DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL SAAT PULANG KAMPUNG, PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL DI JAKARTA
#6
"Mbak, kamu sama Mila memangnya nggak bilang ibu kalau tiap bulan aku transfer empat juta buat kebutuhannya? Kok yang beredar di luaran sana bilang aku anak durhaka yang nggak mau merawat orang tua, nggak ngirimin uang juga. Gimana sih? Buat apa uang yang selama ini kutransfer?" tanyaku kesal saat Mbak Sinta dan Mila membantuku memasukkan snack ke box.
Dua saudara kandungku itu pun mendongak seketika. Mereka saling pandang lalu menghentikan aktivitasnya.
"Maksudmu gimana sih, Rum? Uang itu jelas buat ibulah, memangnya kamu pikir buat siapa? Selama ini aku sama Mila gantian rawat ibu, kan? Ibu juga terawat dengan baik kok. Kamu kok mendadak curiga begitu?" Mbak Sinta menjawab dengan sedikit gugup.
"Bener kata Mbak Sinta, kami merawat ibu dengan baik. Lagipula kalau misal kita pakai sedikit, wajar dong, Mbak. Kami yang rawat ibu sejak dulu, sementara kamu cuma modal uang, kan? Nanti kamu juga bakal ngerasain sendiri gimana ribetnya ngurus orang tua, apalagi kalau dia sedang sakit. Seperti kata pepatah, orang tua itu kadang berubah seperti balita di saat tertentu," timpal Mila cepat.
Aku yakin mereka memang menyembunyikan sesuatu dariku. Uang itu nggak semuanya mereka gunakan untuk kebutuhan ibu. Entah buat apa.
"Sudah deh, Rum. Kan Mbak udah bilang, kalau hidup di kampung memang begini. Nggak individualis seperti di kota. Ada saja yang mereka gosipkan. Makanya jangan terlalu didengarkan ocehan mereka. Bisa stress kalau kamu selalu menanggapinya."
Mila pun menganggukkan kepala, membenarkan ucapan kakak sulungnya.
"Lagian Mas Rudy sama Mas Andi kerja, Mbak. Mbak Sinta sama aku juga ada pekerjaan sampingan. Maksudnya ada penghasilan sendiri meski nggak banyak, jadi ngapain pakai duit dari kamu. Jangan nuduh kami nggak amanah dong," pungkas Mila dengan nada kesal juga.
"Aku sih nggak apa-apa misalkan kalian ambil uang itu sekian ratus buat kebutuhan pribadi, tapi setidaknya ngomong aku dulu gitu. Biar nggak ada kesalahpahaman begini. Aku juga sadar diri, kalau mengurus orang tua itu nggak mudah, tapi--
"Tapi apalagi? Kamu masih mencurigai kami menghabiskan uang transferanmu?" Mbak Sinta makin meradang.
"Bukan gitu, Mbak. Cuma aku kemarin nata almari pakaian ibu, nggak ada daster atau baju-baju baru. Bajunya masih yang lama semua. Ada beberapa yang baru, itu pun baju yang kubelikan saat aku pulang empat bulan sekali. Wajar dong aku makin heran uang itu kemana larinya?"
"Itu karena daster ibu sudah banyak. Kamu tahu sendiri kan dari dulu ibu nggak suka beli baju. Lebih suka beli emas, biar bisa dijual kalau lagi butuh? Tapi terserah kamu percaya atau nggak deh, Rum. Sama saudara sendiri aja nggak percaya, lebih percaya mulut tetangga," pungkas Mbak Sinta sembari beranjak pergi begitu saja.
Tiba-tiba ibu muncul dari pintu dapur. Kami memang duduk di teras belakang.
"Kenapa kakakmu itu ngomel-ngomel sendiri?" tanya ibu padaku dan Mila. Mila hanya memandang ibu sekilas lalu melirik ke arahku.
"Kalian berantem?" Aku hanya tersenyum lalu menggelengkan kepala.
"Syukurlah kalau begitu. Kalian itu tiga bersaudara, jangan sampai bercerai berai karena hal yang hanya bersifat duniawi. Harus akur, saling mengasihi satu sama lain. Jadi, masa tua ibu akan jauh lebih tenang jika melihat anak-anaknya akur dan saling membantu satu dengan lainnya. Kalian mengerti, kan?" Mila kembali menoleh ke arahku, lalu membuang muka ke samping saat aku menatapnya.
"Iya, Bu. Kami mengerti," jawabku lagi. Kuhela napas panjang, lalu kembali menata snack.
Snack-snack ini akan kubagikan di masjid. Setiap jum'at aku berusaha berbagi makanan untuk jamaah salat jum'at.
Meski Mbak Sinta dan Mila selalu mengelak, aku tetap akan menyelidiki masalah ini. Setidaknya, aku tahu kemana uang itu pergi. Misal dipakai mereka untuk kebutuhan pribadi, aku juga tak akan menagihnya kembali.
Hanya saja aku ingin mereka sadar, bahwa amanah atau nggaknya seseorang itu sangat penting karena bagian dari harga diri.
๐๐๐
"Mas, kamu pulang ke sini besok, kan?"
"Iya, InsyaAllah besok dari sini. Nanti beli tiketnya dulu. Kalau nggak bisa jemput di bandara, nggak usah, Sayang. Nanti Mas cari taksi aja," balas Mas Huda santai.
"Mas, jangan naik pesawat deh. Kamu ke sini naik mobil kita aja," pintaku memohon.
"Lah, kenapa? Di kampung bukannya jauh ke mana-mana? Ke jalan utama aja satu jam-an. Jalan juga masih banyak bebatuan dan hutan. Paling di sana juga jarang jalan-jalan. Sudah, kita pakai motor aja nanti. Mas beliin motor matic, ya? Bawa mobil juga percuma, nanti kamu bawel lagi kalau servis kemahalan."
Aku memang sering ngomel kalau servis mahal-mahal. Bukannya apa, kadang Mas Huda suka modif-modif mobil yang kupikir mubadzir saja. Cuma buat bagus, toh fungsinya sama aja. Mending buat nambahin kontrakan kan lumayan ada tambahan tiap bulan.
"Iya, tapi bawa mobil aja, Mas."
"Kenapa tiba-tiba berubah? Kemarin-kemarin bilangnya naik motor aja di sana. Toh tiga atau empat bulan sekali kita juga pulang, bisa jalan-jalan sepuasnya di sini."
"Ah, pokoknya bawa alphird kita ke kampung ya, Mas. Ibu pasti bahagia banget kalau tahu kita punya mobil keren, apalagi kalau ibu tahu kita sukses di Jakarta," ucapku penuh semangat.
"Nanti tiap tiga atau empat bulan sekali kita kan ajak ibu ke sini, ibu juga bakal tahu kalau kita sukses di sini. Ngapain pamer ke kampung segala. Bukannya kamu dulu bilang kalau tetanggamu panasan semua?"
"Maka dari itu, Mas. Aku mau buktiin ke mereka kalau kita di Jakarta itu sukses. Aku sudah tunjukkan foto rumah kita, showroom kita, tapi mereka nggak ada yang percaya. Malah bilang aku halu. Mereka bilang aku kerja sebagai pembantu di rumah itu dan kamu sebagai karyawan di showroom kita."
Bukannya kesal, Mas Huda justru tertawa. Bahagia sekali sepertinya. Heran.
"Lagian sejak kapan istriku pamer-pamer begitu? Jangan-jangan kamu sudah ketularan tetangga yang panasan itu, ya?"
"Nggak gitu juga, Mas. Kesal kan tiap hari dituduh begini begitu."
"Dituduh ini itu justru mengurangi dosa kita, Sayang."
"Tapi, Maaasssssss ...."
"Oke, oke. Besok Mas pulang bawa mobil," ucapnya kemudian membuat hatiku berbunga.
Alhamdulillah akhirnya rencanaku berhasil juga. Padahal aku nggak pernah menunjukkan foto-foto itu ke para tetangga. Lagipula dari dulu aku memang nggak suka pamer-pamer ke mereka, tapi kalau terus-terusan dihina lama-lama aku bakal tunjukkan juga kalau aku dan Mas Huda sukses di Jakarta.
Entah apa jadinya kalau mereka tahu kami memiliki mobil yang cukup mewah itu, bahkan di kampungku belum ada yang memiliki mobil sekeren itu.
๐๐๐
Suara Gala dan Gina terdengar begitu nyaring. Mereka teriak memanggilku. Aku dan ibu yang masih sibuk di dapur pun setengah berlari menuju halaman. "Ma ... Mama. Papa datang!" Teriak Gina dengan riangnya. Aku pun tersenyum senang. Pasti Mas Huda bawa mobil kesayangan kami itu. Betapa kagetnya aku saat sampai di teras. Beberapa tetangga yang tengah arisan di rumah Mbak Sri pun melihat ke arah mami. Mas Huda yang kupikir pulang membawa alphird justru pulang membawa si putih. Mobil bak terbuka yang biasa disewakan untuk pindahan kontrakan. Astaghfirullah. Benar-benar menyebalkan! "Sayang, aku pulang bawa mobil kita," ucap Mas Huda dengan meringis kecil sambil menatapku. Kucium punggung tangannya dengan kesal. "Kenapa sih cemberut gitu?" "Kenapa bawa dia sih, Mas? Harusnya kan-- "Mobil sendiri apa nyewa, Da?" Teriak Mbak Ambar dari rumah Mbak Sri. Dasar kepo! Mas Huda sedikit kebingungan. Di pun menoleh ke arahku. "Mas yakin kalau kamu nggak pamer-pamer ke mereka soal rumah sama us
Bakda ashar, Mas Huda bersihin halaman belakang. Dia bilang mau bikin kolam lele daripada nggak ada kesibukan. Gina dan Gala pun begitu antusias membantu papanya, membakar sampah dedaunan kering dan bekas sayuran dari dapur. Sambil memperhatikan mereka, aku mulai tanya-tanya keseharian ibu di rumah Mbak Santi dan Mila. Selama aku tinggal di sini bersamanya, ibu memang belum pernah cerita apa-apa. Justru seolah menutupi semuanya. "Bu, saat di rumah Mila dan Mbak Sinta sore-sore begini ibu ngapain?" tanyaku mulai mencari informasi tentang kehidupan ibu di rumah dua saudaraku itu. Ibu hanya menghela napas lalu kembali menyeruput teh hangatnya. "Ibu nggak disiksa Mila sama Mbak Sinta, kan?" tanyaku asal. Sengaja agak ekstrim biar ibu mau bercerita. "Huusstt. Kamu ini, masa' ada anak nyiksa ibu kandungnya. Kamu ada-ada saja," jawab ibu cepat. Aku pun hanya nyengir saja. "Lagian ibu nggak mau cerita. Aku juga pengin tahu keseharian ibu bersama mereka, kan?" Lagi-lagi ibu menghela napa
Sejak cerita ibu kemarin, jujur saja aku kesal dengan Mbak Sinta dan Mila. Tega sekali mereka memanfaatkanku dan ibu. Menggunakan uang ibu untuk keperluannya sendiri. "Mas, uang yang kutransfer tiap bulan buat ibu ternyata nggak sampai ke ibu.""Maksudnya gimana itu?" tanya Mas Huda sembari menyeruput madu hangat yang baru kusajikan. Sebelum tidur, Mas Huda memang terbiasa minum madu."Mereka bilang ke ibu cuma kutransfer lima ratus ribu, Mas. Entah sisanya buat apa. Pantes baju-baju ibu juga nggak ada yang baru. Tetangga juga sering menyindirku. Berarti selama ini Mbak Sinta sama Mila memang sengaja menjelek-jelekkanku di depan ibu dan para tetangga. Ngeselin banget mereka." "Memangnya kamu sudah tabayyun? Jangan asal nuduh, Sayang. Nanti jatuhnya fitnah," balas Mas Huda lagi. Dia memang selalu begitu, nggak seru tiap kali kuajak ghibah. Bukan ghibah ini mah memang kenyataan. Ibu sendiri yang cerita. Masa' ibu dusta? Lebih nggak mungkin, kan?"Ibu yang cerita soal ini kok, Mas. Ma
Pagi-pagi aku semangat membuatkan Mas Huda dan anak-anak sarapan. Ibu pun sudah kubuatkan bubur merah sesuai permintaannya kemarin. Rasanya nggak sabar, kejutan apa yang akan diberikan Mas Huda buatku nanti.Anak-anak sudah sarapan dan berangkat sekolah diantar papanya. Ibu pun sudah bersih-bersih halaman. Sekarang mulai bakar-bakar sampah. Sementara aku dari tadi cuma duduk dengan gusar, bolak-balik lihat jarum jam, seolah nggak berputar. Dari tadi masih jam delapan aja, menyebalkan."Kenapa sih, Dek?" tanya Mas Huda akhirnya. Mungkin merasa aneh lihat istri yang nggak tenang duduknya. Gelisah nggak jelas."Buruan berangkat, Mas. Mau pergi katanya, kan?" Aku mencoba mengingatkan. Mas Huda pun tersenyum tipis lalu meletakkan cangkir kopinya kembali setelah meminumnya beberapa teguk."Oh, gusar begitu karena penasaran sama kejutan?" Mas Huda seolah meledek. Benar-benar menyebalkan. Nggak tahu apa kalau aku sangat penasaran apa yang sebenarnya akan dia berikan sebagai kejutan itu."Jang
