Suasana kantor pagi ini masih terlihat sepi. Aku memang sengaja berangkat lebih pagi biar tidak ditawari berangkat bareng dengan Pak Rendra. Aku memasuki lobi kantor pukul tujuh, baru OB yang terlihat dan masih mengepel lantai.
“Selamat pagi Pak Hadi” Aku menyapa Pak Hadi yang terlihat sedang menggosok lantai.
Pak Hadi terlihat kaget melihat aku datang sepagi ini “Pagi Mbak Mayang, tumben jam segini sudah sampai kantor mbk, biasanya mepet.” Pak Hadi cekikian.
Pak Hadi tau kalau aku selalu berangkat mepet jam kerja.
“Iya Pak, tadi bangunnya kepagian terus bingung di rumah mau ngapain.” Jawabku bohong.
“Makanya segera cari pendamping mbak, biar kalau pagi tidak bingung mau ngapain.”
“Doain segera dapat ya Pak.”
Pak Hadi memang paling baik dan ramah, aku Sudah menganggapnya sebagai orang tuaku karena dia selalu baik dan perhatian denganku. Aku langsung ke ruang kerja meletakkan tas dan HP. Selanjutnya aku ke pantry untuk minum kopi dan sarapan roti bakar yang tadi sempat aku bikin. Ku tuang kopi dari termos yang sudah aku sedu di rumah. Ku letakkan termos di meja dan aku duduk sendiri di sini. Merenung kenyataan yang aku alami saat ini. Tiba-tiba Pak Rendra dekat denganku walau hanya dua hari menjabat jadi atasanku. Dan memikirkan dengan siapa hari minggu besok aku pergi ke nikahan Rifki. Pusing memikirkan membuat kepala ini migren. Jumat sore sudah janji meu pulang ke Solo, pasti di sana akan ditanya kapan nikah? Sudah umur, sudah tua. Ahhhh muak dengan semua pertanyaan itu.
Aku memainkan pinggiran cangkir, tangan aku letakkan di bawah dagu. Melamun. Ya, memang paling nikmat di pagi hari itu melamun. Tanpa aku sadari pintu pantry terbuka dan Danu sudah duduk di depanku. “Heh, pagi-pagi udah bengong, mikirin apa?”
Aku langsung menatap Danu “Gak ada, Cuma lagi pengen aja.” Jawabku bohong.
Seolah Danu tau kalau aku sedang berbohong kalimat andalan dia ucapkan “Gak percaya, kalau lo bilang gak ada dan gak papa, itu tandanya kamu ada sesuatu. Gak usah bohong sama aku May, kamu gak bisa bohong ya kalau sama aku.”
Aku menautkan alis, sok kepedean ini anak, tapi memang benar apa yang dia katakana sih “Beneran, gak ada apa-apa. Aku hanya kepikiran saja besok minggu mau berangkat apa tidak. Kalau berangkat sendiri kelihatan banget kalau aku belum bisa move on. Pengen dating tapi gak ada pasangan.” Aku menjawab pertanyaan Danu tanpa melihat eskpresi wajahnya.
“Aku temenin mau? Tenang gratis ko gak bayar, kalau lo baper bahu ku siap menopang tubuhmu.” Danu menahan tawa. Kampret ini anak. Dari dulu gak pernah bener kalau ngomong.
“Heh kunyuk, enak aja belum move on. Aku udah move on ya. Cuma aku belum mau komitmen sama orang aja, belum siap merasakan pengkhianatan lagi.” Aku langsung menyesap kopi.
“Bagi dong May.” Danu langsung menuang kopiku yang masih di termos.
“Itu Namanya ngambil, lo baru minta ijin aku belum ngijinin udah lo tuang.”
Danu hanay tertawa terus berdiri. “Minggu malam aku temenin, gak usah khawatir sekarang sudah saatnya kerja, yuk.” Danu mengajakku tapi aku masih enggan untuk meninggalkan pantry.
Aku masih betah di sini sampai pukul delapan lebih lima belas menit aku baru masuk ke ruangan. Suasana ruangan hening karena semua pada fokus dengan laptopnya masing-masing. Saat aku duduk di meja kubikelku ada kertas dan bunga. Semangat untuk hari ini. Jangan pikirkan hatimu tapi pikirkan masa depanmu. Aku menoleh ke Danu dan Gadis.
“Dis, siapa yang ngasih ini?”
Gadis hanya mengedikkan bahu. Aku lanjut menoleh ke Danu.
“Siapa Dan?”
“Ye mana aku tau, tadi sampai ruangan sudah ada. Dari penggemarmu kali.”
“Halah ampas, pengemar apaan.”
Danu dan Gadis langsung tertawa kera. Tuh anak memang gak ada akhlak. Aku langsung fokus ke laptop yang mengacuhkan kertas dan bunga tersebut. Tidak mau memikirkan siapa yang mengirim hal konyol kayak gini.
Sepuluh menit sebelum jam istirahat aku mengajak Gadis dan Danu untuk makan di Yamie Panda. Baru pengen makan mie.
“Yuk, cuss.” Aku berdiri dan ngajak mereka.
“Jalan kaki aja ya, kan Cuma deket.” Kali ini Gadis yang bilang.
Aku dan Danu langsung mengangguk. Ku ambil ponsel dan uang yang aku selipkan di belakang ponsel.
Kami memutuskan untuk duduk di ruangan yang ber AC agar tidak terlalu panas.
Gadis menyodorkan menu “Kalian mau pesan apa? Aku yamie manis kriuk minumnya es jeruk.”
“Aku sama kayak kamu Dis” Suara Danu terdengar sambil fokus dengan ponselnya. “Kamu apa May?” Tanya Danu.
Memikir menu apa yang enak dimakan siang ini aku memutuskan milih yamie manis bakso goreng.
“Yamie manis bakso goreng minumnya es the tawar.” Jawabku.
Selama menunggu makanan datang, kami sibuk dengan ponselnya masing-masing. Hari ini aku baru mager ngobrol, gak tau kenapa. Sepuluh menit kemudian makanan kami datang, kami menikmati makanan satu sama lain. Tiba-tiba Gadis bilang “Gaes, itu sepertinya Pak Rendra, sama siapa itu? Ganteng juga ya?” Pernyataan Gadis berhasil membuat aku dan Danu nengok kebelakang, karena kebetulan dudukku membelakangi pintu. Aku dan Danu kompak mengedikkan bahu. Lanjut kita menghabiskan makan siang.
“Gaes, Pak Rendra senyum ke aku. Kayaknya dia mau masuk sini deh.”
“Biar aja Dis, toh kita juga sudah mau selesai kan, jam makan siang juga sudah mau habis” Danu menjawab pernyataan Gadis. Aku masih asyik mengunyah yamie yang tinggal seperempat mangkuk. Saat aku menandaskan yamie Pak Rendra duduk di sampingku sambil berbisik “Selesai jam kantor jangan langsung pulang ya, ke ruangan saya sebentar, ada yang pengen saya tanyakan.”
Aku kaget kira-kira apa yang akan dibicarakan ya, padahal baru dua hari jadi atasan. “Baik Pak” aku terpaksa menjawab daripada penasaran.
****
Sesuai jam yang disampaikan Pak Rendra tadi, aku akan mampir keruangannya sebelum pulang kantor, tapi sampai jam empat kerjaanku masih lumayan numpuk. Aku harus menyelesaikannya hari ini karena besok aku akan pulang ke Solo, jadi gak mau aku lembur untuk besok. Gadis dan Danu langsung pulang karena tau kalau aku mau menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Tapi sampai pukul lima pekerjaanku belum selesai. Pak Rendra juga belum keluar ruangan, sampai waktu menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit. Aku lihat Pak Rendra keluar dari ruangan, tetapi aku pura-pura tidak melihat beliau.
Pak Rendra berjalan dan menuju kubikel ku “Kirain Sudah pulang Yang.”
“Eh Bapak, belum Pak. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini, biar besok saya tidak lembur.” Aku menatap matanya, gak sopan kalau aku menjawab pertanyaan beliau tapi tanpa melihat.
“Besok mau ke mana? Sampai harus selesai hari ini?”
“Saya besok mau pulang ke Solo Pak, jadi biar tidak lembur, saya usahakan pekerjaan saya selesai hari ini.”
Pak Rendra tidak lagi menanyakan suatu hal, dia hanya mengangguk.
“Bapak mau pulang?” Tanyaku sopan. Bukan maksud mengusir dari sini, tapi akua gak risih kalau dilihatin dari tadi.
“Nungguin kamu, tadi saya di dalam nungguin kamu. Saya kira kamu sudah pulang.”
“Saya bisa pulang sendiri pak, saya bawa kendaraan ko.” Aku berusaha mengusir beliau agar tidak terjadi suasana hening yang terlalu lama.
Aku tidak lagi melanjutkan percakapanku dengan Pak Rendra. Pak Rendra akhirnya menungguku dengan duduk di kursi Danu tepat di depanku. Hingga suara azan terdengar pekerjaanku selesai. Aku segera membereskan dan pergi ke mushola yang terletak di pojok ruangan untuk sholat maghrib.
“Saya sudah selesai Pak, tapi mau sholat dulu. Kalau Bapak ingin pulang, saya persilakan Pak.”
Pak Rendra tidak menjawab tapi beliau mengikutiku dan menjadi imam sholatku. Selesai sholat kami pulang sebelumnya Pak Rendra menawarkan untuk makan malam dulu, tapi aku menolaknya dnegan alasan terlalu capek dan pengen segera istirahat. Akhirnya Pak Rendra memahami dan kita pun pulang dengan mobil masing-masing.
Bahkan tujuan Pak Rendra menyuruh aku menemuinya sebleum pulang kerja pun dia lupa. Aku juga gak tau apa yang akan di bicarakan, karena menurutku taka da yang akan dibicarakan. Kerjaan akan dia cek besok pagi. Tapi entahlah apa yang membuat beliau seperti itu.
Yogyakarta, 5 Agustus 2021
RendraMenggantikan Papa memimpin penerbit yang telah Papa dirikan dua puluh tahun yang lalu awalnya membuat aku ingin menolak. Aku tidak mau langsung menjabat sebagai CEO. Aku hanya ingin memimpin di bagian editor yang sesuai dengan pasion ku. Awalnya aku juga menolak, masak aku kerja di kantor Papa. Nanti aku tidak ada usaha. Tapi Mama memaksa aku untuk mencobanya dulu selama satu bulan. Akhirnya aku memenuhi permintaan Papa.Tepat hari ini aku dikenalkan dengan semua karyawan khususnya bagian editor, tapi ada satu nama yang hari ini belum hadir. Ada satu nama yang membuat aku bertanya tanya “Clarissa Mayang” nama itu seperti tidak asing bagiku. Hingga aku meminta Pak Edi untuk menyuruh Clarissa Mayang datang ke ruangan beliau. Aku yakin kalau dia akan haidr hari ini. Dan aku yakin nama itu sama dengan perempuan yang selama ini aku cari.Ketika dia masuk ke ruangan Pak Edi, dia tidak sadar kalau aku ini a
RendraPagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu.Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana.Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. Aku memesan tongseng
Mayang Siang ini aku ijin kerja setengah hari karena aku harus pulang ke Solo. Sejak tadi pagi Mama sudah meneror ku dengan puluhan pesan dan telepon. Aku tau kalau keluargaku sangat rindu denganku. Mana ada yang tidak rindu dengan anak gadis satu-satunya. Sebelumnya aku belum cerita tentang keluargaku. Aku tiga bersaudara. Kakakku yang nomor satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya di Karanganyar dekat dengan tempat kerja kakakku. Aku nomor dua dan yang nomor tiga adikku laki-laki saat ini baru kuliah semester empat di Universitas Malang. Awalnya aku meminta adikku mendaftar di Jogja biar bisa tinggal denganku, tapi dia tidak tertarik lebih tertarik kuliah di Malang. Mama dan Papa ku yang saat ini hanya tinggal berdua. Dulu keinginan Mama ketika aku lulus kuliah aku bisa kembali dan bekerja di Solo, tapi aku lebih betah tinggal di kota ini. Mama kesehariannya jualan di Pasar Klewer sedangkan Papa seorang sekretaris desa tempat kami tingg
Masih di Solo dan masih mengingat semua kenangan yang sampai saat ini masih terikat jelas. Sabtu pagi ini aku ingi gowes sampai Pasar Klewer. Pasar Klewer adalah pasar tekstil terbesar di Kota Surakarta. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini juga merupakan pusat perbelanjaan kain batik yang menjadi rujukan para pedagang dari Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan kota-kota lain di Pulau Jawa. Pasarini juga pusat batik yang menjadi tempat kulakan para pedagang di wilayah Solo dan sekitarnya bahkan di Jawa Tengah. Berdiri sejak tahun 1970,Pasar Klewertetap menarik untuk dikunjungi.Berangkat dari rumah pukul enam dan sampai di Pasar Klewer pukul tujuh, seharusnya tidak selama ini karena aku snegaja mengayuh sangat pelan. Gowes sendiri itu rasanya gabut banget. Tidak ada yang diajak ngobrol. Sampai di Pasar Klewer aku istrirahat sejenak sebelum nanti sarapan. Tak pernah ketinggalan ketika aku pulang ke
Rendra Pagi ini aku keluar rumah mendapati rumah Mayang sudah sepi, bahkan mobilnya pun juga sudah tidak ada. Aku yakin kalau dia berangkat sengaja pagi untuk hari ini. Sebenarnya secara terang-terangan aku belum menunjukkan kalau aku suka dengan dia. Aku masih menyimpannya sendiri. Terlalu cepat jika aku mengatakan. Aku akan mengikuti alur yang Mayang pilih, jalur apa yang akan dia tempuh. Apakah dia akan menyadari kalau aku sayang dengan dia cepat atau lambat? Aku hanya ingin membuktikan itu. Pagi ini aku ingin sarapan tongseng ayam jawa yang deket dengan pasar Bantul, walau jaraknya lumayan jauh dari rumah dan tidak searah denganku ke kantor tapi aku tetap sarapan di sana. Toh saat ini masih pukul tujuh kurang lima belas, masih banyak waktu untuk aku bisa sarapan di sana. Tongseng ini sangat legendaris yang terletak di pojok selatan pasar Bantul. Menu tongseng ayam dan tempe koro nya yang membuat aku ketagihan makan di sini. A
“Ma, Pa, Mayang balik ke Jogja dulu ya.” Aku pamitan dengan kedua orang tuaku, gak tega sebenarnya meninggalkan mereka.“Hati-hati ya Nduk, kalau tidak ada teman gak usah datang ke nikahan Rifki.” Papa mengingatkanku.Aku hanya mengangguk dan segera menyalami mereka. Aku memeluk mereka. Harus kuat dan ga boleh nangis. Aku meninggalkan mereka yang masih menatapku sampai mobil yang aku kendarai menghilang.Suasana dalam mobil sangat sepi. Aku menyalakan musik dari flasdisk. Tak pernah kudugaSemuanya berubahSaat kau memandangkuBergetar hati iniKau berikan harapan tentang oh..Warna warni harikuSemenjak ada dirimuDunia terasa indahnyaSemenjak kau ada disiniKu mampu melupakannyaKini aku tak sabarIngin hati kau untukkuKat
Memandang hotel yang saat ini menjadi tempat resepsi Rifki dan istrinya membuat hatiku pilu. Seharusnya aku yang mengadakan pesta tapi kenyataan berkata lain. Saat ini aku dan Danu masih di antri salaman dengan pengantin. Aku diam sejak berangkat tadi. Danu pun tidak berani menggangguku, biasanya dia akan membully ku habis-habisan jika menyangkut Rifki. Padahal hanya beberapa kali Danu dan Gadis bertemu dengan Rifki. Itu dulu waktu Rifki masih jadi pengangguran dan sering menjemputku di Jogja. Ahh sudah lupakan. Saatnya melupakan dia dan mencari yang serius.Danu menepuk bahuku saat antrian semakin menipis. “Yakin siap? Kalau gak siap kita bisa langsung pulang?”Aku hanya mengangguk. Beberapa among tamu juga masih saudara Rifki yang masih mengingatku. Bahkan ketika mereka menatapku pun seperti ada tatapan kekecewaan. Aku belum bertemu dengan Mbak Sinta, kakak Rifki yang nomor satu. Mbak Sinta lah yang tidak bisa terima saat Rifki memutuskan hubunga
Aku terbangun saat mendengar ketukan pintu berkali-kali. Mataku enggan untuk membuka, badanku rasanya berat, bahkan mataku terasa panas. Aku mengucek-ucek mata sebelum membuka pintu siapa yang berani membangunkan tidurku pagi ini. Jelas-jelas ini masih sangat pagi. Mungkin bisa dibilang habis subuh. Aku kaget ketika melihat jam ternyata sudah pukul setengah delapan. Aku sangat bersyukur ada orang yang mengetuk pintu pagi ini. Tapi ketika aku menginjakkan kaki di lantai badanku terasa mau jatuh. Mataku semakin panas dan mengeluarkan air mata. Aku menempelkan tangan ke dahi, ternyata aku demam. Pantas saja badanku terasa berat. Aku jalan pelan-pelan untuk membuka pintu. Tanpa cuci buka dan mengucir rambutku biar terlihat rapi aku langsung jalan ke depan. Begitu membuka pintu aku kaget ternyata yang datang Pak Rendra. Penampilan Pak Rendra sangat rapi. Ya jelaslah karena ma uke kantor. Pak REndra menatapku dari atas sampai bawah. Dia heran melihat penampilanku pagi ini.
Kehadiran dan kedatangan Rendra kali ini memang membuatku bingung dengan sikapnya. Walau aku sudah tau semua kisahnya selama ini, tapi aku belum yakin dengan perasaanku dengan menerima dia kembali. Seperti halnya aku yang masih ragu dengan perasaanku, apakah hanya sebatas suka atau kasihan dengan kisahnya. Walau waktu di puncak aku sempat menerima cincin darinya, tapi bukan bearti hati ini sudah menetap untuk memilihnya kembali. Aku hanya perlu memikirkan dan membuat keputusan secepat itu, karena aku tidak ingin Rendra menunggu. walau kenyataannya dia yang selama ini membuatku terus menunggu.Aku pernah berada di posisi menunggu, dan itu sungguh tidak adil bagiku. Ketika Rendra memintaku bagaimana caranya aku tidak akan membiarkan dia menunggu, walau kenyataannya hatikulah yang lagi-lagi dibuat sakit. Kali ini bukan sakit karena menunggu, tapi sakit atas keputusanku, apakah sudah benar atau tidak? Apakah Rendra juga menginginkan hal yang sama? Atau dia hanya ingin membalas kebaikanku?
Curahan Hati MayangBagaimana perasaan kalian saat ditinggal dan diberi harapan palsu dengan orang yang dicintai? Pasti sakit hati bukan.Itulah yang ku rasakan hampir satu tahun ini. Orang tersayang bukan hanya Rendra yang menghilang, tetapi Gadis dan Danu juga menghilang.Aku sampai bingung harus menghubungi mereka lewat apa? Karena setiap kali aku kirim pesan baik di whatsapp atau sosial media yang lain pasti tidak pernah dibalas.Aku bingung apa yang membuat mereka seperti ini? Kalau hanya Rendra aku tidak ada mempermasalahkan karena memang dia masih punya istri. Tapi dengan Danu dan Gadis membuatku jadi bertanya-tanya, ada apa dengan mereka?Di saat aku membutuhkan dukungan untuk menjalani hidup yang jauh dari orang-orang tersayang, mereka semua menghilang, tapi aku bersyukur ada Galang yang selalu menemaniku saat itu. Dia menjadi orang pertama dan di garda terdepan saat aku terjadi suatu hal. Dia juga y
Sore ini kami semua langsung berangkat ke Puncak. Liburan yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya. Semua ini kejutan dari Rendra. Aku gak nyangka kalau dia punya ide seperti ini.Sampai puncak sudah malam hari, kami langsung masuk ke kamar masing-masing. Rendra yang memesan villa ini. Villa ini terdapat empat kamar tidur. Ayah dan Ibu satu kamar, Clara dan Mama, Rendra dan Danu, sedangkan aku dan Gadis.Kami semua tidak ngobrol santai dulu karena sudah terlalu capek. Aku bahkan di perjalanan tadi pun sempat tidur.Pukul sebelas malam aku kebangun karena haus, aku lupa membawa botol minum di kamar. Padahal biasanya aku selalu menyiapkan minum di kamar agar tidak keluar kamar malam-malam.Aku melihat televisi ruang tengah masih nyala, padahal tadi kami semua sudah masuk ke kamar masing-masing. Aku perlahan berjalan mendekati cahaya lampu televisi, ingin memastikan siapa yang menonton televisi malam-malam.“Loh Mas, bukan
Sebelum pulang ke kost, kami melakukan foto studio dulu. Aku padahal tida booking untuk foto studio, ternyata Rendra yang sudah melakukan dan merencanakan semua ini.Foto pertama, fotoku dengan Ayah dan Ibu, ke dua fotoku sendiri, ketiga Ayah, Ibu, dan Rendra. Dan yang terakhir fotoku dengan Rendra. Beberapa kali pose kami lakukan. Aku kikuk jika foto berdua dengan Rendra, karena belum pernah kami melakukannya. Dia juga beberapa kali pose memeluk pinggangku erat. Malu di lihat Ayah dan Ibu.Dirasa sesi foto cukup, kami segera pulang. Tapi aku mengajak untuk makan siang terlebih dahulu, tapi di tolak oleh Rendra. Padahal aku sudah sangat lapar.“Kenapa gak boleh mampir makan sih, aku laper.”“Nanti di kost aja ya.” Katanya lembut.“Aku gak masak tadi Mas.” Kataku dengan nada geli. Masih risih saat menyebut dengan sebutan “Mas”.Rendra langsung senyum senyum dan melaj
Hari ini, hari yang ku tunggu-tunggu. Iya. Aku wisuda pagi ini. Ibu dan Ayah sudah datang dari Solo sejak kemarin siang. Aku menggunakan kebaya modern warna merah maroon senada dengan kebaya ibu. Dan rok batik yang sama dengan Ibu dan Kemeja Ayah. Ibu tampak bahagia melihatku pagi ini.“Duh, ayune anak ibu.” Ibu senyum-senyum melihatku.Aku hanya membalas senyuman ibu.Ketika kemarin siang ibu sampai di sini, ibu dan Ayah langsung membahas lamaran Rendra, awalnya aku tidak terima dnegan Ayah yang begitu saja menerima tanpa menanyaiku terlebih dahulu. Tapi alasan Ayah menerima Rendra membuatku yakin kalau pilihan Ayah tidak pernah salah.Tapi, sampai saat ini aku belum memberikan jawaban ke Rendra. Dia juga rutin mengirimkan pesan untukku karena dia sudah ku usir dari sini beberapa hari yang lalu. dia hanya akan ngrecokin ketika aku mengerjakan revisi tesis bareng Galang. Ada saja alasannya agar dia bisa menganggu k
Harusnya hari ini Rendra dan yang lainnya pulang ke Jogja karena mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan terlalu lama, apalagi penerbitan yang di rintis Rendra baru seumur jagung. Tapi yang pulang hanya Ratu, Gadis, dan Danu. Sedangkan Rendra masih di Bandung katanya ingin menemaniku. Halah padahal dulu dia seperti apa. Aku Sudah mencoba mengusirnya karena kalau dia di sini, nanti hanya akan mengangguku menyelesaikan revisi tesis, padahal aku aku hanya diberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan.“May, kami pulang dulu ya. Hati-hati, ada buaya di sini.” Kata Gadis sambil terkikik.Aku tau yang di maksud buaya adalah Rendra.“Santai, paling bentar lagi juga Gue usir.” Kataku.Setelah mereka pergi, mereka pulang ke Jogja menggunakan mobil Rendra. Rendra sengaja menyuruh mereka membawa mobilnya biar nanti REndra ke Jogja menggunakan mobilku. Aku paham maksudnya. Memang dari dulu Rendra selalu tidak mengijinkanku untuk
Aku tidak menjawab pertanyaan Rendra, buat apa aku menjawab kalau akhirnya dia tidak menjelaskan apapun yang sudah terjadi selama ini. Di juga menghilang. Dia pikir aku perempuan seperti apa yang bisa seenaknya dia singgahi begitu saja.Hingga dia menghentikan mobilnya di daerah braga. Kawasan ini sangat ramai jika malam hari, aku sudah sering ke sini dengan Galang. Bahkan kami sering menghabiskan malam minggu di tempat ini, selain untuk menghilangkan penat karena tesis yang menyita pikiran dan waktu, tempat ini juga nyaman untuk ngobrol.Rendra turun dari mobil, rasanya aku malas turun tapi mau bagaimana lagi aku gak mau jika dikunci dalam mobil. Rendra jalan ke arah Kopi Magma, tempat ini yang biasa aku datangi dengan Galang, selain tempatnya nyaman menunya juga enak dan ramah untuk mahasiswa seperti aku apalagi anak kostan.“Selamat Malam Neng Mayang.” Sapa seorang karyawan yang datang membawa buku menu.“Malam A’, saya pesan se
Malam ini kami makan penyetan yang dipesan Gadis, kami makan di ruang depan. Ruang ini tadi Danu sulap menjadi tempat istirahat Gadis, Danu, dan Ratu sedangkan Rendra malah menyusulku istirahat di kamar dan menyebabkan kejadian yang luar biasa. Dia belum bilang apa-apa, tapi dari yang dia lakukan ke aku itu menandakan kalau dia memang saat ini sudah resmi cerai dari Ratu.Kami makan dalam diam, tidak ada percakapan atau guyonan seperti biasa. Bahkan Danu dan Gadis yang biasanya selalu becanda, kesempatan makan malam ini mereka diam seribu bahasa.Selesai makan, aku selaku tuan rumah membereskan sampah bekas makanan. Aku membuangnya di tempat sampah depan kost biar tidak menumpuk di dapur. Aku sengaja berlama-lama di luar karena aku merasa canggung dan seperti orang asing di antara mereka.Takut mereka pada curiga aku langsung melangkahkan kaki masuk ke kost. Mereka baru fokus dengan ponselnya masing-masing. Aku segera ke dapur untuk cuci tangan.
“Sayang, maafin aku ya.” Berulang kali Rendra mengucapkan kalimat itu, aku memiliki rasa bersalah saat ini karena di luar ada istrinya. Dia malah menyusulku ke kamar. Di mana letak rasa pengertiannya dengan istrinya. Aku mulai melepas tangannya yang ada di perutku. Risih sekali sudah lama kami tidak komunikasi tiba-tiba dia datang-datang langsung meluk. “saya sudah maafin bapak. Bapak tunggu di luar ya. Saya mau ganti baju dulu.” Aku tak menoleh ke arahnya. Rasanya ingin melihat reaksi wajahnya, tapi aku urungkan. “Belum, kamu belum bisa memaafkan ku.” Katanya lagi. Dia memang orang yang keras kepala. “Sudah Pak, semua sudah berakhir. Saya sudah memaafkan bapak sejak dulu. Jadi jangan berfikir kalau saya belum bisa memaafkan bapak.” Kataku. Aku sengaja memanggilnya “bapak” karena itu lebih sopan daripada aku memanggil nama. Tiba-tiba dengan paksa Rendra membalikkan badanku. Dia langsung memegang kedua pip