Kila mondar-mandir sambil bersedekap di depan ekspresi ingin tahu Kala yang duduk di bangku besi yang bertebaran di halaman rumah sakit, mungkin diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin menyeruput udara segar yang disajikan oleh pepohonan di situ. Pita juga duduk di bangku yang sama, raut wajahnya mempertontonkan kekagetan dan ketertarikan yang teramat sangat karena Kala baru saja menceritakan semua yang dialaminya hari itu."Wah, organisasi tempat orang yang bisa mendeteksi kebohongan berkumpul? Keren banget. Selama ini gue kira cuma Kala yang punya kemampuan begitu, ternyata ada banyak. Daebak!"Melirik Pita sebentar yang masih menunjukkan kegirangannya, Kila berpikir lagi. Organisasi manusia pendeteksi kebohongan? Pantas saja dokter muka dingin itu tahu kalau Kila berbohong dan kelihatan sangat tertarik dengan alasan Kala pingsan."Oh ya, gue tadi sempat ngerekam suara pertemuan mereka. Cuma bisa rekam suara doang sebab agak susah buat ngambil video."Kala me
"Apa? Betulkah yang kamu bilang itu? Gendi meninggal?"Mata Fikri membeliak, mungkin bisa saja sampai meluncur ke lantai kalau tidak ditopang oleh rongga tempatnya bernaung. Di sampingnya, Citra yang baru saja menyampaikan alasan bohong tentang ketidakhadiran Neta membekap mulutnya sendiri dengan ekspresi ngeri. Pikirannya berlarian untuk menghubungkan suaminya dengan semua ini.Salah satu pengawal yang tadi menjadi sasaran pembantaian anak buah Bento, dengan luka memar dan berdarah di wajah dan tangannya, bahkan matanya bengkak mengenaskan, mengangguk lemah membenarkan."Bagaimana dia bisa meninggal? Siapa yang melakukannya?"Si pengawal mendongakkan wajahnya yang sedari tadi menunduk, mempertontonkan cidera yang menderanya."Kami juga tidak tahu, Pak. Kami bertiga pingsan dipukuli oleh preman-preman yang tiba-tiba datang membawa Profesor Gani. Begitu kami sadar, kami menemukan Gendi terbaring di jalan agak jauh dari kami."Fikri berdiri dari kursi mewa
Berkendara dalam diam, otak Profesor Gani sedang bekerja keras. Banyak hal yang terlalu jauh melenceng dari jalurnya, membuat jalan menuju kursi Rektor Universitas Ryha tidak semulus biasanya. Tak bisa dipungkiri, kekacauan ini berawal dari kebodohan Neta yang membunuh kekasihnya sendiri, sehingga ia juga ikut terseret. Keterlibatan Kala juga sama sekali tidak diinginkan karena hanya membuat persoalan ini semakin pelik.Belum lagi kelakuan istrinya, wanita memukau itu, turut menghamburkan bidak-bidak catur rencana yang telah disusun pada papan permainan yang harus Profesor Gani menangkan. Sekarang, ayah mertuanya yang menyebalkan juga akan ikut berpartisipasi karena Profesor Gani telah sengaja membunuh salah satu pengawalnya.Profesor Gani melirik ke kaca spion di sebelah kanannya, dua mobil hitam berisi anak buah Bento mengikutinya dari belakang, menjaganya sampai ke markas. Sepertinya ia mesti dikawal ke manapun ia akan pergi mulai sekarang, sebab ayah mertuanya tidak
"Keadaannya sudah baik dan tidak ada cidera yang berat. Detak jantung, pernapasan, semuanya stabil. Jadi, dia boleh pulang hari ini."Dokter muka dingin berbicara kepada ibunya Kala seolah tidak mendengar apapun, terutama gosip soal dirinya semalam. Entah ia hanya bersikap profesional atau benar-benar sudah melupakan bahwa ibunya Kala sempat mengira ia yang menculik anaknya."Syukurlah. Terima kasih, Dok."Justru yang tidak dapat mengabaikan kejadian semalam adalah ibunya Kala. Ia masih agak gugup membalas ucapan dokter muka dingin dan lebih banyak menunduk, sebisa mungkin tidak bertatap muka langsung dengan si dokter."Dokter, saya ingin mengatakan sesuatu, bisa kita ke tempat yang lebih tenang?"Dokter muka dingin tidak sigap menjawab, ia lebih dulu memelototi muka Kila, mencari alasan yang mungkin terpahat di wajah itu tentang ajakan ngobrolnya."Kalau begitu, saya tinggal dulu, ya. Kala, jaga kesehatan. Tidak usah kembali ke sini lagi."Kala meng
Pemakaman sudah agak lama selesai. Banyak orang yang telah pulang. Kini yang tinggal hanya Fikri, Citra, sekelompok pengawal rekan almarhum, dan orang tua almarhum yang meraung-raung sedih, masih tidak percaya putra mereka telah pergi secepat dan semengenaskan itu."Gendi, Gendi, kenapa kamu tinggalkan Ibu, Nak?"Ibu Gendi, berpenampilan seperti manusia yang minggat dari rumah tanpa persiapan, menjerit sambil mencakar-cakar tanah kuburan, seolah berniat mengeluarkan anaknya dari lubang yang membungkusnya."Sudahlah, Bu, relakan Gendi. Dia tidak akan tenang melihat Ibu begini."Ayah Gendi, terlihat lebih manusiawi daripada istrinya, sibuk mengusap-usap dan mendekap bahu wanita yang histeris kehilangan anak itu.Fikri menghampiri keluarga yang berduka itu, setengah merasa bersalah karena atas perintahnyalah Gendi mengikuti Profesor Gani dan bertemu malaikat maut."Pak, Bu, saya minta maaf sekali lagi atas apa yang menimpa Gendi. Saya tahu Gendi-lah yang me
"Kenapa kita tidak langsung ke rumah saja, Yah? Kenapa harus sembunyi di sini seperti orang yang mengintai? Masa kita harus mengintai dulu buat masuk ke rumah sendiri?"Neta bertanya dengan resah, bingung dengan kelakuan ayahnya. Mereka sedang memarkirkan mobil yang dipinjam dari anak buah Bento di naungan pohon di lorong samping rumah mereka, persis tempat Citra bersemayam semalam."Tentu saja kita harus sembunyi, Neta. Ibumu sudah melapor pada kakekmu soal perbuatanmu dan kakekmu sekarang sedang mencarimu untuk dihukum. Ayah tidak mau kamu disakiti sama mereka."Merasa sangat terharu dengan perhatian ayahnya yang baru kali ini dirasakannya, Neta akhirnya diam. Setelah mendengar cerita ayahnya tentang sikap ibunya yang berubah setelah tahu apa yang dilakukannya, secara otomatis Neta menganggap ia hanya akan aman jika bersama ayahnya. Sebab itu, ia menjelma menjadi anak baik dalam semalam dan memamah semua yang dikatakan ayahnya, bohong ataupun tidak."Terima ka
Monitor yang berbunyi monoton membosankan, yang mempertontonkan garis berlekuk berlarian bersama angka yang kadang berubah adalah hal pertama yang menyambut kedatangan mereka. Sama sekali bukan panorama yang indah, terutama bagi Kala, yang merasa dikhianati karena tidak pernah mendengar apapun dari Kila.Ia sebelumnya mengira, lebih pantas dikatakan berharap, kalau Ibad bakal baik-baik saja setelah berhadapan dengan laut. Memang mungkin akan butuh perawatan, tapi bukan dari alat-alat yang teronggok mengerikan itu."Ibad, koma? Kila, benarkah ini? Ibad koma?"Yang justru histeris adalah ibu dua bersaudara itu. Matanya membeliak dan mulutnya yang membulat tersembunyi di balik telapak tangan sambil bergantian menatap Ibad di depannya dan Kila di sampingnya.Kila mengangguk lemah, terlalu tidak berdaya untuk sekadar mengeluarkan bunyi dari tenggorokannya."Kenapa Kakak nggak bilang sama gue?"Tidak langsung menjawab, rupanya Kila berjuang dulu mempertahankan
"Pria brengsek itu datang ke rumahnya? Oke, tahan dia. Saya akan putar balik."Fikri cepat-cepat memutus panggilan, ditatap dengan risau oleh Citra yang masih belum yakin mesti berpihak ke siapa."Putar balik mobilnya, cepat! Kita kembali ke rumah tadi."Begitu mendengar titah tuannya, si sopir menurut. Ia memutar mobilnya di jalan ber-paving block, memproduksi debu, dan melesat kembali ke rumah dua lantai yang baru ditinggalkan beberapa menit yang lalu."Gani ke rumah, Ayah?"Citra bertanya dengan suara pelan, meskipun sudah tahu jawabannya."Iya, dia baru mau masuk ke rumah waktu pengawal Ayah memergokinya. Sekarang kesempatan kita untuk menangkapnya."Diam saja, Citra tidak menampik ataupun menyetujui maksud ayahnya. Ia kembali dihantam kebingungan untuk memilih antara ayahnya atau suaminya.Walaupun hampir pasti ia akan dianggap sangat bodoh karena masih mempertimbangkan untuk membela pria yang sudah menyakitinya, tapi Citra tidak bisa berpur
Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu
Senyum mengerikan terpahat di wajah awet muda Fikri. Tatapannya pada Kala tak lagi seperti ingin mengusir. Sebaliknya, ia memberi Kala pandangan tertarik.Kala yang masih belum pulih sepenuhnya dari sakit kepala bertubi-tubi yang diperolehnya akibat menyentuh Fikri, sehingga kebanyakan menunduk, tidak menyadari perubahan ekspresi orang tua itu. Karena itu, ia sangat kaget saat tanah di depan matanya mempertontonkan sepasang sepatu pantofel berwarna hitam mengilat dari kulit asli.Saat mengangkat penglihatannya, Kala sampai tersentak ke belakang ketika menemukan muka Fikri yang hanya dihiasi sedikit kerut terpampang persis di depan hidungnya."Kemampuanmu sangat menarik sekaligus merepotkan, Anak Muda. Bagaimana rasanya bisa mendeteksi kebohongan? Menyenangkan? Tapi, sepertinya tidak terlalu membahagiakan kalau melihat bagaimana kamu kesakitan tiap menyentuh orang yang berbohong. Bagaimana kalau saya membantumu lepas dari kesakitan itu?"Tidak mengerti dengan yang dim
"Apa? 20 tahun? Untuk kejahatan yang tidak anakku lakukan? Anda sudah sinting, Bu Jaksa?"Auman kemurkaan ibu Fatih menyambut usai Irsita menyampaikan tuntutannya. Dengan wajah aslinya yang berbedak kedengkian jaksa itu menoleh ke belakang, memberi wanita fashionable yang duduk di kursi penonton sidang barisan depan itu tatapan merendahkan."Jaga ucapan Anda, Bu. Anda tidak tahu sudah mengatai siapa? Kalau Anda tidak hati-hati, saya bisa menjadikan Anda menyusul putra Anda untuk duduk di kursi terdakwa."Ibu Fatih meradang mendengar ancaman Irsita. Ia sudah nyaris melompati pembatas kayu antara kursi penonton sidang dengan meja saksi beberapa meter di depannya, kalau tidak sigap ditahan oleh suami dan anak perempuannya."Lepaskan saya, Pak, Veli. Saya harus menghajar wanita jelmaan setan itu. Lepas!"Bunyi palu yang dipukul oleh pria berambut keabuan yang teronggok di kursi ketua majelis hakim menyadarkan ibu Fatih. Ia pun kembali duduk di kursinya dengan mata masih mendelik pada Irsi
Kala memekik saat menyaksikan iringan mobil di depan mereka berpartisipasi dalam kecelakaan beruntun. Kila pun bereaksi sama dan cepat-cepat menghentikan mobilnya. Jarak mereka dengan mobil di depannya yang memang dijaga Kila agar tidak terlalu dekat, dalam rangka pengintaian yang dilakukan, membantu mereka tidak ikut serta dalam kekacauan itu."Apa yang terjadi, Kak? Kok mereka pada kecelakaan?"Kala berteriak setelah kakinya memijak bumi begitu keluar dari mobil yang telah dibawa Kila agak menjauh dari lokasi insiden."Gue juga nggak tahu, Ka. Sebentar, gue telpon polisi dan ambulans dulu."Mengangguk sekadarnya, Kala meninggalkan kakaknya yang sedang berurusan dengan ponselnya dan berjalan mendekati mobil yang paling dekat dengan mereka.Semua pintu mobil terkuak, pertanda seluruh penghuni telah minggat. Kala melanjutkan penjelajahannya ke mobil lain di depannya dan mendapati pemandangan yang sama."Gue udah telpon polisi dan ambulans. Mereka sedang perjal