah rumah makan yang bila dilihat dari luar cukup nyaman dan agak ramai."Ya ... tapi sudah sangat terkenal banget ini, Re. Aslinya bukan dari daerah sini. Tapi saking terkenalnya jadi buka cabang di sini." Bunda mencoba menjelaskan. tangannya meraih pundak putrinya, mengajak melangkah masuk bersama.Dengan menganggukan kepala. Rere dan bunda masuk ke dalam rumah makan itu, sedangkan ayah yang baru selesai memarkirkan mobil, tidak langsung bergabung. Beliau malah berdiri di belakang orang, seperti sedang mengantri."Ayah ngapain, Bun?" tanya Rere, setelah menemukan bayangan sang ayah, setelah tadi sibuk mengedarkan pandangan mencarinya."Mesenlah, jadi kalau di sini model mesennya seperti itu.""Sebentar." Rere sontak berdiri dan langsung mendekati ayahnya."Rere aja yang mesen, ayah dud
Tanpa menunggu jawaban, Rere kembali melangkah menuju ke kursi tempatnya tadi duduk."Senangnya yang ketemu dengan sahabat lama." sambut bunda dengan mata menatap wajah putrinya, di bibir beliau ada senyum menggoda."Iya ... ah bunda pasti sengaja mengajak aku ke sini, kan? Biar bisa ketemu dengan Ema?""Iya sih, tapi sebenarnya memang karena masakan bebek sini enak kok, Re?" jawab Bunda."Permisi ...."Seorang perempuan datang mendekati meja mereka dengan kedua tangan menenteng alat seperti rantang namun hanya besinya saja, sebagai tempat membawa piring yang berisi nasi putih, piring berisi lauk, sambal dan mangkok mencuci tangan."Mbak, ini kok beda? Biasanya buat cuci tangan langsung ke wastafel?" tanya Bunda, sesaat setelah semuanya siap di atas meja."Saya tidak tahu, Bu. Ini hanya mengikuti perintah saja." jawab karyawan tadi, yang kemudian pamit u
Rere hanya bisa tersenyum saat bunda mengingatkannya pada julukan yang Ema dan Yuni berikan untuknya waktu sekolah dulu. Si putri tidur."Yuni, gimana, Ma?""Besok aku jemput kamu ke rumah, ya. Kita ke rumah Yuni bersama.""Jam berapa?""Acaranya kan jam sepuluh, Re?""Acara, acara apa?""Kamu nggak Yuni kabarin? Yuni mau tunangan besok.""Aku nggak tahu." jawab Rere dengan wajah tak berdosanya."Ya udah besok datang aja sama Ema. Tapi Ema datang sendirian nggak? Kalau sama pacarnya jangan, Rere biar nggak jadi orang ke tiga.""Besok kami bertiga kok, Bun. Saya ikut." Elang menimpali ucapan Bunda.Bunda tak menjawab, hanya saja bibirnya mengerucut ke depan dan langsung membentuk huruf 'o'."Tapi, aku tak punya gaun, Ma. Aku sengaja nggak membawa baju lebih." Rere kembali memasang wajah sedih.
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D