Hari ini aku sengaja jalan-jalan dengan motor baru bersama anak-anak. Gala dan Gina sangat bahagia bisa keliling desa bahkan sampai desa sebelah. Gala dan Gina pun memintaku berhenti di pinggir jalan saat ada penjual es campur yang mangkal.Kuberikan selembar uang untuk mereka, sekalian beli lima bungkus. Yang dua bungkus untuk papa dan neneknya. Saat masih asyik membaca postingan di medsos, tiba-tiba sebuah mobil terhenti di sebelahku. Kaca mobilnya pun terbuka lebar.Seorang laki-laki duduk di belakang stir, menatapku beberapa saat sembari tersenyum tipis. Aku cukup familiar dengan wajahnya. Dia yang sejak sekolah dulu sering banget main ke rumah dengan membawa banyak camilan untuk ibu. Sengaja mencari muka karena dia memang menyukaiku.Aku tahu itu. Bahkan Mbak Sinta sempat menjodoh-jodohkanku dengannya dengan alasan anak orang kaya dan hidupku tak akan susah jika menjadi istrinya.Lebih dari itu, laki-laki itu memang cukup royal dengan keluargaku. Mbak Sinta bilang dia bisa dimanf
Pertemuan keluarga yang tempo hari gagal karena tensi ibu naik, akhirnya malam ini terlaksana juga. Keluarga Mbak Sinta, keluarga Mas Angga dan keluarga Mila sudah lengkap di ruang tengah. Cukup sesak karena memang rumah ibu tak begitu luas.Rumah kayu dengan lantai semen biasa belum berkeramik seperti rumah lainnya. Berulang kali kuizin pada ibu untuk merenovasi full, tapi ibu selalu menolak. Nanti tak ada lagi rasa bapak di rumah ini kalau dirombak full, katanya sembari tersenyum tipis."Ada acara apa sih, Rum? Sampai kamu undang kita semua di sini?" tanya Mbak Sinta dengan tatapan penasaran bercampur curiga."Ibu kok yang mau bicara, bukan aku. Katanya ada hal penting yang harus diluruskan, Mbak," ucapku kemudian dengan senyum tipis.Mas Huda menepuk-nepuk punggung tanganku. Seperti biasanya berharap aku lebih tenang menghadapi masalah dalam keluarga. Tak perlu gegabah apalagi mau menang sendiri. Selalu itu yang dia nasehatkan padaku."Mau ngomong apa sih, Bu? Sepertinya penting ba
"Mas, kenapa sih kamu selalu diam saja saat dihina Mbak Sinta di depan Amin? Aku nggak suka kamu diremehkan begitu, Mas. Harusnya kamu tunjukkan siapa kamu di depan Si Amin itu. Kamu tahu 'kan kalau dia dulu suka sama aku?" protesku pada Mas Huda saat baru saja sampai dari pasar.Sepanjang jalan aku mengomel tak karuan. Kesal sekali rasanya melihat suamiku sendiri diremehkan depan mata. Aku sudah berusaha membantunya, bahkan berniat ingin menelpon karyawan showroom untuk memberitahu Mbak Sinta, Mas Rudy dan Amin itu siapa suamiku sebenarnya. Namun selalu dilarang.Tatapan matanya yang begitu tajam membuat nyaliku menciut. Dia hanya senyum-senyum saja saat kakakku dan laki-laki itu menghinanya di depan umum. Bahkan menyebut suamiku seperti babu yang kerjanya hanya sekadar membantu suaminya belanja di pasar.Mungkin Mbak Sinta sakit hati karena pertemuan keluarga beberapa hari lalu. Bukannya minta maaf, dia seolah semakin membenciku. Bahkan dia pun memusuhi Mila adiknya sendiri hanya ka
DIHINA MISKIN KARENA MOTOR JADUL PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBILHari-hariku di kampung memang tak seindah yang kubayangkan. Namun lama-lama aku juga sudah kebal dengan aneka sindiran dan cibiran. Anggap saja semua adalah camilan yang akan mengidealkan badan. Aku heran, padahal mereka juga melihat usahaku laris dan banyak paket yang terkirim setiap harinya, tapi tetap meremehkan. Bahkan menganggap usahaku itu untungnya tak seberapa. Jadi, habis untuk kehidupan sehari-hari karena Mas Huda pengangguran.Aku memang tak mengizinkan siapa pun kredit gamis yang kujual. Kapok rasanya pernah kreditin barang dulu bukannya untung justru zonk. Aku pun malas menagih, yang ada justru seperti pengemis. Lebih galak mereka dibandingkan penjualnya.Otomatis mereka makin kesal. Sering menyindir bahkan menuduhku macam-macam, sesuai prasangka mereka sendiri. Ah, entahlah.Ribet ternyata hidup di kampung. Meski kekeluargaannya cukup erat tak seperti di kota yang cenderung individualis, tapi di sini salah se
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa