“Mom jangan keluar dari rumah dulu, tunggu beritanya mereda,” pinta Arla melalui sambungan telepon setelah salah satu berita yang beredar menyebutkan nama lengkap mamanya dan disusul berita lain yang menyebar secepat air berwarna yang diteteskan ke tisu.Ervin mengusap punggung tangan Arla selagi ia sendiri menghubungi Aris untuk menjalankan plan B, C, atau entah plan apa lagi karena media massa bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol dengan mudah. “Rilis pernyataan dari tim pengacara sekarang, Ris.”Usai sama-sama menutup sambungan telepon, keduanya saling tatap.“Maaf ya, ada aja media yang berani ngerilis nama Mom.”Arla menghela napas dalam. “Unpredictable banget ya, Vin.”“Iya, hidup di zaman sekarang, susah banget bendung berita. Nggak segampang dulu, berita cuma dari koran, majalah, TV. Justru sekarang berita yang beredar via media sosial yang bener-bener susah distop.”Sampai di titik itu, Arla hanya bisa pasrah. Nama mamanya sudah tersebar, tidak menutup kemungkinan kalau namany
“Viiin. Marah?”Sejak usai makan malam, Ervin memilih mode diamnya. Agenda mencari seserahan terpaksa mereka batalkan karena mood Ervin yang langsung drop sejak mengira Arla masih memiliki opsi untuk menolaknya.“Nggak, memang hak cewek kan untuk nerima atau nolak, meskipun aku udah jungkir balik buktiin perasaanku, meskipun aku udah ngelakuin semuanya.”Aah, Arla mengerti sekarang apa yang membuat Ervin merajuk, padahal ia tidak bermaksud seperti itu. Jadi ia memilih diam sampai Ervin bisa menurunkan emosinya dan berpikir jernih.Tapi Arla juga salah kalau memperlakukan Ervin yang sedang marah dengan mendiamkannya.Pada akhirnya hampir empat puluh menit mereka lalui dalam keheningan.“Vin.” Arla sampai harus memijat pelipisnya karena tidak biasa menghadapi laki-laki yang merajuk. Biasanya ia akan meminta putus kalau pacarnya sudah keseringan ngambek atau merajuk.“Udah malem, istirahat gih.” Ervin melepas seat belt-nya dan turun lebih dulu dari mobil.Arla ikut turun dan mengekori Er
“Yeay! Dibolehin izin.” sambut Arla ketika Risma muncul di unit apartemen mereka saat matahari masih berada atas kepala.“Ya makanya seminggu aku anteng, nurut disuruh macem-macem di kantor, biar hari ini bisa izin setengah hari.”“Udah makan belum, Ris?”“Belum.”“Siap-siap gih. Supir udah nunggu di bawah, ntar kita nyari tempat makan sambil jalan aja ya.”“Udah ready kok. Tinggal berangkat aja. Ganti baju bentar ya.” Risma menghilang di balik pintu kamarnya dan muncul beberapa menit kemudian dengan pakaian casual.“Ayo,” ajak Arla yang tidak membawa banyak barang. Toh ia hanya pulang ke rumah mamanya dan setengah barang-barangnya memang ada di rumah.“Duh, emang beda ya yang mau jadi anggota keluarga Candra, biasanya ke mana-mana bawa mobil sendiri, kadang naik ojek, sekarang mendadak dianter supir,” ledek Risma sambil mengunci pintu apartemen.“Ck! Kebebasanku terenggut gara-gara masalah belakangan.” Arla merangkul pundak Risma sambil melangkah masuk ke dalam lift. “Makasih ya masi
“Better kan?” tanya Arla sambil menoleh kepada Risma yang sedang bersila di atas kasurnya, sementara dirinya mematut diri di depan cermin.Risma mengangkat kedua ibu jari tangannya. “Kok bisa sih butik terkenal jahitannya kalah sama si Ibu yang belajar jahit otodidak?”Arla terkekeh mengingat bagaimana ia merengek kepada Ibu begitu sampai rumah untuk membereskan jahitan kebayanya yang acak-acakan itu. Belum lagi ia harus menenangkan kakak-kakaknya yang terlihat kesal akibat kebaya mereka semua kebesaran.“Apa gunanya pegawai mereka sampe ke Bandung buat ngukur badanku, La?” tanya Aeriel saat mencoba kebayanya.Abiel juga menggeleng-gelengkan kepala dan sempat merasa kalau keluarga Ervin tidak serius mempersiapkannya, sampai Arla bisa menenangkan mereka semua, kalau semuanya akan baik-baik saja. Keluarga Ervin bahkan berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka—terlihat dari harga kain yang fantastis—namun demikian wanita cemburu memang kadang di luar nalar, dan ya … Arla harus mengak
