Monitor yang berbunyi monoton membosankan, yang mempertontonkan garis berlekuk berlarian bersama angka yang kadang berubah adalah hal pertama yang menyambut kedatangan mereka. Sama sekali bukan panorama yang indah, terutama bagi Kala, yang merasa dikhianati karena tidak pernah mendengar apapun dari Kila.Ia sebelumnya mengira, lebih pantas dikatakan berharap, kalau Ibad bakal baik-baik saja setelah berhadapan dengan laut. Memang mungkin akan butuh perawatan, tapi bukan dari alat-alat yang teronggok mengerikan itu."Ibad, koma? Kila, benarkah ini? Ibad koma?"Yang justru histeris adalah ibu dua bersaudara itu. Matanya membeliak dan mulutnya yang membulat tersembunyi di balik telapak tangan sambil bergantian menatap Ibad di depannya dan Kila di sampingnya.Kila mengangguk lemah, terlalu tidak berdaya untuk sekadar mengeluarkan bunyi dari tenggorokannya."Kenapa Kakak nggak bilang sama gue?"Tidak langsung menjawab, rupanya Kila berjuang dulu mempertahankan
"Pria brengsek itu datang ke rumahnya? Oke, tahan dia. Saya akan putar balik."Fikri cepat-cepat memutus panggilan, ditatap dengan risau oleh Citra yang masih belum yakin mesti berpihak ke siapa."Putar balik mobilnya, cepat! Kita kembali ke rumah tadi."Begitu mendengar titah tuannya, si sopir menurut. Ia memutar mobilnya di jalan ber-paving block, memproduksi debu, dan melesat kembali ke rumah dua lantai yang baru ditinggalkan beberapa menit yang lalu."Gani ke rumah, Ayah?"Citra bertanya dengan suara pelan, meskipun sudah tahu jawabannya."Iya, dia baru mau masuk ke rumah waktu pengawal Ayah memergokinya. Sekarang kesempatan kita untuk menangkapnya."Diam saja, Citra tidak menampik ataupun menyetujui maksud ayahnya. Ia kembali dihantam kebingungan untuk memilih antara ayahnya atau suaminya.Walaupun hampir pasti ia akan dianggap sangat bodoh karena masih mempertimbangkan untuk membela pria yang sudah menyakitinya, tapi Citra tidak bisa berpur
Begitu sosok berjas hitam timbul, Profesor Gani langsung mengerti apa yang tengah terjadi dan tanpa melempar-lempar waktu lagi ia menenggelamkan semua operasi mengambil barang yang diperlukan dari rumahnya, memundurkan mobil, mengganti arah, dan melesatkannya dengan kecepatan gila-gilaan."Loh? Kenapa tidak jadi masuk ke rumah, Yah?"Neta berteriak, berupaya mengalahkan suara derum mobil yang mendominasi pendengaran. Tubuhnya memutar ke belakang, menatap rumah yang belum sempat dimasukinya.Tidak merasakan respons apapun, Neta memperbaharui kembali posisi duduknya dan baru akan merongrong ayahnya lagi dengan pertanyaan ketika mobil tiba-tiba berhenti tanpa sopan santun, sehingga jidat Neta menghajar dashboard.Neta mengusap jidatnya yang benjol dengan ekspresi murka. Ia jengkel karena rencana memasuki rumah dibatalkan tanpa penjelasan, bertanya tapi diabaikan, dan sekarang rasa sakit memenuhi wajahnya.Belum sempat Neta mengajukan aduan, keluhan, protes, ata
"Nggak bisa begini nih, gue harus turun dan mendamprat orang itu kayaknya."Kila mengambil keputusan setelah menunggu beberapa menit sambil menekan klakson yang melengking-lengking memperingatkan."Jangan marah-marah, Kila. Tegur saja baik-baik. Mungkin yang punya baru belajar mengemudikan mobil makanya begitu."Kila mengerjap, ucapan ibunya benar juga."Iya, ya. Oke, Bu. Saya nggak akan marah-marah."Kila turun dari mobil dan menghampiri mobil navy yang cara parkirnya seolah menghalangi mobil Kila agar tidak keluar dari halaman rumah sakit. Ia mengetuk kaca jendelanya dengan kesopanan yang dipaksakan, berupaya tidak menghantamnya. Kaca jendela terbuka dan mata Kila membeliak melihat si pengemudi mobil. Ibunya salah. Pengemudinya bisa dipastikan bukanlah manusia yang baru berkenalan dengan mobil."Halo, Kila. Saya menghalangi jalanmu, ya. Kalian mau ke mana? Pulang? Biar saya yang antar Kala. Saya masih ada urusan dengan dia."Mata Kila masih membeli
Panggilan yang diterimanya sudah agak lama berakhir, layar ponselnya telah menggelap. Tapi, Citra masih bersikeras mempertahankan posisinya, dengan tangan terangkat menempelkan ponsel di telinga kanan. Kabar yang diterimanya, yang seharusnya menjadi berita baik, malah membuat tubuhnya membatu. Tita baru saja memberitahunya bahwa pelaku penyanderaan terhadap kakaknya dan adik polisi wanita itu telah diciduk."Ada apa, Citra? Kenapa berhenti di situ? Siapa yang menelepon?"Kepala ayahnya mewujudkan diri dari balik dinding ruang keluarga, memelototi Citra yang ber-cosplay jadi patung di ruang tamu. Karena sepertinya Citra tidak mendengar apapun, maka ayahnya menampakkan seluruh sosoknya dan berjalan mendekati Citra kemudian menepuk bahunya."Citra, apa yang terjadi? Itu telpon dari siapa?"Barulah Citra ingat jika ia sedang berada di ruang tamu rumah mewah ayahnya, bakal berdiskusi soal misi penyelamatan Neta dengan pengawal ayahnya."Reporter kenalan saya baru
"Apa-apaan ini, Profesor? Apa maksud Anda mengumpankan anak buah saya agar ditangkap polisi?"Profesor Gani dan Neta langsung disambut dengan kemurkaan Bento begitu sosok mereka memasuki pintu markas. Neta bergantian menatap Bento dan ayahnya, bingung sekaligus resah karena kata "polisi" diikutsertakan. Sedangkan Profesor Gani hanya menyeringai sinis bertatap muka dengan belasan preman itu."Kamu salah paham, Bento. Saya tidak mengumpankan anak buah kamu. Dia hanya melaksanakan tugas yang saya berikan. Dengan imbalan besar tentunya."Mata Bento membeliak. Kepala botak licinnya berkilat dijilat cahaya lampu. Di belakangnya, para preman memasang ekspresi tanpa empati."Tanpa mengatakan apapun pada saya? Saya ini pemimpin mereka, Profesor. Saya berhak tahu apa yang terjadi pada anak buah saya atau tugas apa yang Anda berikan."Seringai Profesor Gani menjelma senyum sinis."Wah, jangan salahkan saya dong kalau anak buah kamu sendiri yang tidak bilang apa-apa
Mereka berempat duduk agak berjauhan di kursi panjang depan ruang interogasi, bertatap muka dengan mesin pembuat kopi dan mesin penjual otomatis. Efran dan Fikri tidak lupa saling melirik tiap beberapa detik, mengira-ngira alasan masing-masing berada di situ untuk menemui objek yang sama, sedangkan Kala dan Citra sibuk menunduk, menghimpun pikiran yang berlarian."Bagaimana keadaan Anda, Nak Kala?"Citra memilih bertanya demi menghalau kecanggungan."Baik, Bu."Tidak lagi saling mengerling, Efran dan Fikri kini menatap Kala dan Citra bergantian."Baguslah kalau seperti itu, cuma perlu menginap semalam di rumah sakit."Kala mengangguk kemudian diam saja karena tidak tahu lagi harus membicarakan apa. Ia juga kurang nyaman berujar soal Neta dan Profesor Gani di depan orang-orang tua itu."Maafkan suami dan anak saya, ya. Gara-gara mereka Anda harus disandera oleh preman dan pingsan."Justru Citra yang membuka topik mengenai hal yang enggan dibahas K
"Apa? Kejaksaan? Kenapa anakku harus dibawa ke sana padahal dia tidak bersalah?"Wira dan Yudi diam saja setelah menjawab seperlunya, tahu betul bahwa lebih baik tidak memproduksi masalah baru, terutama dengan ibu yang murka karena anaknya dihadapkan ke kejaksaan, terutama dengan ibunya Fatih yang dikenal nekat."Tenang saja, Bu, ini hanya pemeriksaan biasa."Fatih menenangkan ibunya yang sudah mengguncang-guncang terali dengan cara memukul dan menendangnya, menciptakan keriuhan di ruang tahanan."Tidak bisa, Fatih. Bagaimana bisa mereka melimpahkan kasus ini ke kejaksaan padahal jelas-jelas kamu tidak salah? Hei polisi tengik, kalian bersekongkol mau membuat putraku dihukum untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, ya? Siapa yang memerintahkan kalian membawa putraku, hah? Siapa? Atasan kalian yang bengis itu? Hah?"Saling melirik, Wira dan Yudi diam-diam membuat kesepakatan untuk melakukan aksi tutup mulut berjamaah."Sudahlah, Bu, jangan membuat keribut