( PoV Asmara )
"Nak Mara." Aku yang sedang fokus menatap anak-anak panti asuhan yang sedang begitu asyik menyantap puding jelly yang aku bawa, segera menoleh ke arah sumber suara."Iya Bu?" Aku tersenyum ke arah seseorang yang sedang berdiri di belakangku. Ibu Panti. Entah sudah berapa lama beliau berdiri di sana. Aku tak memperhatikannya."Pak Aksara ndak ikut?" Tanya beliau. Pertanyaan yang sebenarnya biasa saja bagi pasangan yang normal. Namun bagiku, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang membuatku sedikit merasa canggung kepada Beliau. Ku tatap Bu Panti sekejap. Sebelum akhirnya aku tersenyum kembali kepada beliau."Ada Buk, tuh, Aksara lagi nunggu di mobil. Dia lelah katanya Buk, jadi mau di mobil aja. Apa perlu aku panggil?" Ku tunjuk mobil sport berwarna hitam yang sedang terparkir di depan panti asuhan. Mobil itu memang sengaja aku pasang kaca yang gelap dan tak bisa di lihat siapapun dari luar. Biar tak ada yang tahu, aku sedang bersama dengan siapa. Yah, aku memang harus merahasiakannya."Nggak usah Nak. Biarin aja. Kasihan, Pak Aksa pasti lelah karena harus sering keluar kota kan? Ibu juga bukan mau bicara dengan Pak Aksa. Ibu ingin bicara sama kamu. Sebagai orang tua, Ibu cuma mau bilang, masih belum terlambat Nak. Kamu masih bisa memperbaikinya. Sebelum segalanya berantakan." Aku menatap beliau dengan perasaan tak karuan. Aku tahu kemana arah pembicaraan beliau. Aku tahu apa yang saat ini sedang beliau rasakan. Aku tahu apa yang selalu beliau pikirkan setiap kali melihatku datang bersama dengan Aksara. Bukan berarti beliau tak menyukai Aksara. Jelas saja beliau menyukainya karena Aksara adalah anak pemilik dari yayasan panti asuhan yang saat ini sedang beliau kelola. Jadi tak ada alasan untuk beliau tak menyukai Aksara yang notabene adalah bosnya. Namun, beliau juga seorang wanita. Beliau seorang Ibu untukku. Aku maklum. Sudah sewajarnya jika beliau juga turut mengkhawatirkanku.Aku menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Mencoba menguasai diriku yang sudah mulai tak nyaman dengan topik apa yang selanjutnya akan aku dan Ibu Panti bicarakan. Pembicaraan ini pasti akan sangat tak mengenakkan."Aku nggak bisa mengendalikan hatiku Bu. Ibu pernah jatuh cinta kan? Ibu tahu bagaimana rasanya kan? Aku harap Ibu mengerti." Ku lihat mata beliau yang berkaca-kaca. Akupun sama. Seketika ingin sekali menangis dan memeluk beliau. Beliau sudah aku anggap seperti Ibuku sendiri. Beliau yang sudah merawat dan membesarkanku ketika kedua orang tuaku memilih untuk meletakkanku di bawah jembatan yang dingin dan gelap pada malam mereka membuangku seperti sampah. Beliau yang begitu tulus menyayangiku di saat orang tuaku tak mengharapkan kehadiranku di dunia ini. Ya! Beliau Ibuku."Jangan salahkan hati. Gunakan akal sehatmu Nak. Cukup tahu diri, kita itu siapa. Kita bukan siapa-siapa jika di bandingkan dengan mereka. Apalagi Bu Amanda. Kamu tahu sendiri kan?" Bu Panti bicara dengan begitu lembut. Begitu berhati-hati. Beliau tampak tak ingin menyakitiku dengan berkata kasar kepadaku. Beliau menasehatiku dengan penuh kasih sayang. Ya. Beliau memang seperti seorang malaikat. Malaikat tak bersayap yang memberikanku kehidupan.Namun bukankah menasehati seseorang yang sedang jatuh cinta itu seperti berbisik di telinga seseorang yang tuli? Percuma saja. Mereka tak akan mendengarnya. Apapun dan siapapun itu tak penting bagi mereka. Cinta merekalah yang nomor satu. Bahkan jika cinta itu berwujud seperti sebuah arca, aku yakin banyak yang akan menyembahnya dengan beragam ritual pemujaan.Ah. Aku merasa aku