(Percakapan sesungguhnya menggunakan bahasa Italy)
Roma-Italy.
"Jangan bergerak!" tubuh itu menegang sempurna seraya napas yang mencoba lebih santai. Pria itu menatap langit yang berubah menajdi gelap dengan cepat. Mendengkus karena tangannya dipelintir ke belakang lalu di borgol pergelangan tangannya. Ia meringis, karena cengkraman pada pundaknya terasa menekan bekas luka tembak yang baru saja sembuh.
"Kau suruhan siapa?" geramnya tertahan, namun tak ada jawaban. Kali ini, kedua matanya di tutup kain hitam. Ia tak bisa berkutik, bahkan sekedar untuk merintih menahan sakitpun ia tak bisa.
Pria itu di bawa masuk ke dalam mobil. Harum tembakau jelas tercium dari hidungnya. "Kita bertemu lagi, Fausto. Tapi kali ini aku tak ada urusannya denganmu, aku di bayar mahal untuk membawamu ke suatu tempat. Setelah kalian bertemu, baru aku akan memberikanmu misi baru yang cukup berbahaya. Ak
Sepeninggal Pras dan Laurent yang berkata kepada Alexander jika mereka pergi ke Turki - padahal ke Roma, Italy - membuat pemuda itu merayakan hari ulang tahunnya di rumah dengan para pelayan beserta keluarga, juga anak-anak dari yayasan yang Laurent miliki. Harum bau kue tercium dari arah dapur. Gadis cantik dengan rambut di kuncir kuda itu sibuk mengeluarkan bolu rasa lemon dari dalam oven. Ia meletakkan dengan hati-hati di atas meja dapur besar yang terbuat dari marmer. Alex berdiri di ambang pintu sambil bersedekap, melihat sibuknya Lily yang berniat membuatkan dirinya kue ulang tahun besar untuknya."Ada yang bisa aku bantu?" ucap Alex seraya tersenyum menatap gadis itu."Tidak, Lex, kau yang berulang tahun, duduk dan nikmati hari spesialmu ini." Lily melanjutkan dengan mixer dan krim yang ia campur gula bubuk dan perasan lemon. Harumnya begitu menggoda hidung Alex. Pemuda itu mendekat, mencolek krim dengan ibu jarinya lalu ia cicipi. Lily menatap Alex.
Roma, Italy.Pras berdiri menatap tajam ke pria yang dari wajahnya saja sudah mirip dengan Alexander, hatinya sakit seperti di remas. Pria yang kehadirannya tak diharapkan oleh Pras kini ada di hadapannya, bahkan Laurent, tak sudi ikut menemui pria yang merupakan ayah kandung putranya. Ia tak kuat jika Fausto meminta Alex kembali kepadanya."Katakan, di mana, wanita itu, Fausto. Apa kau tau menyembunyikannya?" Pras masih bertanya dengan nada biasa dan tanpa emosi. Baginya, rugi juga jika ia melakukan cara kasar, walai rasanya, pria di hadapannya memang wajar jika di hajar olehnya. Fausto diam, ia hanya menatap Pras tanpa mau menjawab. Kedua tangannya di borgol, mereka berada di markas seseorang bernama Felipe. Salah satu kawan lama Pras yang dulu tergabung di The Red Dragon, Hongkong. Felipe berhutang kepada Pras soal keselamatan keluarga di masa lalu. Di sisi lain, Felipe adalah bos dari Fausto, pengedar narkotika dan mafia pasar gelap.Kekeha
"Aku tidak membawa banyak pakaian, Lex, kita hanya beberapa hari, bukan?" Lily menutup tas koper warna pink miliknya. Ia menoleh ke Alex yang sedang merebahkan tubuh di atas ranjang Lily sambil memainkan ponselnya. "Alexander!" panggil Lily kencang."Yes, Sweet heart, sebentar. Aku membalas pesan Mommy dan Daddy, mereka masih satu minggu lagi di Turki. Kita punya waktu untuk bisa kembali lagi ke sini sebelum mereka pulang." Kekeh Alex. Lily diam, ia sebal jika Alex sudah memanggilnya sweet heart atau babe, atau panggilan sayang lainnya." Lily menuju ke meja riasnya yang minimalis karena kecil dan tak ada hiasan apa pun layaknya anak remaja seusianya."Aku tidak ingin orang tuamu mengetahui rencana ini, aku takut terbawa-bawa oleh kelakuanmu yang diam-diam menyelidiki orang tua kandungmu. Ini bahaya sesungguhnya, Lex, kita pergi juga tanpa ada yang tau, bukan? Bahkan para pelayanmu taunya kita berlibur k
Alex, Dre dan Lily bersiap menuju ke Trevi Fountain, tempat air mancur terkenal dengan hiasan artistik patung-patung, dan air yang mengucur deras memenuhi kolam di bawahnya. Bahkan, di sana juga dikenal dengan kebiasaan jika kita melempar koin sambil berbalik badan, lalu mengucapkan harapan di dalam hati, harapan itu bisa jadi kenyataan.Lily mengantongi beberapa koin, dirinya ingin mencoba, sekedar iseng atau kucu-lucuan karena ia sedang berada di Roma. Dre berdiri menatap gadis itu dari pantulan cermin, lalu matanya menatap Alex yang diam-diam memperhatikan gerak gerik gadis itu juga. Smirk muncul di wajah Dre. Pemuda itu beranjak lalu berjalan menghampiri Lily."Ly," panggil Dre. Lily mendongak karena Dre sudah berdiri di depannya. Tiba-tiba, Dre mencium kening Lily begitu lama, kedua mata Lily membulat sempurna. Kemudian Dre melepaskan ciuman itu, mengusap pelan wajah Lily. Ia menyambar jaket jeans, lalu berucap kepada Alex untuk segera bersiap. Dre jug
Dre bertopang dagu, menatap wajah cantik Lily yang sedang menikmati es krim gelato di salah satu cafe yang ada di daerah ramai kota Roma. Senyum terus mengembang di wajah Dre. "Ly, apa kamu tidak mau mencari keberadaan kedua orang tuamu?" pertanyaan mendadak Dre membuat Lyly terdiam seketika dengan masih menggigit sendok es krim. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala."Kenapa?" tanya Dre lagi."Mereka sepertinya memang tidak mau mencariku, atau mungkin menginginkanku, Dre," jawab Lily kemudian."Setidaknya kau tau kondisi mereka sekarang," lanjut Dre. Lily kembali menggelengkan kepala."Aku tidak mau menambah beban pikiranku, Dre. Tak apa," lanjutnya. Dre menghela napas, tatapannya beralih ke arah Alex yang berjalan mendekat ke arah meja yang mereka tempati. Wajahnya menunjukan guratan sedih, tapi berusaha Alex tutupi walau Dre menyadari hal itu.Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Lily, Dre menunduk lalu beranjak
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri. (Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya). "Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya.
Dipikirannya, Pras hanya menginginkan kedamaian dalam keluarganya bersama Laurent dan Alexander. Ia tak menyangka jika saat itu pun tiba. Saat-saat di mana ia harus berurusan dengan masa lalu dan cerita sebenarnya tentang sang putra. Pras diam, termenung menatap jalanan dari dalam mobil sedan mewah yang ia kendarai. Di sebelahnya, Laurent duduk sembari berbicara tentang toko pakaian yang akan ia resmikan beberapa waktu lagi. Laurent membuka toko pakaian anak-anak, ia bekerja sama dengan para desainer muda yang baru kembali setelah menempuh sekolah fashion di luar negeri. Laurent bahkan launching merek pakaiannya sendiri.(Percakapan dalam bahasa Indonesia pada umumnya)."Pras, menerut kamu, apa kita bisa Import baju dari tanah air ke sini? Berapa lama kira-kira untuk sampai ke Zurich?" Laurent merepikan kunciran rambutnya. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Kerutan di keningnya menunjukan jika Pras sedang berkutat dengan pikirannya."Sa
(Percakapan sesungguhnya dengan bahasa Inggris)Derap langkah tegap dari terdengar dari suara sepatu yang bertemu dengan lantai marmer area perkantoran itu. Dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana bahan yang tampak licin dan juga mahal, Fausto melangkah pasti menuju ke arah lift yang akan membawanya ke kantor pemilik gedung itu. Hari itu ia sengaja merapikan penampilannya, rambut klimis, kumis tipis yang mulai tumbuh, dengan bulu-bulu halus yang juga mulai menutupi area dagunya, ia biarkan tak dirapikan, sengaja, ia ingin membuat kesal lain. Kesehariannya, Fausto tak seperti itu, ia akan lebih senang memakai celana jeans hitam, kemeja pres body atau, kaos yang di balut jaket kulit.Di belakangnya, ada tiga orang berpakaian rapi yang mengawalnya, mereka bukan orang yang Fausto ajak dari Itali, tapi Pras yang meminta anak buahnya mengawal Fausto. Dua hari lalu, setelah akhirnya ia dan Laurent membuat rencana itu, Pras menghubungi Faus
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.