"Emangnya kamu mau pacar yang seperti apa, Dew?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan seragam dengan jilbab menutupi kepala, kepada perempuan cantik yang sedang duduk di depannya.
"Mmm ... kok aku? Aku kan belum pernah pacaran, Em. Kamu tanya Yuni sajalah." Jawab Rere, menolak, tangannya sibuk mengaduk es batu dalam gelasnya hingga menimbulkan bunyi berisik.
"Ema nanya seperti itu karena sampai saat ini, kamu belum juga pacaran, bukan ke orang yang sudah pernah pacaran, jelek!" Untung saja siang itu kantin sekolah tidak begitu ramai, tidak seperti biasanya, jadi ketiganya bisa leluasa bercanda.
Ketiganya perempuan berseragam itu kemudian tertawa bersama, begitu bahagia. Persahabatan mereka kelihatan tulus, tidak ada rasa marah saat satu dengan yang lainnya saling mengejek.
"Ayo jawab, Dew!" pinta perempuan yang tadi Rere panggil dengan sebutan Yuni. Perempuan berdarah cina, yang memilih hijrah, berkerudung.
"Aku nggak punya batasan harus sepert
"Boleh bicara sebentar?" Tanya Yuni pada lelaki yang saat ini sedang berjalan di depannya, menuju area parkir. Sengaja ia menyuruh Ema untuk pulang berdua saja bersama Rere, karena ada yang harus ia selesaikan."Ada apa?" tanya pria yang kini berhenti melangkah, malah sudah membalikkan badannya ke arah Yuni, setelah tadi sempat dicolek sedikit bahunya."Katakan! Alasan apa yang membuatmu mencium sahabatku, tadi?" pinta Yuni dengan sedikit mengangkat wajahnya ke arah lelaki tampan yang terkenal di SMU itu."Jangan sok pahlawan deh, atau ... mungkin kamu mau aku cium juga?" tanya pria itu yang melangkah semakin mendekat ke arah Yuni.Seketika itu juga Yuni mendorong badan lelaki yang besarnya dua kali dari badannya itu untuk menjauh darinya."Jangan bersikap berlebihan!" ucap Yuni, badannya menunduk dengan muka tetap menghadap ke arah si pria, dengan menggunakan tangan kiri, resleting rok yang tersembunyi di bawah ditariknya ke a
Bunyi tamparan terdengar keras hingga membuat Yuni kaget dan membesarkan kedua matanya.Bukan Yuni saja rupanya yang kaget, Dewa pun melakukan hal yang sama seperti yang sedang Yuni lakukan. Dengan tangan kanan meraba pipinya yang panas, matanya melotot ke arah Alman yang kini sudah berada di depannya.Tampak sekali betapa marahnya Alman, Dewa tak pernah sekali pun melihat Alman menampakkan wajah kejam seperti saat ini."Kita memang brengsek, tapi tidak merusak perempuan, apa yang ada dalam pikiranmu saat itu?" kata Alman, pelan tapi sangat tegas terdengar."Man, a-aku ....""Pulang Yun, tak usah kamu yang mengurus ini, aku yang akan membawanya meminta maaf pada temanmu, kirimkan saja alamatnya padaku.""Makasih, kak Alman." Ujar Yuni, tangannya terulur ke tasnya yang tadi ia letakkan begitu saja di tanah, kemudian bergegas berlalu setelah mengubah yang dipakainya kembali menjadi rok."Man ...a-a--."Alman tak m
"Mau apa datang ke sini?" tanya Rere dengan muka datar, dia hafal dengan wajah orang yang telah berbuat kurang ajar, tadi padanya, kini berdiri, salah satu dari mereka."Aku Alman, teman Yuni. Temannya dia juga." tangan Alman menunjuk ke belakang punggungnya, posisi di mana Dewa tengah berdiri."Aku hanya mengantarkan dia untuk minta maaf kepadamu. Seperti janjiku kepada Yuni," ujar Alman meneruskan ucapannya.Rere mengalihkan pandangannya kepada Dewa. Sorot matanya tampak tak bersahabat. Ada amarah yang tampak dari wajah cantik itu."Hai ... namaku Dewa, maaf ya, tadi aku hanya mengikuti suruhan orang untuk menciummu. Maaf," ujar Dewa, dengan kedua tangan menangkup sempurna di depan dadanya."Pulanglah ...." Dengan wajah tak ada ekspresi, Rere balikkan badannya, dan menutup pintunya kembali.Alman langsung membalikkan dirinya, kemudian salin bertukar pandangan dengan Dewa. Tentu saja jawaban Rere membuat kedua lelaki yang
"Apakah mama mengganggumu?" Sapa ibu Zeza, mamanya Dewa siang itu di tiba tiba muncul di ruangan Rere. Dengan diantar Ina yang melangkah di belakangnya.Perempuan yang sudah tidak muda. Namun, masih terjaga kecantikan dan keindahan tubuhnya ini, berlenggang pelan masuk ke dalam ruangan Rere dengan tangan kanan memegang tas berwarna hitam."Bu-eh ... Ma. Ada apa?" gelagapan Rere menyambut kedatangan ibu suri perusahaan, ia langsung berdiri dan mendekati ibu Zeza.Mereka berdua berpelukan dan saling mencium pipi kanan, kiri."Apakah Dewa memberikanmu banyak pekerjaan hari ini?" Tanya ibu Zeza, saat beliau melangkah ke sofa berbentuk L yang berada di pojok kanan dari pintu masuk."Tidak, hanya pekerjaan rutin saja. Ada apa ke sini, kenapa tidak memanggil saya saja untuk datang ke rumah?" tanya Rere yang memilih duduk di samping Bu Zeza."Tidak apa-apa, lagian mama sudah lama tidak jalan jalan ke kantor. Kamu bagaimana Dew, seh
"Mmm ... sepertinya aku harus mulai membeli banyak sabar." Rere berdesis, kakinya melangkah menuju ke meja, hanya mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam tas, barulah kemudian ia jinjing tas itu keluar dari ruangannya."Na ... Ini uang untuk delivery nanti, aku ada urusan di luar kantor, sebelum pulang tolong benahi ruanganku dulu ya," ujarnya saat sengaja berhenti di depan meja sekretarisnya."Akan saya lakukan, Bu." jawab Ina yang langsung berdiri, tangannya mengambil uang yang tadi Rere letakkan di atas meja."Makanan yang untukku boleh kamu bawa pulang, dari pada mubazir.""Terima kasih, Bu."Selesai memberikan pesan pada Ina, Rere melangkah mendekati ruangan Dewa yang tampak tak tertutup pintunya, dengan melewati meja Dyah."Assalamualaikum ....""Wa alaikum salam," jawab Bu Zeza dan Dewa hampir bersamaan. Keduanya juga langsung menoleh pada Rere yang baru saja masuk ke dalam ruangan."Kamu sudah siap?" tanya Dewa,
"Hei ... lepaskan aku!" Dinda menjerit saat tangannya ditarik Dewa keluar dari ruangan. Sesaat mereka menjadikan diri sendiri sebagai tontonan pengunjung."Apakah kamu tahu hubungan mereka, Dew?" Selidik bu Zeza, pada Rere yang hanya bisa mengangguk dengan wajah datar, walau masih tampak kalau dirinya sedang menyembunyikan satu rasa."Apakah ini yang membuatmu ragu pada Dewa, sehingga meminta untuk tidak melanjutkan pertunangan kalian?""Iya, Ma.""Mmm ...." Helaan nafas dalam dari hidung bu Zeza tampak seperti membuang sesak beban di dada beliau."Silahkan ...."Seorang perempuan berseragam datang membawa list makanan dan minuman yang kemudian diletakkan di depan aku dan Bu Zeza. Kemudian berdiri menunggu."Apa yang ingin kau makan, siang ini, Dew?" tanya Bu Zeza, bertanya tanpa menoleh ke arah Rere. Terkesan sedang mengalihkan pembicaraan.Ada yang berubah dari nada suara Bu Zeza, sepertinya tak ada l
"Kau mau sambalku?" tanya Dewa, yang menyodorkan sambal di sendoknya ke arah Rere."Mau!" Sontak wajah Rere sumringah, tangannya langsung mengambil alih sendok berisi sambal itu dari tangan Dewa."Makasih ya," ujarnya lagi, kali ini tanpa melihat ke arah Dewa. Membuat Bu Zeza dan Dewa saling pandang dan saling tersenyum."Ya ampun, Dew. Itu sudah banyak banget lo, awas sakit perut!?" seru Bu Zeza melihat Rere dengan lahapnya menikmati bebek bumbu dengan sambal dan nasi."Insya Allah, nggak Ma. Huuk huuk!"Rere langsung meneguk gelas berisi air mineral yang berada di depannya. Dibantu Dewa yang sudah berdiri dan menepuk pelan punggung Rere, dari belakang."Dew, pelan pelan, aduh sampai segitunya ...." ujar mama yang tersenyum bahagia melihat kerukunan keduanya."Hahaha ... lama nggak pernah ngerasain yang kayak gini, juga baru tahu kalau resto semewah ini bisa mesen masakan lokal seperti yang sekarang di atas meja." jawab Re
"Bu, tadi ada orang ngirim paketan, sengaja langsung saya letakkan di atas meja." lapor Ina, langsung berdiri dari duduknya, saat melihat Rere, yang baru saja datang dari rapat di luar kantor bersama Dewa."Makasih ya, Na." jawab Rere, meneruskan langkah yang sempat terhenti, untuk segera masuk ke dalam ruangannya.Dari pintu, Rere sudah melihat di atas mejanya, ada bungkusan kotak berpita, berukuran sedang dengan warna yang sangat tidak ia sukai, merah!Sambil berjalan mendekat, matanya terus melihat aneh pada bungkusan yang ada di atas meja. Tangannya terulur mencari siapa nama pengirimnya. Namun, Ia tak menemukannya.Mungkin, Rere merasa ada sesuatu dengan bungkusan itu, badannya tiba tiba bergidik, apalagi dia merasa tidak memesan barang, dan tidak sedang merayakan hal yang special hari ini."Na ....!" Rere memanggil sekretarisnya."Ya, Bu." Ina bergegas masuk ke dalam ruangan Rere, yang pintunya
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D