“Ini memang salahku.”“Yang bilang itu bukan salahmu siapa?” dengkus kasar Kakek Levon sembari melirik kesal sang cucu, yang terduduk saling bersandar memunggungi satu sama lain di atas lantai penjara dengan wajah kusut Luis yang menunduk.“Kalian sudah mau makan belum?”“ ... kalau kalian tidak segera pergi menyusul untuk makan, jatah kalian akan diberikan pada yang lain.”Mendengar pertanyaan itu, cucu dan kakek itu kompak mengangkat wajah angkuh.Sejak kapan anggota keluarga Pietro harus mengantre, dan berdesak-desakan hanya demi satu piring makanan?Penghinaan. Ini sungguh penghinaan.“Apa yang kalian lihat? Berani kalian pada anggota polisi? Sudah salah, masih berani menatap begitu tak tahu diri.”“... hampir mencelakai anak di bawah umur, memukuli orang sampai sekarat. Pengadilan seharusnya mengadili kalian sampai dua puluh tahun.”Luis bangkit. Lelaki itu berdiri dengan tubuh jangkungnya menjulang tinggi. Ia melangkah panjang hingga salah satu lengan berotot lelaki tam
Alice sudah kehilangan kata-kata untuk mengusir Luis. Semakin diusir, lelaki itu semakin menampakkan kegigihan untuk ada di sini.“Duduklah, untuk apa kau masih berdiri?” Sangat tak tahu malu. Lelaki itu bahkan bersikap tenang seperti tak memandang kejadian beberapa jam lalu.“Luis, menyingkir dari putraku.”“Putramu? Dia juga putraku. Aku daddy-nya. Bukan pria di rumah sakit itu. Ayo ikut Daddy pulang Gerald.” Kepala Luis sengaja dimiringkan pada sang putra. Ia melirik meledek ke arah Alice. Seakan tengah membuktikan omongannya tadi.Mata panas Alice semakin terbuka lebar, saat mendengar ajakan Luis. Langit gelap belum juga berganti, tetapi ia sudah akan dipisahkan lagi dengan sangat putra? Jangan harap.“Kamu masih punya muka setelan hampir menjatuhkan Gerald dari lantai gedungmu?”“Aku tidak benar-benar melakukan itu. Jika anak lain, mungkin aku tidak akan segan melempar tanpa berpikir dua kali. Tapi, Gerald putraku. Pewarisku..,apa kau tidak melihat banyak anak buahku mela
Curah hujan yang tak biasanya turun, entah kenapa hari ini turun begitu deras. Kota Berlin malam ini sedang basah kuyup, diguyur hujan menyeluruh. Daun-daun pepohonan tampak bergoyang seiring ritme keceriaan malam ini. Alice termenung di depan jendela dengan secangkir cokelat panas di tangan. Pandangan yang sudah lama melurus, kini ia jatuhkan pada uap kecil yang menari-nari di atas minuman hangat itu. Ia menghela napas dalam, lantas kembali membuang pandangan lelah ke depan. Menatap curah hujan yang bak tirai putih menutupi sepenjuru kota, ditemani suara gemuruh pelan yang justru sedikit menenangkan kegelisahan Alice. “Dia pasti sudah gila,” gumam berbisik Alice sembari menggeleng kecil, “jadi selama ini dia belum menikahi Devina? Kenapa bisa?” “Alice!” Suara melengking dari luar kamar membuat sang pemilik nama menoleh ke belakang, menatap tenang pada sumber suara yang sudah bisa dikenali. Walaupun Alice harus menutup mata, “aku membawa selimut tambahan! Diperintah kakekmu!” imbu
“A-aku bisa jelaskan ini semua .... Tadi, Gerald terbangun saat aku datang, lalu,-”“Lalu kalian menghancurkan kamar ini? Begitu? Ya Tuhan, Luis ... Gerald! CEPAT BERSIHKAN SEMUA INI, DAN KAMU GERLAD ... KELUAR DARI BAK EMBER ITU!”Tak ada pergerakan dari bocah laki-laki itu di sana, Gerald justru tersenyum lebar dengan tubuh kecil sedikit meringkuk di dalam bak plastik berisi air dengan bola-bola plastik berwarna-warni mengambang.“... GERALD, KAMU DENGAR MOMMY? KE.LU.AR DA.RI SA.NA!” Dengan menekan suara melengkingnya, barulah bocah laki-laki itu menurut dengan bibir mengerucut merajuk, dibantu turun oleh Luis yang juga tak berani menatap mata galak Alice.Nyali kejam Luis seketika menciut.“Ya Tuhan, apa kalian tak tahu ini sudah malam?” Tambah Alice dengan mendesah lelah.Alice benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan Luis dan sang putra. Mereka berdua membuat ubun-ubun kepala Alice berdenyut panas. Seharusnya ini waktunya semua orang tertidur, tetapi anak dan ayah itu
Mobil Rolls-Royce Phantom baru saja berhenti di halaman luas kediaman keluarga Pietro. Beberapa pelayan terlihat berlarian menyambut. Dua di antara mereka penuh hormat membukakan pintu mobil untuk sang pewaris Pietro.Dengan sikap dingin yang sama, Luis nyelonong keluar begitu saja. Diikuti Frans yang mengoceh sejak di perjalanan hingga detik ini yang tak dipedulikan Luis.“Tuan Luis, tunggu saya!” Setelah ikut berlari tergopoh-gopoh menyusul sang tuan muda, tubuh Frans langsung berbalik, dengan berjalan bergaya mundur. Frans lantas menyebar pandangan galaknya ke seluruh pelayan yang tampak terkesiap beberapa detik melihat apa yang mereka lihat saat ini.“Semua menundukkan kepala! Jangan sampai kepala kalian dipenggal!”“... Tuan Luis, pantat Anda bolong. Kenapa tidak menunggu saya? Semua pelayan melihat Tuan Muda,” sambung berbisik lirih Frans.Sang asisten pribadi Luis berbalik, Frans berjalan tepat di belakang punggung panjang sang tuan. Terus meniru gerakan tubuh tuannya,
“Kalian sedang membicarakan apa?” Pandangan Hugo dan Rose sontak teralih cepat pada suara lembut Alice, yang terdengar kian dekat, “beri salam, Gerald.”Gerald mengangguk bersemangat, sembari tersenyum menggemaskan. Tangan kiri mungilnya yang tak digandeng sang mommy melambai riang di udara.“Hai, Mommy Rose .... Hai, Daddy Hugo! Gerald sudah datang!”Mendengar perkataan Gerald, Alice seketika menggeleng gemas dengan senyum simpul mengembang di bibir. Selalu saja, ada tingkah Gerald yang membuat hari kacau Alice terobati kembali.Apalagi saat mengingat betapa kacaunya dapur rumah Hugo karena Luis tadi pagi.“Alice?” Rose berdesis terhenyak, tak sadar bibirnya memanggil sang sahabat, setelah perdebatan sengit antara dirinya dan Hugo. Apakah Alice sempat mendengar apa yang mereka berdua bicarakan?Tiba-tiba pandangan Rose yang membeku sesaat, jatuh pada punggung tangan kanannya yang diselimuti telapak tangan hangat Hugo.Sorot mata itu perlahan naik, hingga bertemu dengan Hugo,
“Daddy!”Hap!Tubuh kecil Gerald yang berlari kencang seketika ditangkap Luis, yang langsung menggendong bocah laki-laki itu.Dengan naluri sebagai ayah, Luis tak segan memberi kecupan lembut di pipi gembul Gerald.Dan apa yang terjadi, tak lepas dari pandangan Alice. Yang kebetulan ada di belakang punggung Gerald yang berlari tadi.“Wah, jagoan Daddy! Apa kabarmu hari ini?”“Sangat baik, Daddy. Gerald tidak lagi sering pusing, juga Gerald makan banyak hari ini. Di rumah, dan rumah sakit,” adu antusias bocah laki-laki itu yang bercerita tentang kesehatannya hari ini, “lihatlah perut Gerald yang besar. Hehehe.”“Rumah sakit? Apa kau sakit?” Todongan pertanyaan itu langsung mendapat gelengan dari Gerald, dengan jari kokoh Luis membenarkan letak kerah pakaian sang putra yang terselip, “lalu siapa yang sakit? Apa itu teman mommy-mu?”“Tidak, Dad, tapi Daddy Hugo.”“Hugo? Jadi Alice masih sempat menjenguk pria lemah itu? CK! Kenapa waktu itu, tidak aku pukul sampai mati saja,” den
Sudah berhari-hari Alice disibukkan di ruang penelitian bagian teknologi MNK GROUP tanpa Hugo untuk sementara waktu. Tujuan wanita itu hanya satu, ingin segera pergi dari negara ini.Alice tiba-tiba berbalik, saat sebuah tangan menyentuh bahunya.“Ya?”“Miss Alice, ini saya. Tuan Besar Levon dan Direktur Luis ingin kita pergi ke ruang rapat sekarang.”“... dan juga beberapa tim. Tuan Besar ingin melihat sudah jauh apa progres proyek kita.” Lanjut Sisca sembari tersenyum ramah memberitahu Alice yang sempat terpaku sesaat, “kedatangan Tuan Besar sangat langka. Kita jangan sampai membuat Tuan Levon kecewa.”“Ha? Kenapa mendadak sekali?”Sisca mengangkat bahu, lantas menjawab lagi, “Saya tidak tahu, Miss.”Setelah pertemuan untuk pertama kali antara Alice dan Kakek Levon di kediaman utama keluarga Pietro, hubungan di antara mereka menjadi sangat canggung.Jelas sekali raut wajah kecewa masih hadir di guratan tua keriput di wajah Kakek Levon yang belum juga pudar, seperti kala Alic