"Kurang ajar. Mobil mereka semakin dekat. Bagaimana ini, Bento?”
Profesor Gani bertanya. Nada panik dalam suaranya terdengar jelas. Berkali-kali ia melongok ke spion di sebelah kanannya dan berkali-kali pula erangan kesal melompat dari mulutnya jika dilihatnya mobil polisi yang memburunya memangkas jarak. Ia sendiri juga tidak bisa melaju dengan mulus karena jam pulang kantor menyebabkan lalu lintas tengah padat. Dalam hati ia mengutuk pemilihan waktu kejar-kejaran ini. Bukannya menjawab pertanyaan penyewanya, Bento malah semakin menajamkan tatapannya kepada spion di samping kirinya. Usai beberapa menit mengamati, ia meraup ponselnya dari saku jaket kulit hitam kusam yang digunakannya dan menggesek-gesek layar. Kemudian, ponsel itu ditempelkan ke telinga kanannya. “Halo, kalian di mana? Sudah tinggalkan lokasi?” Profesor Gani melirik Bento yang bergeming, mendengarkan balasan dari lawan bicara, sambil bertanya-tanya siapa yang ia telpon di situasi genting seperMobil Pita berhenti tepat di depan bangunan Rumah Sakit Ryha yang bertuliskan Unit Gawat Darurat dengan bunyi mendecit, membuat orang-orang yang mendengarnya menoleh dengan wajah penuh ingin tahu. Kedatangan Pita langsung disambut oleh dua orang perawat pria berseragam coklat yang buru-buru mendorong brankar ke arahnya, siap menampung pasien gawat yang diangkut Pita.Brankar kemudian ditempatkan berdekatan dengan pintu mobil tempat Kala akan dikeluarkan. Kila membuka pintu mobil dan memaksakan diri ikut memapah Kala untuk dibaringkan di brankar. Para perawat itu lalu berlari kembali ke pintu utama UGD sambil mendorong brankar, ditemani oleh Kila, dan dikawal oleh tatapan prihatin dari manusia-manusia yang dilewatinya. Memasuki ruangan besar yang dihujani cahaya lampu dan diisi oleh belasan brankar, baik yang berisi ataupun tidak, baik yang tirainya ditutup ataupun tidak, brankar Kala berhenti di sisi sebelah kanan, tidak jauh dari pintu. Salah satu perawat pria dengan s
Bangunan yang disebut markas itu sebenarnya adalah bekas gudang alat bangunan yang terbengkalai. Berapa lama telah ditelantarkan, tak ada yang tahu. Yang mereka tahu adalah gudang itu cukup mampu menampung belasan anggota mereka, bahkan bisa mengakomodasi penambahan preman baru, kalau ada yang berminat bergabung. Mereka hanya perlu menyingkirkan benda-benda yang dianggap tidak berguna dan menambahkan hal-hal yang dinilai menunjang pekerjaan mereka sehari-hari dalam menciptakan keonaran di masyarakat, seperti berbagai macam senjata tajam, tongkat, pemukul dari kayu ataupun besi, bahkan bola berduri yang entah dipungut di mana. Sebagian besar, atau bisa dikatakan hampir seluruhnya dari alat-alat mengerikan itu, disponsori oleh Profesor Gani, yang telah menyewa jasa mereka selama kurang lebih empat tahun. Jika melihat situasi belakangan ini, jalinan kerja sama ini sepertinya akan berlangsung lebih lama lagi.Markas itu terletak jauh dari pemukiman penduduk, di tengah tanah
“Halo….”Sakil bergeming ketika Kila menerima telponnya, merasa dirinya belum siap menyampaikan info jelek ini kepada Kila. Tapi, mau bagaimana lagi, posisinya sebagai ketua tim membuat pekerjaan sulit, termasuk mengabarkan berita tidak menyenangkan kepada keluarga korban kejahatan, menjadi tanggungjawabnya. Sakil menguatkan mental sambil menyusun-nyusun kata yang kira-kira tidak akan membuat Kila terlalu murka kepadanya.Namun, hal itu juga tidak gampang. Kalau ia yang berada di tempat Kila, selaku ketua tim yang salah satu anggotannya bernasib tidak jelas, entah hidup atau mati, ia juga akan bertindak beringas. Sakil bakal geram, mungkin sambil mengumpat-ngumpat, bahkan sangat mungkin menuding orang yang meneleponnya sebagai oknum tidak becus.“Halo. Saya bicara dengan siapa?”Suara Kila dari telpon kedengaran lagi. Nadanya sekarang seperti mendesak. Sakil gamang, menimbang-nimbang apakah memberitahu Kila sekarang atau nanti saja setelah kondisi Ibad telah di
Ada yang mengusap-usap dahi dan pipinya dengan kasih sayang yang meluber-luber. Rasa sakit di kepalanya sudah lenyap, sekarang ia merasa sehat. Meskipun sentuhan dan perasaan itu terasa nyata, ia masih belum berani membuka mata, karena semua yang dirasakannya tidak sinkron dengan yang ia tahu sedang dialaminya. Mana mungkin ia merasa nyaman ketika tengah disandera?“Kala, sadarlah, Nak!”Suara itu membuatnya bingung. Setahunya, ibunya tidak berada di halaman rumah makan. Yang ada hanya kakaknya, polisi, Profesor Gani dan para preman, Neta dan ibunya, serta Tita. Apa mungkin Kila meminta ibunya untuk datang menyelamatkannya yang disandera? Tidak mungkin, Kila tidak cukup bodoh untuk melibatkan ibunya dengan penjahat.“Bangunlah, Nak!”Ibunya membujuk lagi. Ini benar-benar membingungkan. Sepertinya ia harus membuka mata dan melihat sendiri apa yang dilakukan ibunya di tengah-tengah penyanderaan. Ia mencoba membuka matanya yang anehnya terasa berat, tangan kananny
“Terima kasih sudah ngantar saya pulang, Nak Pita, Nak Tita!”Pita dan Tita mengangguk dari kursi masing-masing sambil melihat kaca spion di tengah. Istri Profesor Gani, wanita memukau itu, membuka pintu sisi sebelah kanan belakang mobil dan keluar melewatinya lalu berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Ia sudah menolak diantar pulang oleh Pita, selain karena tidak ingin merepotkan, ia juga agak sungkan menerima bantuan dari kakak wanita yang telah disekap suaminya. Tapi, dua bersaudara itu sama-sama memaksa dan ia pun luluh.“Kalau Profesor Gani mengurung Tante lagi, jangan ragu hubungi saya, ya! Saya akan membantu Tante!”Tita berucap dengan mantap. Istri Profesor Gani hanya tersenyum menanggapinya.“Oh ya, Tante, saya minta maaf sebelumnya, tapi saya mau memberitakan kejadian hari ini di media saya. Saya harap Tante tidak keberatan.”Pemberitahuan itu disampaikan Tita dengan suara pelan, waswas jika istri Profesor Gani tersinggung karena kelancangannya
“Tunggu!” Seruan yang disesaki nada perintah itu membuat semua yang ada di situ menoleh ke arah datangnya suara. Sakil sempat tidak memercayai pendengarannya, tahu bahwa si pemilik suara tidak mungkin ada di sini. Tapi ternyata, matanya membuktikan bahwa telinganya tidak patut diragukan karena di sana, kira-kira sepuluh meter dari mereka, berdiri AKBP Neco dengan perban dan plester yang masih menghiasi beberapa bagian kulitnya, memberi mereka pandangan heran. “Komandan?” Wira berucap tanpa repot-repot menutupi keterkejutannya. Jelas saja ia heran, seingatnya atasannya sedang menikmati tidurnya yang damai di kamar perawatan Klinik Kepolisian Ryha ketika ia meninggalkan kantor. Kenapa sekarang malah terpampang di depannya? “Kalian mau ngapain dengan peralatan selam lengkap begitu? Mengabaikan tugas evakuasi tanpa minta izin pada atasan kalian?” Dion berpaling ke Sakil dengan wajah bingung. Ia langsung saja menerjunkan timnya untuk mencari Ibad karena yak
“Gimana Anda bisa tahu tentang pendeteksian, Dok?”Kala bertanya dengan nada keheranan yang terdengar jelas. Rasanya tidak mungkin Kila menceritakan kondisinya pada dokter yang baru pertama kali ditemuinya. Orang tuanya juga sama mustahilnya. Lalu, dari mana dokter di depannya ini mengetahui kemampuannya? Kala tiba-tiba membelalak. Mungkinkah?“Jangan-jangan Anda juga bisa mendeteksi kebohongan, Dok?”Dokter muka dingin itu memang tidak menampakkan ekspresi apapun seperti biasanya, tapi Kala yakin dugaannya benar. Ia tidak pernah berpikir bahwa ada orang lain yang juga memiliki kemampuan yang sama dengannya, lebih-lebih membayangkan akan bertemu. Jadi, wajar saja kalau ia sangat terperanjat. Namun, Kala masih belum tahu apakah pertemuan ini akan menjadi pertanda baik atau sebaliknya.“Kalau dilihat dari keadaanmu yang lemah begini, sepertinya kemampuanmu itu belum pernah dilatih.”Kala tidak malu-malu menganga keheranan sebagai tanggapan ucapan dokter muka
Ponselnya yang tergeletak lemas di kursi penumpang di sampingnya tiba-tiba berkicau. Profesor Gani yang tengah menyetir mobilnya sendiri, salah satu anak buah Bento sudah mengambilkan mobilnya yang ketinggalan di halaman rumah makan XX, menyempatkan melirik sepersekian detik di sela konsentrasinya mengemudi dan ekspresinya berubah menjadi masam begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia sudah sangat yakin orang ini bakal menelponnya. Merasa pembicaraan di telpon ini akan panjang dan sangat mungkin dirangkaikan dengan adegan marah-marah, Profesor Gani memilih menepikan mobilnya di bawah pohon yang tumbuh menjulang di trotoar terlebih dulu sebelum meraup ponselnya yang memekik-mekik itu untuk dibungkam. Ia baru saja menyentuh ikon untuk menjawab telpon, belum sempat menempelkannya di telinga, ketika suara AKBP Neco sudah menghajar pendengarannya. “Apa maksud Anda dengan memerintahkan preman suruhan Anda menyerang mobil bawahan saya dan mendorongnya ke laut