sudah menyakiti hati wanita paruh baya ini. Aku merasa telah membuatnya bersedih. Melihatnya yang meneteskan air mata, hatiku begitu sedih. Hatiku terluka. Dan aku sangat yakin, Ibu Panti pasti lebih terluka melihatku yang seakan tak menghiraukan nasehatnya. Sekali lagi ku tarik napas panjang. Hanya sekedar memberi ruang di dadaku yang sudah mulai sesak. Mencoba memberikan oksigen pada otakku yang sudah mulai merasa bodoh karena cinta."Aksara tak pernah mencintai Amanda, Bu. Aku sudah bilang sama Ibu kan? Ibu juga tahu kalau mereka menikah hanya karena bagian dari bisnis kedua orang tua mereka." Bukan hanya sekali aku berkata seperti ini. Berharap beliau setidaknya memaklumi apa yang saat ini sedang aku dan Aksara rasakan. Berharap beliau memaklumi kalau kami sedang jatuh cinta. Berharap beliau mendoakanku bahagia bersama dengan Aksara."Aku yakin kalau kamu tahu betul bagaimana kekuatan keluarga mereka berdua Nak." Beliau menunduk sambil menyeka air mata yang sedari tadi menetes sambil sesekali menarik panjang napasnya."Aku tahu dan aku sudah siap dengan segala resikonya Bu. Apapun itu." Itulah yang keluar dari mulutku. Sebuah kalimat ketidakpatuhan dari seorang anak yatim piatu kepada seorang wanita yang merawatnya dari kecil. Sebuah kalimat pembangkangan dari seorang anak kepada seorang ibu yang sudah menyayangi dan mengajarinya banyak hal. Ah. Aku rasa aku memang sudah gila akan cinta dari Aksara. Hingga aku mampu mengabaikan apa yang Ibu Panti katakan."Setidaknya Ibu sudah memperingatkanmu Nak. Bagaimanapun juga kamu anak Ibu. Jadi sudah menjadi kewajiban Ibu untuk menasehatimu. Namun jika kamu tak mengindahkan nasehat Ibu, Ibu hanya mampu berdoa, semoga Tuhan senantiasa menjagamu. Ingat! Bu Manda pasti tak akan diam saja jika sampai beliau mengetahui hal itu nak. Jadi berhati-hatilah." Kata beliau akhirnya sebelum pergi meninggalkanku dan bergabung bersama dengan anak-anak yang lain, yang sedang asyik memakan puding jelly.Aku menarik napas panjang untuk yang ke sekian kalinya. Aku memang terkadang takut. Aku memang selalu memikirkannya di setiap aku bersama dengan Aksara. Aku tahu. Aku tahu jika Amanda bisa saja menghancurkanku dan meniupku bagaikan debu jalanan, ketika dia mengetahui tentang hubunganku dan juga Aksara. Aku tahu jika karir sebagai artis yang selama ini aku rintis dari nol, akan dengan mudahnya dia jatuhkan begitu saja. Bahkan Aksara, suaminya sendiri, kemungkinan besar akan ikut kena imbasnya. Aksara dan keluarganya pasti juga akan di buatnya berantakan jika berani macam-macam dengannya.Namun apa yang bisa aku lakukan? Aku mencintai lelaki berusia delapan belas tahun lebih tua dariku itu ketika pertama kali aku melihatnya. Di usiaku yang saat itu masih dua belas tahun. Aku masih belum lupa. Di tempat ini, dengan tersenyum manis, dia memberikanku puding jelly strawberry dan menyuapiku dengan tangannya. Dan berkata jika aku adalah gadis kecil paling cantik yang pernah dia temui. Dia berkata kalau dia sangat menyukaiku. Dia menganggapku istimewa. Saat itulah, di sepanjang malam, semua mimpiku hanya berkisah tentang dia. Tentangnya. Aksara Bagaskara.***( PoV Asmara )"Dingin banget. Ayo masuk." Aksara mengecup keningku sebelum akhirnya dia bangkit dan masuk ke dalam rumah. Malam ini hujan memang sangat deras. Seperti air yang di tumpahkan begitu saja dari atas langit dengan menggunakan selang raksasa. Hingga ketika mata ini melihat ke arah luar, kita tak bisa melihat apa-apa karena hujan yang memang sangat deras ini.Ku tatap Aksara yang berjalan masuk ke dalam rumah dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dingin sekali memang. Aku yang memakai jaket tebal saja, hampir tak tahan di buatnya. Apalagi Aksara yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dia pasti begitu kedinginan hingga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah menemaniku sekitar lima belas menit di teras rumah."Ayo cepetan. Nanti kamu sakit." Suaranya yang terdengar begitu indah di telingaku, kembali bergema dari dalam ruang tamuku yang besar. Aku tersenyum. Dia memang begitu memperhatikan kesehatanku.Akhir-akhir ini kondisi tubuhku memang begitu lema
( PoV Asmara )"Duh, kemana sih. Dari kemaren kenapa kayak menghindar sih." Aku menggerutu. Berkali-kali aku menelepon Aksara, namun sama sekali tak mendapat jawaban. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh darinya. Mampir ke rumah hanya sebentar, dan buru-buru jika berbicara denganku di telepon. Bahkan dia juga sering mengabaikan teleponku. Gila memang."Ra, di cariin tuh, sama Mama." Albert menemuiku yang sedang sibuk menghubungi Aksara sambil menyantap bakso di kantin sekolah. Ku lihat dirinya yang juga membawa dan meletakkan bakso dan teh botol serta langsung duduk di hadapanku. Seketika langsung aku masukkan ponselku ke dalam sakuku. Bukan apa-apa, aku hanya tak enak saja jika membuat Albert merasa tak nyaman lagi."Iya. Aku sibuk banget sih Al memang. Belum sempet jenguk Tante Astia. Nanti deh kalau udah ada waktu, aku main ke rumah ya." Ku lanjutkan memakan bakso yang ada di hadapanku. Aku memang sangat lapar, karena dari tadi pagi belum sempat sarapan. Aku bangun
( PoV Asmara )"Ma, Mara datang Ma!" Albert berteriak ketika kami memasuki pintu rumahnya sepulang kami dari sekolah. Rumah model american house dengan dua lantai yang begitu besar. Rumah yang selama empat tahun belakangan ini aku tempati sebagai anak angkat dari Om Anggara dan Tante Astia. Ah. Rindu juga aku dengan rumah ini. "Ma!" Albert yang tak mendapat jawaban dari Tante Astia, meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang keluarga, kemudian menaiki tangga, mencoba mencari tahu di mana Tante Astia berada. Aku menatap Albert yang sedikit berlari, seakan tak sabar ingin mempertemukan aku kembali dengan mama angkatku itu. Aku tersenyum kecil melihatnya. Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan. Mencoba mencari kembali kenangan yang dulu begitu banyak aku kumpulkan, hingga akhirnya aku terpaksa harus meninggalkannya. Demi cinta. Entahlah. Entah mengapa akhirnya aku harus pergi. Padahal, tak sedikitpun aku tak merasa bahagia berada di rumah ini. Sebaliknya, aku layaknya seorang t
( PoV Asmara )"Kok diem aja Al?" Aku keluar dari kamar setelah selesai mandi dan mengganti pakaianku. Ku amati Albert yang tampak hanya menunduk di sofa ruang tamuku. Di luar hujan deras. Itulah mengapa akhirnya aku meminta Albert untuk mampir ke rumah setelah mengantarkanku pulang dari rumahnya sore tadi. "Nggak apa-apa." Albert tak bergeming. Dia masih duduk dan menunduk. Menyatukan dan menggosok kedua tangannya yang tampak pucat karena kedinginan. Dia basah kuyup. Kami memang sempat kehujanan tadi di jalan. "Ayo ganti baju." Aku menarik tangannya. Aku tak tahan melihatnya menderita menahan rasa dingin yang juga begitu aku benci. Aku sudah memintanya sedari tadi untuk mengganti pakaiannya. Kebetulan ada banyak sekali pakaian Aksara di rumahku. Tak ada salahnya jika dia memakainya, sementara aku mencuci dan mengeringkan pakaiannya yang basah kuyup. "Nggak usah. Aku balik aja." Albert menghempaskan tanganku kasar. Aku kaget. Tak biasanya dia seperti ini. Ada apa dengannya? Sumpah!