“Mas yakin nih?” Rhea merapikan kerah kemeja batik yang dikenakan suaminya. Sejak tadi anak-anaknya yang lain sudah berisik mempersiapkan keberangkatan mereka, sementara Rhea merasa masih perlu untuk bicara dengan suaminya.“Semua udah siap, Sayang. Aku mau denger keseriusan dan keberanian Ervin.”“Tapi kalo Arlanya yang nggak mau, gimana?”“Nggak apa-apa, kita omongin tanggal pernikahan kayak normalnya lamaran.”Rhea menepuk pelan dada suaminya. “Kamu ini, bener-bener deh.”“Loh kan kamu juga setuju. Kerja sama kita udah klop banget loh. Aku nyuruh Herman untuk ngurus prenup mereka, trus diem-diem ambil tanda tangan mereka di berkas yang diperlukan untuk ke KUA. Kamu ngajak Arla periksa ke dokter, sampe apa tuh, bikin kamuflase foto profil pegawai kantor. Kenapa sekarang kamu jadi kayak maju mundur begini?”“Aku takut mereka tertekan, Mas.”“Tapi kamu juga tau kalau Arla butuh perlindungan. Urusan sama keluarga istri kedua papanya belum beres kan. Kalau status mereka udah sah, Ervin
"Tapi maaf, Pak Naren. Kami menolak kalau Arla akan dinikahi secara siri." Pramono yang pertama kali memecah keriuhan yang tercipta karena tawaran menikah hari itu juga dari keluarga Ervin.Ervin—yang menunggu jawaban papanya dan Arla—kembali menegang setelah mendengar ucapan kakak ipar Arla. Jangan sampai penolakan ini karena laki-laki itu masih mengharapkannya bersanding dengan Nadia."Oh, nggak begitu, Mas. Kalau Arla mau dan keluarga setuju, akad nikah bisa dilangsungkan secara agama dan negara, semuanya sudah saya siapkan. Akan tetap ada pesta resepsi, nanti tinggal kita tentukan bersama tanggalnya."Esther menepuk pelan lengan Pramono saat merasakan kalau Pramono masih ingin membalas ucapan orang tua Ervin. “Kami menunggu saja keputusan Arla. Karena Ervin perlu bicara dengan Arla, dan saya rasa ada yang perlu didiskusikan dulu di keluarga kami, jadi kami minta waktunya untuk break sebentar.”Naren mengerti dan sudah memperkirakan kalau tawarannya akan menimbulkan kegaduhan seper
Debaran jantung Ervin terasa menggila setelah melihat satu gerakan kecil dari Arla. Gerakan yang teramat samar sampai-sampai ia tidak yakin apa yang dilihatnya benar.Kalau ia sedang mengenakan smart watch-nya dan memasang setting untuk menyalakan notifikasi saat debaran jantungnya berada dalam taraf yang membahayakan, mungkin sekarang benda itu sudah menjerit-jerit. Untung ia masih cukup waras dengan memakai jam tangan yang biasa ia kenakan ke kantor."Dites-le clairement pour que la famille d'Ervin connaisse votre réponse, Arla." (Katakan yang jelas supaya keluarga Ervin tahu jawabanmu, Arla)Ucapan mamanya itu membuat Arla mendongak. Menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya, saya bersedia menikah dengan Ervin hari ini."Ervin terperangah di saat semua keluarganya menghela napas lega dan bersorak seakan bergembira karena telah mendapatkan pawang 'buaya' di keluarga mereka.By the way, debaran jantung Ervin masih jumpalitan tidak karuan. Ia menghabiskan beberapa saat untuk m
“Kok kayaknya model kebaya yang kamu tunjukin ke Mama waktu itu nggak gini ya, La? Apa Mama salah?” tanya Rhea yang tengah menikmati es buah sambil mengamati wanita yang baru saja sah menjadi menantunya.“Iya, agak dirombak dikit, Ma.” Arla sengaja tidak memberi tahu karena ia tidak ingin melibatkan mama mertuanya ke dalam masalah mantan Ervin yang sepertinya belum bisa move on atau sekadar kesal dengan hubungannya dan ErvinRhea mengangguk saja mendapati jawaban seperti itu. Lagipula menantunya tetap terlihat cantik dengan kebaya yang dikenakannya. Melihat suaminya yang menoleh ke sana kemari, Rhea tahu kalau ia sedang dicari, karena itu ia meninggalkan Arla bersama kedua anak perempuannya.Arla menelan minumannya dengan susah payah saat menyadari dirinya tengah menjadi perhatian Aileen. “Kenapa, Kak?”Yara ikut menoleh ke arah Aileen yang seperti sedang menelisik Arla. Ia menahan tawanya, sebentar lagi pasti kakaknya itu akan mencoba mengintimidasi anggota baru di keluarga mereka.“
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal