“Eng… maaf nih Mas, tapi Mas tidak sedang kabur dari rumah sakit, kan?”
Sopir taksi yang tidak tahan memendam rasa penasarannya terhadap gerak-gerik Kala yang tampak janggal di matanya akhirnya memutuskan bertanya, setidaknya ia perlu kepastian bahwa ia tidak sedang diajak berpartisipasi dalam tindakan kriminal. Misalnya, ia mesti yakin si penumpang tidak berniat keji pada pemilik mobil yang dibuntutinya. “Tidak Pak, saya hanya mau tahu ke mana mobil itu pergi dan apa yang dilakukan pemiliknya. Nanti juga kembali ke rumah sakit. Bapak bisa antar saya kembali kalau mau.” Merasa sangsi dengan jawaban Kala, karena kedengarannya kelewat jujur, sopir taksi mengamati Kala melalui kaca spion tengah dalam temaram lampu taksi dan memilih percaya. Sebab itu, ia tidak bertanya lagi. Rupanya perjalanan itu tidak mengunyah waktu lama, karena setelah kurang lebih 15 menit berkendara, lampu sein sebelah kanan mobil navy dokter muka dingin tiba-tiba berkedip-kedip dan mobil meSopir taksi yang sama sekali tidak menyangka penumpangnya akan memekik sedemikian rupa sontak terperanjat. Ia cepat-cepat menoleh untuk melihat penyebabnya, siapa tahu wanita yang menaiki taksinya tiba-tiba merasa sakit atau apa, namun yang dilihatnya bukanlah wajah kesakitan, melainkan ketakutan.“Cepat Pak, mobil itu ada di belakang kita sekarang!”Melihat melampaui ekspresi takut si penumpang, keberadaan mobil yang menjadi alasan wanita itu menjerit masuk dalam pandangan si sopir. Memikirkan keselamatan si penumpang, juga agar ia cepat-cepat minggat, si sopir menaikkan kecepatan taksinya, menyongsong gerbang yang menjulang di hadapannya.Tapi, sangat menyadari bahwa jika istrinya sampai di rumah ayah mertuanya keadaan bakal menjadi semakin sulit baginya, dengan memanfaatkan kondisi jalan yang lengang, Profesor Gani memacu mobilnya dan lewat di samping taksi dengan kecepatan gila-gilaan dan mendadak berhenti di depan taksi. Sopir taksi yang tepat waktu mengi
“Sekarang, jaket itu di mana?”AKBP Neco bertanya usai Dion menyampaikan perkembangan misi pencarian yang dilakukan oleh timnya bersama Kila di bawah pandangan mengancam yang disorotkan tanpa henti oleh Pita yang tidak kelihatan kedinginan setelah mengarungi lautan, tepat di sampingnya.“Ada di kapal, Pak.”Dion menjawab agak gugup, ngeri diawasi sedemikian rupa oleh Pita.“Tapi, itu betul-betul jaket Ibad, kan? Bukan jaket orang lain yang hanyut terus diaku-aku oleh Kila sebagai jaket Ibad?”Sakil yang diam saja selama Dion berucap melirik atasannya. Sepertinya, dalam keadaan bagaimanapun, rasa tidak suka AKBP Neco pada Kila tidak akan pernah luntur. Ia bahkan masih sempat meragukan pendapat Kila sekaligus mengumpatnya walaupun situasi sudah segawat ini. Sakil sampai mengira bahwa AKBP Neco jelas tidak akan merepotkan diri mengirim tim pencarian jika Kila yang hilang di laut.“Saya rasa itu betul-betul jaket Ibad, Komandan. Kila kelihatan yakin sekal
Kala masih mengitari ruangan dalam rangka mencari tempat persembunyian yang pas untuknya. Ia sempat mempertimbangkan untuk bersembunyi di bawah meja makan, tapi taplak berenda yang menghiasi meja makan itu tidak akan sanggup menyembunyikan tubuh setinggi 180 cm miliknya karena hanya menggantung beberapa sentimeter dari tepi meja. Ia benar-benar bingung. Apa lebih baik ia keluar dan menunggu pertemuan organisasi itu selesai di luar saja?Belum sempat Kala memutuskan sesuatu, tiba-tiba pintu ruang makan privat mewah yang ditempatinya bersama Tita terbuka, memperlihatkan pria berusia kira-kira 60 tahunan dengan rambut yang mulai menipis sehingga kebotakannya mulai terpancar, kacamata segiempat bergagang warna emas yang Kala tidak tahu betul-betul terbuat dari emas murni atau warnanya saja yang menyerupai emas, memakai kemeja polo berwarna putih, celana bahan warna hitam, dan sepatu sneaker. Secara keseluruhan, penampilan orang yang baru memunculkan dirinya itu terkesan seperti m
"Tolong jangan pergi!"Citra melontarkan permohonannya dengan suara lemah. Lagipula, baik suara keras ataupun suara lemah juga tidak ada bedanya karena sopir taksi dan sekuriti berbaju hitam sepertinya sudah memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam perseteruannya dengan Profesor Gani.Sekuriti berbaju hitam telah meninggalkan arena, kembali ke posnya yang tenang. Mungkin merasa sangat lega karena tidak harus terlibat. Sedangkan si sopir taksi juga sudah duduk kembali di depan kemudi taksinya, siap minggat dari situ. Tapi, setelah beberapa menit berlalu, taksi itu belum juga melaju, malah kepala sopir taksi mewujudkan diri dari jendela pengemudi, disusul oleh keseluruhan tubuhnya saat ia turun dari taksi dan menghampiri Citra dan Profesor Gani dengan wajah yang tak bisa dideteksi.Melihat gelagat sopir taksi, harapan membungkus tubuh Citra lagi. Ia berpikir sopir taksi sudah mengubah pilihannya untuk mengabaikan hal mengerikan yang terjadi padanya dan mau men
Karena tak sanggup langsung mencerna ucapan Kila, Pita hanya melongo seperti orang bego. Mulutnya membentuk lingkaran dan matanya tak fokus. Ia tidak bisa menebak bagaimana keadaan Ibad sekarang hanya dari suara Kila sebab tak ada yang bisa diidentifikasi dari nada datar yang didengarnya. Pita juga tidak berani bertanya, ia sudah takut duluan dengan jawaban yang akan diterimanya, khawatir dengan kemungkinan terjelek yang kadang berenang-renang di otaknya sejak tahu bahwa Ibad hilang di laut."Pita? Pit? Kenapa bengong? Cepat beritahu Dion!"Pita cepat-cepat mengerjapkan matanya, menghimpun kembali pikirannya yang sempat berceceran. Ia kemudian mengangguk pada Kila, berbalik, dan berlari memasuki ruangan kapal. Tapi, Pita berhenti setelah beberapa langkah, menoleh dan memberikan Kila tatapan bimbang, menggeleng sendiri tidak jelas apa maksudnya, dan melanjutkan larinya mencari Dion.Berpikir dan berharap Dion ada di ruang kemudi, Pita berhenti di depan tangga besi yang akan membawanya
"Tita, gue pergi dulu ya. Mesti balik ke rumah sakit nih."Kala berbisik pada Tita yang sedang sibuk memeragakan adegan wawancara dengan Efran sesudah makan malam yang tak diinginkannya selesai. Selain karena cepat-cepat ingin tahu informasi yang telah diserap oleh ponselnya, Kala juga khawatir telah minggat terlalu lama. Bisa saja saat ini ibunya terbangun dan menyadari Kala menghilang dari brankarnya kemudian membuat kegemparan. Ia bahkan yakin ibunya tidak akan malu-malu berlari ke kantor polisi dan melaporkan kalau putranya telah diculik dalam guyuran air mata."Oke, hati-hati di jalan ya. Sori gue nggak bisa nganterin lo. Wawancaranya belum selesai soalnya."Tita balas berbisik ketika Efran menjawab pertanyaan perihal inovasi yang bakal diluncurkannya jika berhasil memenangi pemilihan walikota Ryha dengan antusias."Nggak apa-apa. Gue bisa sendiri. Thanks ya bantuannya. Gue terima kasih banget nih."Meskipun matanya masih terpancang ke wajah Efran, Tita
Citra tidak langsung menjawab pertanyaan mendesak yang ditembakkan ayahnya. Matanya menatap resah ke wajah suaminya. Walaupun ia sudah mengalami penganiayaan begitu rupa, rupanya masih tersisa secuil rasa iba terhadap nasib yang mungkin menimpa Profesor Gani jika ia mengatakan yang sebenarnya. Bagaimanapun juga, pria yang sudah menjelma menjadi sosok yang sangat menyeramkan di depannya itu adalah orang yang Citra pilih dari sekian milyar manusia untuk ia nikahi, makhluk yang telah menghadiahkan Neta kepadanya."Kenapa tidak menjawab, Nak? Jangan takut! Bilang saja pada Ayah apa yang sudah dilakukan orang brengsek itu sampai penampilanmu kacau begini? Apa dia memukulmu? Menyiksamu?"Meskipun sebisa mungkin berusaha kelihatan tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, Profesor Gani nyatanya tegang juga. Ia tahu betul hal mengerikan seperti apa yang sanggup dilakukan ayah mertuanya yang murka kepadanya. Itulah alasannya selama ini ia berupaya untuk tidak melukai istrinya, wanita memukau itu.
"Ibad sudah ditemukan, Ketua? Beneran? Syukurlah. Bagaimana kondisinya?"Sakil agak menjauhkan ponsel Dion yang kali ini dipinjamnya untuk menyelamatkan telinganya dari teriakan histeris Yudi yang mengalir melalui sinyal telpon. Kalau didengar, mungkin Yudi mengatakannya sambil melonjak-lonjak di seberang telpon. Sakil belum pernah mendengar suara anggota timnya itu seantusias ini, bahkan ia sudah menganggap Yudi dikutuk untuk hidup dalam kekakuan sikap dan tidak bisa mengekspresikan perasaannya."Dia masih hidup. Tolong sampaikan kabar ini ke Pak Neco. Saya tutup telponnya dulu. Saya mau telpon ambulans. Kamu mengerti?"Tapi, yang menyambut kalimat Sakil adalah kesenyapan. Situasi itu berlangsung cukup lama sampai Sakil berpikir bahwa telponnya terputus. Namun, ketika ia memelototi layar ponselnya yang diterangkan, jidatnya mengernyit karena ternyata telponnya masih tersambung. Lalu, kenapa Yudi tidak merespons?"Halo, Yudi? Kenapa tidak menjawab? Kamu dengar s
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal