Siangnya, Agatha pergi ke rumah sakit diantar oleh David. Ia sama sekali tidak dapat menolak Rafka yang sibuk mengirimkan pesan kepadanya hampir setiap beberapa menit sekali. Setelah menjalani pemeriksaan menyeluruh karena permintaan Rafka, Agatha keluar sambil membawa kertas hasil tes yang menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu serius yang terjadi dengannya dan kini ketakutannya mengenai dirinya tengah mengandung juga sudah hilang. Baru saja keluar dari depan pintu ponsel Agatha berdering dan menemukan nama Rafka di layar ponselnya. Jarinya langsung mengusap ikon panggilan berwarna hijau itu.“Gimana hasilnya?” tanya Rafka ysng terdengar dari sambungan telepon.“Hasilnya … udah keluar,” balas Agatha yang berniat untuk bermain-main dengan Rafka.“Adiva please! Apa kata dokter?” tanya Rafka dengan suara dengar khawatir.“Dokter bilang kalau … aku boleh pulang,” jawab Agatha dengan menahan senyumannya. “Adiva!” panggil Rafka beberapa kali. Sementara Agatha terdiam saat melihat pria yang
Agatha terbangun saat merasakan seseorang memanggil namanya beberapa kali. Ia mengerjapkan matanya dan melihat Mira berdiri di samping tempat tidurnya.“Ini sudah jam makan malam, Nyonya.”“Kami sudah menyiapkan semuanya,” sambung Mira.“Apa Rafka sudah pulang?” tanya Agatha lalu duduk dan bersandar di ujung tempat tidur.“Belum, tapi Tuan Rafka menyuruh saya untuk menyiapkan makan malam dan memastikan Nyonya tidak telat makan,” jawab Mira.“Panggil saja saya Adiva,” ujar Agatha.“Maaf … tapi saya tidak berani,” balas Mira.“Kalau gitu saya nggak mau makan malam,” pungkas Agatha.“Baik, Mbak Adiva. Saya rasa saya bisa memanggil anda begitu,” ujar Mira sambil menundukkan kepalanya.Agatha tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya. “Kalau begitu saya mandi dulu, nanti saya akan langsung ke bawah setelahnya.”Mira menganggukan kepalanya. “Kalau butuh sesuatu katakan saja pada saya,” kata Mira. Setelah Mira keluar, Agatha masuk ke dalam kamar mandi untuk berendam dan menyegarkan tubuhnya s
Keesokan paginya, Agatha terbangun dan tidak menemukan Rafka di sampingnya. Tak lama para pelayan mengetuk pintu lalu masuk. “Kami sudah menyiapkan sarapan, Nyonya … eh maksud saya Mbak Adiva,” ujar Mira sementara para pelayan di belakangnya tengah sibuk membuka tirai jendela.“Apa Rafka ada?” tanya Agatha.“Tuan Rafka sudah berangkat ke kantor sejak tadi,” jawab Mira.“Apa dia bilang sesuatu?” tanya Agatha lagi.“Tuan bilang akan kembali untuk makan malam bersama,” balas Mira sementara Agatha hanya mengangguk.“Baiklah, lima belas menit lagi saya akan turun,” ujar Agatha.Setelah para pelayan pergi Agatha menatap ponselnya dan betapa kecewanya saat tidak ada satu pun notifikasi pesan dari Rafka. Agatha melemparkan ponselnya dengan kesal lalu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar lalu memeriksa ponselnya yang berdering. Ia mengernyitkan dahinya saat sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal menghubunginya. Agatha membuka pesan tersebut dan matanya melebar sa
Rafka mengejar Agatha lalu memeluknya dari belakang dan menaruh kepalanya di bahu Agatha.“Sampai kapan pun aku nggak akan pernah menceraikan kamu, sekarang kita saling mencintai dan nggak ada yang lebih penting daripada itu,” jelas Rafka.Tubuh Agatha menegang, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. “Tapi aku nggak bisa selamanya terus hidup seperti ini. Aku ingin bebas melakukan apapun yang aku suka dan aku juga mau semua orang tahu aku hidup,” balas Agatha. “Aku lelah disembunyikan seolah aku ini penjahat dan berbahaya untuk orang lain,” sambung Agatha sementara Rafka menggelengkan kepalanya.“Nggak … itu nggak benar,” gumam Rafka.“Beri aku waktu sedikit lagi, secepatnya aku akan membereskan semua ini dan kita akan bersama,” lanjut Rafka lalu membalik tubuh Agatha.“Mungkinkah kita akan bersama kalau kamu tahu siapa aku sebenarnya?” tanya Agatha dalam hatinya. “Aku kasih kamu dua bulan, kalau kamu belum bisa menyelesaikan ini lebih baik kita bercerai,” balas Agatha tanpa berani
Hari-hari berlalu, selama satu bulan ini banyak dihabiskan Agatha dengan berbagai kegiatan. Hari demi hari tampak sekali perubahan dalam dirinya. Seperti halnya yang kegiatan memasak yang sedang ia lakukan saat ini.“Aduh biar saya saja yang masak, Nyonya. Nanti kalau jari Nyonya terluka lagi bagaimana?” ujar Laras, pelayan yang selama ini mengajari Agatha memasak.“Saya baik-baik saja, Bi. Jangan terlalu khawatir, lagipula ini bukan hal besar. Saya mau belajar beberapa masakan ini dan menunjukkannya sama Rafka kalau dia sudah kembali nanti,” jelas Agatha dengan antusias saat membayangkan Rafka memuji masakannya.“Sekali lagi deh, Bi. Kalau saya belum bisa masaknya saya pasrah,” sambung Agatha sambil menangkup tangannya di depan dada.\Setelah satu jam masakan yang Agatha buat pun selesai. Ia langsung meminta Laras mencicipi masakannya.“Wah, ini sudah enak Nyonya. Saya rasa Tuan akan suka,” ucap Laras.“Serius Bi … Bibi nggak bohong kan untuk nyenengin saya?” tanya Agatha sambil ters
Keesokan harinya Agatha melakukan aktivitas seperti biasanya. Kini ia tengah memilih pakaian yang akan digunakan untuk menyambut Rafka saat pulang nanti. Agatha berpikir bahwa ia akan menganggap semuanya baik-baik saja. Agatha memilih untuk melupakan masalah pertunangan Rafka dengan Kiara.“Tenang, Tha. Nggak boleh stres … nggak boleh stres … kamu harus menikmati semua momen dengan Rafka selagi bisa,” gumam Agatha kepada dirinya sendiri.Saat sedang asyik memilih pakaian terdengar suara ketukan pintu.“Ya, masuk!” seru Agatha.“Saya ingin memberi tahu kalau bahan-bahan yang Nyonya pesan sudah datang dan sudah saya siapkan di dapur,” ujar Rara.“Baik, Ra. Sebentar l
“Sebenarnya kita akan pergi ke mana?” tanya Agatha. “Nanti anda akan mengetahuinya,” balas pria berkaca mata hitam dengan dingin. Lama-kelamaan Agatha merasakan dirinya mulai mengantuk dan akhirnya ia tertidur selama perjalanan. Ketika bangun ia menyadari tubuhnya tidak dapat bergerak karena terikat tali. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan melihat sekitar dan menemukan dirinya berada di sebuah ruangan yang gelap. Agatha berteriak beberapa kali sampai ia mendengar suara kaki yang tengah melangkah ke arahnya.“Siapa kalian? Kenapa kalian melakukan ini? tanya Agatha dengan berteriak.Tidak ada jawaban selama beberapa detik lalu tak lama lampu mulai menyala tetapi Agatha belum bisa melihat orang yang menghampirinya karena ia memakai masker dan juga kacamata hitam.“Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?” tanya Agatha lagi.Wanita itu melepas masker dan kacamatanya membuat mata Agatha melebar sempurna saat melihat seorang wanita yang sangat mirip dengannya tengah berdiri menghadap
Setelah meninggalkan Agatha sendiri Adiva melangkah memasuki gedung tempat acara pertunangan Rafka dan Kiara. Tampak Adiva berdiri di baris paling belakang saat semua orang tengah memusatkan perhatiannya mendengar Ravindra yang sedang menyambut para tamu undangan. Seorang pelayan memberikan segelas minuman kepadanya dan Adiva mengambilnya dan tak sengaja ia melihat wajah yang familiar di tengah kerumunan.Adiva mengeratkan pegangannya pada gelas yang ada di tangannya sambil bersembunyi di belakang tubuh seseorang yang lebih tinggi.Tak lama, suasana menjadi sunyi dan semua mata tertuju saat Rafka dan Kiara memasuki ruangan. Beberapa saat kemudian, Kiara terlihat memasukkan cincin ke jari manis Rafka. Namun, Adiva datang dan membelah kerumunan saat Rafka ingin memberikan cincin itu kepada Kiara.“Tunggu!” seru Adiva membuat semua orang menatap ke arahnya dan beberapa orang yang hadir di sana tampak terkejut ketika melihatnya.“Maaf semuanya dan maaf Kiara karena saya rasa pertunangan
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,