( PoV Asmara )"Mbak Mara nggak kenapa-kenapa?" Dengan raut wajah yang begitu panik, Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. Menanyakan keadaanku. "Nggak apa-apa Bik. Ada Albert yang nolongin aku." Aku tersenyum kepada Bik Yuli. Sempat ku lirik Albert yang hanya menunduk. Dia hampir saja keluar, menolak permintaanku yang menginginkannya untuk membantuku mengusir ketakutanku malam ini, sebelum akhirnya Bik Yuli masuk ke dalam kamarku. "Ah. Syukurlah. Dasar anak-anak nakal memang. Malam-malam hujan-hujan, masih aja main petasan." Bik Yuli bersungut-sungut. Beliau seakan tak terima. Jelas saja. Petasan itu masuk ke dalam pagar rumahku. Untung saja hujan deras, jadi apinya kecil dan tak menyebar kemana-mana. Kalau seandainya tak ada hujan, pasti sudah lain lagi ceritanya. Masalahnya, suaranya benar-benar bikin jantungku hampir saja terlepas. "Anak-anak? Bukannya ini kawasan elite ya Bik? Mana ada anak orang kaya yang main petasan malam-malam gini? Apalagi ini hujannya deres banget. Kayaknya ng
( PoV Asmara )"Selamat pagi anak-anak." Pak kepala sekolah masuk ke dalam kelas kami bersama dengan seorang wanita yang memakai pakaian kerja formal. Wanita itu membawa tas kerja berwarna merah marun, dan juga buku-buku besar di tangannya. Mungkin beliau adalah seorang guru. Bisa jadi beliau guru baru di kelas kami. Mungkin. "Selamat pagi Pak." Jawab kami serentak dengan begitu keras. Kompak sekali memang. "Anak-anak! Pagi ini, Bapak membawa seorang guru baru buat kalian semua. Silahkan Bu, perkenalkan diri Anda." Aku seratus persen benar. Beliau adalah guru baru kami. Entah mata pelajaran apa yang akan dibawakannya. Namun aku akui, guru baru ini begitu cantik. Aku yakin, tak butuh waktu lama untuknya menyesuaikan diri di sekolah ini. Dan aku yakin, semua orang akan dengan mudah menyukainya, karena kecantikannya."Selamat pagi anak-anak! Bagaimana kabar kalian hari ini?" Guru cantik itu menyapa kami dengan begitu lembut. Senyumnya begitu manis. Tutur katanya juga benar-benar menyena
( PoV Asmara )"Sayang, ada guru baru lho di sekolahku. Wanita. Cantik banget lagi orangnya." Aku memeluk Aksara dengan begitu erat di balkon kamarku, ruang favorit kami dulu. Mencoba menikmati setiap momen kebersamaan dengannya yang akhir-akhir ini begitu langka aku dapatkan. Bagaimana tidak, Aksara mengaku sedang sibuk sekali menjalankan bisnis keluarganya dan juga bisnis keluarga Amanda, istrinya. Mau tak mau aku harus bersabar. Entahlah, aku merasa dia berubah. Mungkin dia memang sedang sibuk. Tapi, kesibukannya kini menjadi alasannya untuk selalu menghilang dan tak datang menemuiku."Oh ya? Siapa namanya?" Aksara melipat kedua tangannya di dada. Dia tak memelukku. Dia juga tak membelai rambut hitam panjangku yang selama ini selalu dia lakukan. Dia hanya menatap lurus ke arah depan. Dia bahkan tak mau menatapku."Namanya Bu Dira. Guru kesenian. Sumpah deh, kamu jangan sampai ketemu sama Bu Dira. Kamu nggak akan kuat. Aku aja yang perempuan, ngelihat Bu Dira itu udah spechless. Ngga
( PoV Asmara )"Hai!" Aku rebahkan tubuhku di samping Albert yang sedang asyik mendengarkan musik di atas tempat tidurnya. Aku datang untuk menemui Tante Astia karena aku merasa kesepian setelah Aksara pergi begitu saja dan tak ada kabar. Setidaknya di rumah ini, aku tak merasa sendiri. Namun sepertinya Albert tak menyadari kehadiranku. Buktinya dia sama sekali tidak keluar kamar, padahal aku sudah sekitar tiga puluh menit ngobrol bersama Tante Astia di ruang keluarga. "Mara? Kapan dateng?" Albert duduk dan langsung melepas earphonenya. Dia tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya. Ku amati ekspresi wajah Albert, dia tampak kembali seperti semula. Dia tak tampak murung seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti dia sudah tak marah denganku. "Udah setengah jam aku ngobrol sama Tante Astia. Kamu ngapain sih, sampai nggak tahu aku dateng?" Aku bangkit dan duduk di samping Albert. Aku tersenyum. Bahagia rasanya melihat Albert sudah tak menekuk wajahnya
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita