Pov : HudaPesan dari Ningrum soal tespeknya membuatku begitu penasaran. Gina pun ingin segera tahu hasil tes mamanya. Sejak dulu Gina memang menginginkan seorang adik agar bisa diajak bermain bersama. "Telpon aja, Pa. Atau pesan suara biar nggak perlu ngetik. Kelamaan," ucap Gina menyarankan.Benar juga, gegas kutelpon Ningrum. Terdengar suara tangisnya dari seberang. Kenapa nangis? Hasilnya negatifkah? Atau ada sindiran yang tak enak didengar?"Sayang, Ningrum. Kenapa kamu menangis?" tanyaku setelah terdengar jawaban salam. Aku tahu Ningrum berusaha lebih tenang sekarang meski Isak masih sesekali terdengar. "Nggak apa-apa sih, Mas. Cuma terharu," balasnya kemudian."Terharu? Apa hasilnya beneran positif?" tanyaku sedikit gugup. Kedua mataku mendadak berkaca setelah mendengar jawaban dari Ningrum. Dia mengiyakan.Kuucap hamdallah berulang kali. Gina pun sama, tampak binar bahagia di raut wajahnya. Hamdallah pun meluncur dari bibirnya yang mungil.Akhirnya harapan Gina memiliki adik
Pov : HudaHari kelima di rumah sakit, Gina sudah diizinkan untuk pulang. Ningrum pun datang diantar Mbak Sinta sekalian cek dokter kandungan.Wajah istri cantikku itu berbinar bahagia saat dokter bilang jika dia memang positif hamil. Usia kandungannya menginjak lima minggu.Pantas saja Ningrum tampak lesu dan nggak bersemangat akhir-akhir ini. Kupikir sakit, ternyata dia berbadan dua. Kembali teringat saat dia hamil Gina 11 tahun lalu, begitu kepayahan bahkan dia bilang nggak mau hamil lagi. Ningrum selalu bilang kalau cukup itu kehamilannya yang terakhir, tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Dia harus siap dengan segala takdir yang sudah dilukiskannya."Ingat kata Dokter Alesya 'kan, Sayang?" Ningrum mengangguk pelan."Kamu harus banyak istirahat, jangan terlalu kecapekan. Urusan toko biar dipegang Mbak Nisa sama Mbak Arum dulu. Kamu boleh datang asal hanya mantau saja, nggak perlu ikut bantu packing-packing segala," pesanku lagi."Kalau istirahat terus capek juga, Mas. Sesekali b
Tiga hari pasca tespek itu, tetanggaku mulai berisik. Seperti biasanya julid. Julid. Julid. Seperti pagi ini. Nungguin Mang sayur sembari mengghibah ria.Kemarin mereka ghibahin Mbak Agnes dan Mas Angga. Eh sekarang aku lagi yang jadi sasaran."Kamu nggak takut, Rum?" tanya Mbak Ambar memulai obrolan."Takut kenapa sih, Mbak?""Usia hampir 35 tahun kok ya masih hamil aja. Jaraknya kejauhan sama Gina, Rum.""Nggak apa-apalah, Mbak. Ini rezeki kok, masak ditolak. Yang pengin punya momongan aja banyak loh, Mbak. Allah kasih rezekinya sekarang, jadi ya terima dengan ikhlas saja," balasku lagi sembari menyapu halaman."Iya sih rezeki, tapi umur segitu udah mulai rawan. Bulan lalu di kampung sebelah ada yang meninggal gara-gara lahiran usia 36 tahun. Anaknya hidup juga sakit-sakitan sekarang. Malah kasihan ya, nggak dirawat maksimal oleh orang tuanya," sambung Mbak Ambar lagi. Disertai anggukan yang lainnya. "Itu udah bagian dari takdir, Mbak. Hidup, mati, jodoh dan rezeki kan udah ada yan
Pov : Huda|Mas, kita mau ketemuan di mana? Di rumah Mbah Minah atau di rumahmu saja? Aku mau ke Jakarta hari ini. Kamu tunggu aku di sana, okey|Pesan dari nomor tak dikenal. Ini pasti Mayang. Mau ngapain lagi dia ke Jakarta. Sengaja mengikutiku? Berarti benar kata Ningrum waktu itu kalau Mayang memang mengikutiku sampai kampung.|Mau ngapain? Aku nggak ada waktu buat meladeni kamu. Maaf|Gegas kuambil beberapa snack dan minuman dingin dan membawanya ke kasir. Masih sibuk dengan belanjaan tiba-tiba sebuah panggilan mengagetkanku."Hai, Mas Huda. Gimana kabarnya? Baik-baik saja, kan?"Aku pun membalikkan badan. Perempuan itu benar-benar kelewatan. Saat ini pun dia mengikutiku."Mau ngapain kamu? Aku bisa melaporkanmu ke polisi jika terus meneror keluargaku.""Ohya? Apa kamu punya bukti?""Jelas ada. Kalau nggak ada, mana mungkin aku bicara.""Silakan saja kalau itu maumu. Toh nanti kamu atau Ningrum yang akan menyesal jika kalian menjebloskanku ke penjara. Papa pasti akan sangat kecew
Pov : HudaPagi-pagi sekali aku sudah keluar rumah, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju alamat yang diberikan Pak Santoso waktu itu. Alamat Mbah Minah dan Hendra di Jakarta Timur. Bisa saja aku menelpon Hendra dulu, tanya dia di rumah atau tidak. Namun aku nggak mau gegabah. Jangan sampai dia justru sembunyi atau pergi jika tahu ada seseorang yang mencarinya. Meski aku juga tak mungkin menjelaskan diriku dengan detail padanya.Lebih baik, aku langsung mencari alamatnya saja. Lagipula dengan bantuan google maps, semua jadi lebih mudah. Dia bisa mengantarku ke alamat itu. Pokonya, aku harus segera menyelesaikan masalah Ningrum.Apalagi teror Mayang semakin menjadi. Aku nggak mau Ningrum kepikiran, bahkan bisa saja dia mikir aneh-aneh karena biasanya perempuan hamil cukup sensitif dengan 'kesetiaan pasangan.'|Kamu sudah jalan, Mas? Kulihat mobilmu nggak ada di garasi. Kamu ke rumah Mbah Minah sekarang?|Sebuah pesan masuk. Aku yang baru saja memberikan oleh-oleh wingko babat un
Kupercepat langkah meninggalkan rumah Mbah Minah. Tak pernah menyangka jika yang kutemui justru orang-orang sekolot mereka. Kupikir, semua akan lebih mudah karena aku memakai jalur pendekatan dan kekeluargaan.Tak ada polisi di sini, jadi kupikir mereka cukup aman menceritakan semuanya. Lagipula aku juga sudah jelaskan berulang kali jika kedatanganku itu hanya untuk mengurai teka-teki yang selama ini tersimpan cukup rapi.Aku nggak mau Ningrum hidup dalam kebingungan, bimbang dan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Aku ingin membuatnya bahagia, karena kebahagiaannya juga bagian dari bahagiaku.Aku ingin menghapus jejak-jejak luka di hatinya, agar dia bisa merasakan dan menuliskan hari-hari bahagia sebagai istri seorang Huda Darmawangsa. Mungkin memang begini jalannya. Cukup terjal saat suami ingin membuat istri bahagia.Kubuka pintu mobil, sempat kulirik ke teras rumah bercat abu muda itu. Pak Herman tampak menatap ibunya cukup intens dan mengobrol entah apa. Aku tak lagi mendengar obr
"Hanya dua hari Tuan Izal di sana. Dia menerima telpon dari Nyonya Laila yang mengabarkan bahwa dia masuk rumah sakit. Tuan Izal bingung, tapi lagi-lagi Mira memang terlalu baik hati. Dia merelakan suaminya pergi untuk menemani istri pertamanya yang ternyata hanya membuat drama. Dia sehat, tak ada sakit sedikitpun tanda-tanda sakit dalam dirinya. Hingga akhirnya Mbah mendengar rencana busuk Nyonya pada anak Mira.""Maksudnya gimana ya, Mbah?" Jatungku seolah berhenti berdetak beberapa saat mendengar kata rencana busuk dari ibu Laila. Apa itu berarti dia yang sengaja membuang Ningrum?"Nyonya Laila cemburu karena Tuan Izal kembali menemui Mira di kampung padahal dia sudah melarang itu. Ditambah lagi dia mendengar kabar dari tangan kanannya bahwa Mira melahirkan, kebenciannya makin menjadi. Dia meminta mata-matanya itu untuk menghabisi bayi Mira. Dengan begitu Mira akan depresi dan bisa jadi gila. Nyonya berpikir, jika Mira sudah gila, nggak mungkin Tuan akan mau dengannya. Tuan pasti a
"Mas Huda, diminum dulu. Camilannya juga, Mas. Maaf seadanya," ucap Bu Sri begitu sopan. Dia menawariku teh yang hampir dingin dan pisang goreng.Aku pun menyeruput teh itu hingga beberapa teguk. Suasana masih cukup pagi, perumahan ini pun cukup ramai dengan suara anak-anak yang bermain di samping rumah. Kebetulan rumah Mbah Minah berdampingan dengan taman kecil."Semua masa lalu mertua dan istri saya sudah Mbah jelaskan. Saya ucapkan terima kasih, Mbah. Saat mendengar semua cerita ini, saya yakin Ningrum akan terluka, tapi setidaknya cerita kni akan membuat hidupnya jauh lebih tenang. Tak disesaki berbagai pertanyaan dan kebingungan. InsyaAllah lukanya tak akan lama. Saya yang akan berusaha membantu melupakan masa kelamnya."Mbah Minah manggut-manggut lalu menatapku beberapa saat."Mira anak yang shalehah. Mbah yakin, sepertinya Ningrum juga demikian. Sama-sama shalehah. Mbah lihat dari ketulusanmu, Nak. Harusnya Mbah yang bilang terima kasih karena kalian tak memperkarakan ini. Ngga
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa