( PoV Asmara )Bagaikan di tikam ribuan pisau belati. Hatiku hancur berkeping-keping. Lelaki yang kini memeluk erat diriku, lelaki yang selama ini aku cintai, lelaki yang sangat aku percayai, dia sebenarnya yang menghancurkanku. Dia membohongiku.Ingin sekali aku mengambil sandal dan menamparnya berkali-kali. Namun apa daya? Aku hanya bisa terdiam dan tak bergeming di pelukannya. Seakan aku larut dalam cintanya, dan tak mempermasalahkan kebohongannya.Perlahan aku melepaskan tangannya dari tubuhku. Aku menatapnya tajam. Menatap mata yang kini di penuhi dengan air mata. Entah apa maknanya air mata itu. Mungkin dia menangis karena dia menyesal. Atau mungkin dia menangis karena takut aku tinggalkan. Bahkan mungkin, kedua alasan itulah yang menyebabkan kedua matanya basah."Kamu tahu rasanya hatiku saat ini Al?" Dengan suara parau karena menangis, aku menanyakan hal itu kepadanya. Sebenarnya meskipun aku tak menanyakannya, Albert sudah pasti paham apa yang aku rasakan. Dia pasti tahu jika
( PoV Asmara )"Aaaaaaa. Hahaha. Seru banget Al!" Aku berteriak ketika sepeda motor Albert 'terbang' di antara jalanan licin di hutan yang sore ini kami lewati. Hutan ini adalah tempat dimana para club sepeda motor melakukan kegiatan rutin mereka atau yang sering di sebut dengan istilah 'trabas'. Albert memang tak pernah mengikuti club motor apapun. Namun dia tahu tempat ini dari salah satu temannya yang menjadi anggota club motor di kota ini. Dan ya, tempat ini berada tak jauh dari villa keluarga Albert. Jadi Albert sudah lama mengetahuinya meskipun baru kali ini mengunjunginya."Kamu nggak takut?" Albert berteriak, bertanya kepadaku. Suara mesin motor yang keras memang membuat kami harus berteriak saat berbicara agar lawan bicara kami mampu mendengarnya. Tak apalah, ini kan di dalam hutan, jadi tak akan ada yang terganggu dengan teriakan kami."Nggak! Kan ada kamu Nggak ada yang aku takutin kalau aku sama kamu Al. Bahkan kalau kamu ngajak ke dasar neraka pun, aku ikut!" Aku memeluk A
( PoV Albert )"Makasih ya Ra, kamu udah mau maafin aku." Aku menatap langit malam pegunungan yang indah ini. Bintang bersinar lebih terang di tempat ini. Apalagi malam ini malam spesial buat aku dan Asmara. Aku resmi menjadi pacarnya tanpa adanya kebohongan. Dan Asmara, dia mencintaiku. Jangan tanya bagaimana rasanya. Kalian yang cintanya belum pernah bertepuk sebelah tangan, tak akan tahu rasanya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun ini, kini akhirnya berbalas. Meskipun dengan awal yang di penuhi dengan kebohongan.Mungkin ini sudah takdir Tuhan. Tuhan telah membuatku menderita selama ini. Dan kini, Tuhan telah membayar semua penderitaan yang aku alami menjadi sebuah kebahagiaan yang tak bisa aku bayangkan sebelumnya. Menjadi pacar Asmara."Kalau aku nggak maafin kamu, aku juga akan sakit hati Al. Karena itu berarti, aku harus kehilangan kamu." Asmara tersenyum manis ke arahku. Aku menatap Asmara yang begitu cantik dengan senyum itu. Benar-benar seperti mimpi. Ak
( PoV Albert )"Aku yakin Bu Dira ke arah sini Ra." Aku dan Asmara yang seharusnya hari ini kembali ke kota, malah melihat Bu Dira yang sedang berjalan terburu-buru ke arah jalan setapak dekat jurang dimana Asmara pernah jatuh dan hilang ingatan dulu. Dan tempat itu juga sangat dekat dengan villa keluargaku. Aku jadi penasaran dan akhirnya mengikutinya.Entah apa yang di lakukan Bu Dira di tempat ini. Mungkin saja beliau berasal dari kota ini dan saat ini datang hanya untuk berkunjung ke sanak keluarganya. Namun jika memang Bu Dira berasal dari kota ini, kenapa penampilannya aneh seperti yang aku lihat tadi? Bukankah terlalu berlebihan jika harus mengenakan kerudung dan kacamata hitam serta menutup wajahnya dengan syal jika hanya ingin berkunjung ke kerabat saja?Ah, pasti ada sesuatu karena Bu Dira jelas sekali sedang melakukan penyamaran agar tak di ketahui kedatangannya kesini oleh siapapun. Namun siapa yang beliau hindari? Siapa seseorang yang seharusnya tak tahu dengan kegiatan Bu
( PoV Andira )"Bagaimana kabarmu hari ini anakku yang cantik? Maaf jika Mama belum bisa membawamu bertemu dengan Papamu. Mungkin Papamu tak akan pernah mau menerima kamu menjadi anaknya dengan kondisi yang seperti ini. Dia lelaki jahat Nak. Itulah mengapa Mama tak mau jika kamu mengenalnya. Apalagi sampai bertemu dengannya, setidaknya untuk saat ini." Aku membenarkan selimut anak kesayanganku itu. Cuaca pegunungan yang sangat dingin, sehingga dia harus selalu memakai selimut tebal setiap hari. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang tak sehat. Ya! Dia sakit. Dia memang punya penyakit dari kecil. Kondisi tubuhnya begitu lemah sehingga membuatnya sering terbaring di atas tempat tidur.Dia tak merespon sama sekali. Dia bahkan tak pernah mau membuka matanya untukku. Entah mau sampai kapan dia akan seperti ini. Aku tak tahu apalagi yang harus aku lakukan untuk membuatnya membuka mata dan melihat dunia yang indah ini kembali. Meskipun aku tak yakin jika dia akan menyukainya. Mungkin saja dia a
( PoV Albert )"Aneh nggak sih Ra menurut kamu?" Aku menjalankan motorku dengan sangat pelan. Kami sudah berada di jalan pulang. Entahlah. Aku merasa kepikiran saja dengan apa yang aku lihat tadi. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Yang membuatku sangat ingin mengetahuinya. Tentang Bu Andira dan anaknya."Udahlah Al. Bukan urusan kita juga kan? Nggak penting juga kali ah." Asmara yang dengan nyamannya bersender di pundakku, seakan tak peduli dengan keanehan yang aku rasakan. Entah karena dia memang punya pembawaan yang cuek, ataukah karena memang dia tak peduli lagi dengan apa saja yang berhubungan dengan Aksara. Bukannya apa-apa, dulu Asmara selalu tak bisa mengabaikan hal sekecil apapun mengenai Aksara? Apalagi ini adalah berita besar. Bu Andira, seseorang yang menjadi sebab Aksara berpaling darinya, memiliki seorang anak yang tak jelas darimana asal usulnya. Dan Bu Dira juga menyembunyikannya. Jelas saja ini menjadi hal yang sangat di butuhkan Asmara untuk menarik Aksara kembali j
( PoV Albert )"Hai." Suara seseorang yang sangat aku kenal menghampiriku di kamarku. Aku sedang berbaring sambil mendengarkan musik ska yang dulu pernah hits pada zamannya. Rasanya lelah sekali setelah dua hari pergi ke puncak bersama dengan Asmara. Kondisi jalan yang berliku dan dengan menggunakan sepeda motor, menjadi penyebab utama rasa lelahku ini. Selain itu rasa penasaranku dengan Bu Dira waktu itu, membuatku semakin banyak berpikir di sepanjang perjalanan kami pulang yang tentu saja ikut menguras energiku. Hampir saja aku memejamkan mataku, hingga suara tadi membuat mataku kembali terbuka dengan lebar."Amel?" Aku terkejut. Rasa terkejut yang tak semestinya, karena melihat Amel bermain ke rumahku adalah hal yang sangat biasa terjadi dulu. Namun kali ini Amel ada di depanku setelah dia menghilang beberapa bulan yang lalu karena kejadian di sekolah waktu itu. Ya! Waktu kami bertengkar di depan kelas Asmara karena Amel ingin membocorkan rahasia kalau Asmara adalah selingkuhan Aksa
( PoV Albert )"Mara apa kabar Al?" Tanya Amel sambil menyeruput coklat panas yang baru saja aku buatkan untuknya. Minuman yang sangat dia gemari. Minuman favorit kami di saat hujan dulu. Dan kebetulan malam ini juga turun hujan lebat tiba-tiba. Entah kenapa, setiap kali aku bertemu dengan Amel lagi, hujan selalu saja turun. Sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya dulu. Hujan yang deras menemani pertemuan pertama kami."Baik." Singkat saja ku jawab sambil tersenyum ke arahnya. Aku menatap Amel lekat. Tiba-tiba ingatanku mengembara. Kembali kepada saat itu. Saat aku kecil. Aku sangat menyukainya. Menyukai segala apapun tentangnya. Aku tak pernah mengabaikannya sedikitpun. Aku selalu ada di sekitarnya. Menjaganya dan membuatnya tertawa. Membuat setiap kenangan masa kecil kami serasa tak akan pernah terlupakan. Aku bahagia semenjak ada dirinya. Namun akhirnya dia pergi. Meninggalkan luka yang belum di mengerti Alberto kecil waktu itu. Hingga akhirnya keluar janji itu. Janji y
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita