Begitu sosok berjas hitam timbul, Profesor Gani langsung mengerti apa yang tengah terjadi dan tanpa melempar-lempar waktu lagi ia menenggelamkan semua operasi mengambil barang yang diperlukan dari rumahnya, memundurkan mobil, mengganti arah, dan melesatkannya dengan kecepatan gila-gilaan."Loh? Kenapa tidak jadi masuk ke rumah, Yah?"Neta berteriak, berupaya mengalahkan suara derum mobil yang mendominasi pendengaran. Tubuhnya memutar ke belakang, menatap rumah yang belum sempat dimasukinya.Tidak merasakan respons apapun, Neta memperbaharui kembali posisi duduknya dan baru akan merongrong ayahnya lagi dengan pertanyaan ketika mobil tiba-tiba berhenti tanpa sopan santun, sehingga jidat Neta menghajar dashboard.Neta mengusap jidatnya yang benjol dengan ekspresi murka. Ia jengkel karena rencana memasuki rumah dibatalkan tanpa penjelasan, bertanya tapi diabaikan, dan sekarang rasa sakit memenuhi wajahnya.Belum sempat Neta mengajukan aduan, keluhan, protes, ata
"Nggak bisa begini nih, gue harus turun dan mendamprat orang itu kayaknya."Kila mengambil keputusan setelah menunggu beberapa menit sambil menekan klakson yang melengking-lengking memperingatkan."Jangan marah-marah, Kila. Tegur saja baik-baik. Mungkin yang punya baru belajar mengemudikan mobil makanya begitu."Kila mengerjap, ucapan ibunya benar juga."Iya, ya. Oke, Bu. Saya nggak akan marah-marah."Kila turun dari mobil dan menghampiri mobil navy yang cara parkirnya seolah menghalangi mobil Kila agar tidak keluar dari halaman rumah sakit. Ia mengetuk kaca jendelanya dengan kesopanan yang dipaksakan, berupaya tidak menghantamnya. Kaca jendela terbuka dan mata Kila membeliak melihat si pengemudi mobil. Ibunya salah. Pengemudinya bisa dipastikan bukanlah manusia yang baru berkenalan dengan mobil."Halo, Kila. Saya menghalangi jalanmu, ya. Kalian mau ke mana? Pulang? Biar saya yang antar Kala. Saya masih ada urusan dengan dia."Mata Kila masih membeli
Panggilan yang diterimanya sudah agak lama berakhir, layar ponselnya telah menggelap. Tapi, Citra masih bersikeras mempertahankan posisinya, dengan tangan terangkat menempelkan ponsel di telinga kanan. Kabar yang diterimanya, yang seharusnya menjadi berita baik, malah membuat tubuhnya membatu. Tita baru saja memberitahunya bahwa pelaku penyanderaan terhadap kakaknya dan adik polisi wanita itu telah diciduk."Ada apa, Citra? Kenapa berhenti di situ? Siapa yang menelepon?"Kepala ayahnya mewujudkan diri dari balik dinding ruang keluarga, memelototi Citra yang ber-cosplay jadi patung di ruang tamu. Karena sepertinya Citra tidak mendengar apapun, maka ayahnya menampakkan seluruh sosoknya dan berjalan mendekati Citra kemudian menepuk bahunya."Citra, apa yang terjadi? Itu telpon dari siapa?"Barulah Citra ingat jika ia sedang berada di ruang tamu rumah mewah ayahnya, bakal berdiskusi soal misi penyelamatan Neta dengan pengawal ayahnya."Reporter kenalan saya baru
"Apa-apaan ini, Profesor? Apa maksud Anda mengumpankan anak buah saya agar ditangkap polisi?"Profesor Gani dan Neta langsung disambut dengan kemurkaan Bento begitu sosok mereka memasuki pintu markas. Neta bergantian menatap Bento dan ayahnya, bingung sekaligus resah karena kata "polisi" diikutsertakan. Sedangkan Profesor Gani hanya menyeringai sinis bertatap muka dengan belasan preman itu."Kamu salah paham, Bento. Saya tidak mengumpankan anak buah kamu. Dia hanya melaksanakan tugas yang saya berikan. Dengan imbalan besar tentunya."Mata Bento membeliak. Kepala botak licinnya berkilat dijilat cahaya lampu. Di belakangnya, para preman memasang ekspresi tanpa empati."Tanpa mengatakan apapun pada saya? Saya ini pemimpin mereka, Profesor. Saya berhak tahu apa yang terjadi pada anak buah saya atau tugas apa yang Anda berikan."Seringai Profesor Gani menjelma senyum sinis."Wah, jangan salahkan saya dong kalau anak buah kamu sendiri yang tidak bilang apa-apa
Mereka berempat duduk agak berjauhan di kursi panjang depan ruang interogasi, bertatap muka dengan mesin pembuat kopi dan mesin penjual otomatis. Efran dan Fikri tidak lupa saling melirik tiap beberapa detik, mengira-ngira alasan masing-masing berada di situ untuk menemui objek yang sama, sedangkan Kala dan Citra sibuk menunduk, menghimpun pikiran yang berlarian."Bagaimana keadaan Anda, Nak Kala?"Citra memilih bertanya demi menghalau kecanggungan."Baik, Bu."Tidak lagi saling mengerling, Efran dan Fikri kini menatap Kala dan Citra bergantian."Baguslah kalau seperti itu, cuma perlu menginap semalam di rumah sakit."Kala mengangguk kemudian diam saja karena tidak tahu lagi harus membicarakan apa. Ia juga kurang nyaman berujar soal Neta dan Profesor Gani di depan orang-orang tua itu."Maafkan suami dan anak saya, ya. Gara-gara mereka Anda harus disandera oleh preman dan pingsan."Justru Citra yang membuka topik mengenai hal yang enggan dibahas K
"Apa? Kejaksaan? Kenapa anakku harus dibawa ke sana padahal dia tidak bersalah?"Wira dan Yudi diam saja setelah menjawab seperlunya, tahu betul bahwa lebih baik tidak memproduksi masalah baru, terutama dengan ibu yang murka karena anaknya dihadapkan ke kejaksaan, terutama dengan ibunya Fatih yang dikenal nekat."Tenang saja, Bu, ini hanya pemeriksaan biasa."Fatih menenangkan ibunya yang sudah mengguncang-guncang terali dengan cara memukul dan menendangnya, menciptakan keriuhan di ruang tahanan."Tidak bisa, Fatih. Bagaimana bisa mereka melimpahkan kasus ini ke kejaksaan padahal jelas-jelas kamu tidak salah? Hei polisi tengik, kalian bersekongkol mau membuat putraku dihukum untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, ya? Siapa yang memerintahkan kalian membawa putraku, hah? Siapa? Atasan kalian yang bengis itu? Hah?"Saling melirik, Wira dan Yudi diam-diam membuat kesepakatan untuk melakukan aksi tutup mulut berjamaah."Sudahlah, Bu, jangan membuat keribut
Ayahnya berbohong?Neta bangkit dari duduknya di tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di kamar yang tidak begitu luas itu, merenungkan dengan sungguh-sungguh pikiran yang baru saja menghantam jidatnya. Kalau memang ayahnya berbohong, untuk apa? Untuk menjauhkan Neta dari ibunya? Apa untungnya menjauhkan ibu dari anaknya sendiri? Tidak, tidak, mungkin bukan itu alasannya. Lalu, apa?Ia berhenti di depan jendela, sekali lagi bertatap muka dengan rumput setinggi orang yang mencuat begitu saja dari dalam tanah, mencoba menelaah kelakuan ayahnya yang tiba-tiba mewujudkan diri menjadi ayah yang baik dalam semalam.Punggung Neta menegak, matanya tajam memelototi rerumputan, seolah ada manusia yang berindap-indap di sana. Semalam! Ayahnya memang berubah sikap dalam semalam. Kemarin ia masih menganggap Neta ancaman, sampai menyuruh preman mengawasinya. Tapi sekarang, ayahnya bersikap seakan Neta anak kesayangan.Neta mencengkeram bingkai jendela dan menerawang, berupa
"Pak Wakil nelpon, Kak."Kala mempertontonkan layar ponselnya pada Kila yang sibuk mengemudi di sampingnya. Mereka juga ikut mengawal Fatih ke Kantor Kejaksaan Ryha setelah AKBP Neco minggat begitu saja usai diancam oleh Kila. Ancaman yang sama sekali bukan main-main. Kala merasa ia pun akan meniru sikap AKBP Neco jika Kila mengancam seperti itu.Kila mendengus, jelas-jelas tidak suka. Ia tadi sudah riang karena Efran memutuskan meninggalkan kantor polisi lebih dulu dengan dalih ada rapat yang harus dihadiri, sekarang malah menelpon Kala lagi."Gue heran, kok Pak Wakil kayak lagi nguber-nguber lo, ya? Ada urusan apa sih lo sama Pak Wakil, Ka? Lo nggak ngelakuin kesalahan ke beliau, kan?"Kala mendelik, tapi berupaya mengingat-ingat juga."Seingat gue nggak, Kak. Kan gue baru semalam ketemu sama beliau."Diam, Kila berkali-kali melirik jalanan dan layar ponsel yang memampang panggilan Erfan."Angkat aja, Ka. Lagian lo juga nggak bisa bohong kalau umpa
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal