"Kenapa ...?"
Belum sempat Rere menjawab pertanyaan ayahnya.
Dewa tiba tiba berdiri dan bergegas menuju ke luar ruangan, membuat semua mata tertuju ke arahnya.
"Karena aku dan Dewa mempunyai tambatan hati yang lain, Ayah."
"Maksudmu, Dewa pacaran dengan orang lain, begitu? Tidak! Itu tidak mungkin Dew!" Pak Bagas yang ternyata menyimak perbincangan antara Rere dan ayahnya, ikut angkat bicara, senyumnya mengisyaratkan kalau apa yang tadi ia dengar dari Rere itu hanya kabar palsu.
"Kalau kau merasa keberatan, bawa calonmu hari ini juga ke rumah Om Bagas, Dewa pun harus melakukan hal yang sama, barulah pertunangan kalian akan kami pertimbangkan, bagaimana?" tantang pak Satria yang sedang menatap tajam mata putrinya.
Revia langsung memalingkan mukanya dari tatapan pak Satria. Ini waktunya dia harus berkompromi dengan Dewa, karena hanya dia yang mempunyai pacar se
Terdengar pak Satria sedang menarik nafas panjang dan dalam. Membuat Rere jadi salah tingkah, karena merasa telah mengecewakan ayahnya."Kita bicarakan ini nanti, saat kita sudah berkumpul di rumah Om Bagasmu."Rere mengangguk saat mendengar keputusan yang ayahnya tadi katakan. Jujur ini adalah kali pertamanya menolak keinginan sang ayah, sebelumnya dia selalu menuruti apa yang orang tuanya inginkan.Selama perjalanan, tak ada lagi pembicaraan mengenai perjodohan, pak Satria yang paham kalau suasana hati putrinya sedang tidak enak, menggoda dengan ujaran- ujaran lucu hingga membuat Rere menyerah, dan akhirnya melupakan sejenak tentang masalahnya tadi.Mobil berhenti di sebuah rumah yang tak asing bagi Rere, sebuah rumah yang dulu kerap ia datangi bersama Alman saat awal masuk kerja.Beriringan, pak Satria dan Rere masuk ke dalam rumah yang tampaknya sengaja tak menutup pintu.
Mendengar apa yang pak Bagas dan pak Satria rundingkan, sontak mata Rere melotot ke arah Dewa yang sepertinya sengaja tak mengindahkan isyarat darinya, dengan membuang muka saat tahu arah mata Rere akan berpaling ke dirinya."Sudah, jangan membantah lagi, atau kau mau pernikahan ini dilaksanakan seminggu lagi?" Pak Satria kembali melarang, saat kebetulan menolehkan lehernya ke arah Rere dan melihat mulut putrinya itu sudah terbuka. Namun, belum bersuara."Ayaaaah ...." desis Rere jengah, karena sempat matanya melirik Dewa yang sedang tersenyum penuh kemenangan."Sudahlah keputusan kami sudah bulat, kalian hanya tinggal menjalani saja," ujar Ayah lagi, yang mendapat persetujuan dari pak Bagas dan Bu Zeza serta ibu."Ibu sudah siap, kan?" Tanya ayah, mata mereka beradu, membuat iri Rere yang melihatnya."Ibu, mau kemana?" tanya Rere, yang mengalihkan rasanya sejenak."Ayah dan ibu harus pulang hari ini, ada Mbak Santimu dan Wildan
Rere memilih membisu, saat kedua orang tuanya pamit pada pak Bagas, dan ibu Zeza. Hingga akhirnya kini berempat di dalam mobil, mengantarkan kedua orang tuanya ke bandara.Sesekali saja dia menjawab apa yang bapak dan ibunya tanyakan, seketika itu juga dia berubah menjadi sosok yang pendiam. Rere lebih memilih membisu dari pada yang keluar dari mulutnya nanti adalah hal-hal yang bakal nyakitin hati orang lain."Bu, Rere nggak mau nikah sama Dewa." Akhirnya dia bisa mengutarakan isi hatinya pada ibu, saat keduanya berjalan bersisian di belakang ayah yang melangkah sejajar bersama Dewa. Dengan jarak lumayan jauh, sekitar satu setengah meter."Kenapa ...? Kamu tidak percaya dengan pilihan ayah dan ibu?" Tiba-tiba ibu menghentikan langkahnya, wajah yang biasanya menentramkan hati kini berubah, tampak berbeda warna, menghadap ke arah Rere tepat memandang matanyanya lekat."Bukan tidak percaya, Bu. Tapi Dewa--" ragu-ragu terdengar dari ucapan Rere yang menggantung,
"Iya, mbak. Nama itu yang tadi Udin sebut.""Ya, Allah ...!" Rere kembali memutar badannya dan melanjutkan langkahnya menaiki tangga, dan langsung masuk ke dalam kamar dengan mengunci pintunya."Sepertinya Dewa melakukan apa yang dia ucapkan, tapi kenapa? Bukannya kemarin dia benci banget padaku? Kenapa sekarang jadi berubah dua ribu derajat?" desis Rere, tangannya meletakkan tas di atas nakas dekat ranjangnya, sambil terus melangkah mendekat, kemudian naik ranjangnya tanpa lagi bertukar baju."Rencana apa yang sedang ia susun dalam kepalanya yang mesum itu?" Lagi-lagi Rere bermonolog sendiri. Mungkin bila ada yang melihatnya saat ini, orang itu pasti akan mengira kalau dia lagi kena gangguan jiwa.Rere terbangun saat ponselnya berbunyi, satu nada yang biasanya tidak ia senangi, entah kenapa saat ini malah membuatnya merasa mendapat angin segar walau sesaat.[Hallo, assalamualaikum, Man.] Sapa Rere yang langsung menarik tanda gagang ponsel berwarn
[Tidurlaaah ... Sudah malam, mungkin hatimu masih lelah, ceritakan besok, aku menunggu!]Alman mematikan ponselnya secara sepihak, saat mulut Rere sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu, bunyi tuuut sudah menyambut lebih dahulu."Asem ...." Ponsel Rere lempar sambil mendengus, kemudian membenamkan wajahnya pada bantal empuk di hadapannya, hingga akhirnya terlelap.****Suara tertawa, bercampur dengan suara TV membuat Rere terbangun, dan langsung meraba ke arah nakas tempat lampu tidurnya duduk manis.Seketika lampu berwarna biru sendu menyinari kamarnya, jam di tembok menunjukkan angka sembilan, sekitar dua jam-an rupanya dia terlelap.Dengan langkah malas, Rere bangkit dari tidurnya, kemudian melangkah ke lemari, dan kembali melangkah menuju kemar mandi dengan meletakkan salinan baju di lengan tangan kirinya. "Kalian belum tidur?" tanya Rere yang sudah kelihatan lebih segar setelah mandi tadi."Belum, Mbak. Mak m
Rere makan mie yang tadi sudah ia campur dengan irisan lombok kecil, lahap sekali, tak ada tanda-tanda di wajahnya yang menunjukkan kepedasan.Hingga membuat Mak yang memperhatikannya hanya bisa menggeleng- geleng kepala."Nggak pedes, Mbak?" tanya Nur yang sesekali menatap Rere makan."Nggak, nggak ada rasa pedes sama sekali, Nur. Tapi ini jangan kamu contoh, ya." jawab Rere dengan santai, tangannya kembali memasukkan sesendok mie ke dalam mulut. Membuat Nur dan Mak kembali mengambil nafas panjang.Nur dan Mak yang selesai lebih dulu makanannya, sengaja tak beranjak dari kursinya, menunggu Rere menyelesaikan makannya."Mak dan Nur kan sudah selesai, nunggu apa?" tanya Rere yang baru saja memasukkan suapan mie terakhirnya ke dalam mulut."Nunggu, Mbak ...." jawab Nur datar dan santai."Nunggu aku? Kenapa?" tanya Rere kembali, dengan tangan yang baru saja meletakkan gelas setelah sebelumnya meminum habis isi gelas itu."Nggak pa-p
"Emangnya kamu mau pacar yang seperti apa, Dew?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan seragam dengan jilbab menutupi kepala, kepada perempuan cantik yang sedang duduk di depannya."Mmm ... kok aku? Aku kan belum pernah pacaran, Em. Kamu tanya Yuni sajalah." Jawab Rere, menolak, tangannya sibuk mengaduk es batu dalam gelasnya hingga menimbulkan bunyi berisik."Ema nanya seperti itu karena sampai saat ini, kamu belum juga pacaran, bukan ke orang yang sudah pernah pacaran, jelek!" Untung saja siang itu kantin sekolah tidak begitu ramai, tidak seperti biasanya, jadi ketiganya bisa leluasa bercanda.Ketiganya perempuan berseragam itu kemudian tertawa bersama, begitu bahagia. Persahabatan mereka kelihatan tulus, tidak ada rasa marah saat satu dengan yang lainnya saling mengejek."Ayo jawab, Dew!" pinta perempuan yang tadi Rere panggil dengan sebutan Yuni. Perempuan berdarah cina, yang memilih hijrah, berkerudung."Aku nggak punya batasan harus sepert
"Boleh bicara sebentar?" Tanya Yuni pada lelaki yang saat ini sedang berjalan di depannya, menuju area parkir. Sengaja ia menyuruh Ema untuk pulang berdua saja bersama Rere, karena ada yang harus ia selesaikan."Ada apa?" tanya pria yang kini berhenti melangkah, malah sudah membalikkan badannya ke arah Yuni, setelah tadi sempat dicolek sedikit bahunya."Katakan! Alasan apa yang membuatmu mencium sahabatku, tadi?" pinta Yuni dengan sedikit mengangkat wajahnya ke arah lelaki tampan yang terkenal di SMU itu."Jangan sok pahlawan deh, atau ... mungkin kamu mau aku cium juga?" tanya pria itu yang melangkah semakin mendekat ke arah Yuni.Seketika itu juga Yuni mendorong badan lelaki yang besarnya dua kali dari badannya itu untuk menjauh darinya."Jangan bersikap berlebihan!" ucap Yuni, badannya menunduk dengan muka tetap menghadap ke arah si pria, dengan menggunakan tangan kiri, resleting rok yang tersembunyi di bawah ditariknya ke a
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D