“Al, boleh pinjem Arla bentar?” tanya Ervin yang berdiri di ambang pintu kamar keduanya setelah makan malam. Arla memang akan tidur berdua dengan Alice, berjaga kalau Alice butuh bantuan di tengah malam.Alice tersenyum sambil mengangguk. Ia sudah mendengar semua dari mamanya saat Arla mandi tadi sore. “Sebenernya nggak apa-apa sih aku tidur sendiri, tapi … mungkin kalian di kamar atas kali ya, inget ada Mom di sini, kan nggak enak—”“Apa sih, Al?” Arla hampir melemparkan bantal ke arah Alice kalau ia tidak ingat bahwa Alice sedang terluka.“Ya kan, ini Bandung. Dingin, sepi, suasana yang pas buat ‘you know what I mean’ lah.”Ervin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nanti dibalikin kok Al. Nggak lama, mau ngobrol bentar.”“Iya, iya, udah sana.”“Kamu nggak mau ke toilet dulu? Atau butuh sesuatu sebelum aku keluar?” tanya Arla sambil merapikan selimut Alice yang sebenarnya bisa dilakukan Alice sendiri.“Nggak, La. Udah ah, sana, Ervin nungguin tuh.”Setelah keluar dan menutup pintu, tang
“Arla! Mom ne t'a jamais appris à être impoli avec les personnes âgées!” (Arla! Mama nggak pernah ngajarin kamu untuk kurang ajar dengan orang yang lebih tua!)Teguran dari mamanya itu membuat Arla melepaskan tangannya dari rambut sebahu Amalia Pratiwi yang siang itu dibiarkan tergerai.Ervin sempat berusaha melepaskan tangan Arla tapi sepertinya kekesalan Arla sudah memuncak. Semakin ia mencoba, Amalia Pratiwi semakin berteriak kesakitan karena Arla tidak main-main saat menautkan tangannya di helaian rambut itu.“Pantes kalian berdua berpasangan! Sama-sama kurang ajarnya. Sama-sama brutal!”Arla menggeram marah lagi, berusaha melangkah maju untuk mengacak-ngacak dandanan wanita itu seandainya Ervin tidak menahannya dari belakang. ‘Mungkin saya mesti ngirim anda ke IGD juga, biar bener-bener sama!’ Ingin Arla meneriakkan kalimat itu andai sang mama tidak berada di sampingnya.“Mau apa ke sini?” tanya Esther dengan nada dingin. Sebenarnya ia tidak terlalu marah melihat Arla menjambak r
Rhea sempat terkesiap. Pasalnya sepanjang pengetahuan dia, Ervin bukanlah tipe laki-laki yang mengharuskan istri di rumah tanpa bekerja. Semua mantan pacarnya juga wanita karir, jadi aneh rasanya kalau tiba-tiba Ervin meminta Arla untuk tidak bekerja apalagi Arla bekerja di bisnis keluarga sendiri. Kecuali kalau tingkat kebucinan Ervin sudah tidak tertolong lagi. “Ini udah keputusan kalian?”Arla mengernyit. ‘Kalian?’ Siapa yang dimaksud atasannya itu dengan ‘kalian’?“Atau Ervin yang ngelarang kamu kerja?”Ah, Arla sekarang tahu ke mana arah pembicaraan itu. Pasti atasannya itu berpikir kalau pengunduran dirinya adalah keputusannya bersama dengan Ervin. Tapi kan mereka baru mau bertunangan, apa normal orang baru mau bertunangan sudah membicarakan masalah semacam itu?Arla menggeleng cepat sebelum atasannya itu semakin salah paham. “Bukan, Bu. Saya malah belum pernah ngomongin masalah ini sama Ervin.”“Trus kenapa?” Rhea memegang surat pengunduran diri Arla dengan bingung.“Saya …, ra
“Kok bisa sih kamu belum cerita ke orang kantor? Kita kan udah nggak backstreet lagi,” protes Ervin saat mereka sudah berdua di dalam mobil.“Ya nggak backstreet bukan berarti juga aku pamer.”“Kurang dari dua minggu lagi kita tunangan, Nda. Itu yang ada anak-anak kantor bakal lebih kaget lagi kalau tiba-tiba kamu ngasih tau kita udah tunangan.”“Aku ….” Arla menghela napas berat. “Aku bilangnya gimana?”Ervin ikut menghela napas. Bahkan sekarang ia mulai ragu, apakah Arla benar-benar bingung cara memberitahu teman-temannya, ataukah Arla sebenarnya malu akan bertunangan dengannya.“Ya bilang mau tunangan, sama aku. Atau nanti aku yang ngumumin?”Arla mendengkus kesal. “Bu Rhea aja sekalian yang ngumumin.”“Ok, aku bilang ke Mama ya.”“Ervin!”“Tadi perasaan di kantor manggil ‘Mas’, kenapa sekarang manggil nama lagi?”“Aduh. Pelan-pelan dong. Aku bingung ni kalo semuanya serba harus dikerjain sekarang. Tadi Bu Rhea juga minta dipanggil ‘Mama’. Duh, otakku lagi kayak pentium 2 hari ini.
“Pak Herman, boleh saya sama Ervin bicara sebentar di luar? Lima menit mungkin,” pinta Arla sambil mengangguk sungkan pada pengacara itu.Herman mengangguk sebelum akhirnya tidak tahan lagi untuk melepaskan tawanya ketika kedua anak muda yang meminta bantuannya untuk menyusun prenuptial agreement telah menghilang dari ruangannya. “Oh God. Anaknya Naren kenapa sebelas dua belas sama Naren.”Staf di ruangan itu—yang baru sadar dari keterpanaannya—menatap atasannya dengan bingung.“Itu, anak muda itu anak dari temen kuliah saya dulu. Saya pikir temen saya aja yang gila. Meskipun temen saya nggak bikin prenup, tapi setelah menikah, dia langsung konsultasi ke saya, buat ngalihin sebagian asetnya ke istri. Anak pertama lahir, dia pindahin lagi asetnya, anak kedua juga, anak ketiga begitu lagi. Saya rasa sekarang temen saya itu cuma jadi budak korporat, jabatan aja yang Direktur Utama, tapi semua aset udah atas nama istri dan anak-anaknya,” terang Herman sambil menggelengkan kepala.***“Vin
“Yang tadi, Mbak Anya, dia mantan kamu?” tanya Arla begitu mereka keluar dari butik dan kini sedang berdua di dalam mobil menuju ke kantor Arla.Kalau Ervin menjawab ‘tidak’ atas pertanyaannya, maka Arla akan menebak kalau Anya memiliki perasaan lebih kepada Ervin, atau mungkin sedang dalam kondisi yang kurang sehat.‘Damn!’ Ervin mencengkeram setir lebih erat dari sebelumnya. Kenapa Arla bisa menebak? Ia bahkan tidak ingat kalau Arla tidak bertanya. “Kamu tau dari mana?”“Jadi bener dia salah satu mantan kamu?”Ervin mengangguk pelan.“Pantesan, tangannya dingin banget pas tadi salaman sama aku. Terus selama ngukur badanku, dia kayak … apa ya, kayak lagi menilai aku gitu.”“Nilai ukuran badan kamu? Berani banget dia! Itu kan tugas aku nanti.”“Ervin!”Mendapati pelotototan dari Arla, Ervin menghentikan kekehannya. “Kamu mau tau apa lagi? Tanya aja.”“Nggak! Nggak mau tanya apa-apa.” Arla mengalihkan pandangannya ke kaca jendela mobil di sisi kirinya.“Udah lama,” ucap Ervin tiba-tiba
Desti mengernyit bingung. “I’m just saying,” kilahnya sambil mengedikkan bahu.Arla hampir saja lanjut mengamuk andai Desti tidak menghentikan ucapannya. Ia bukan marah karena Desti mencemooh hubungannya dengan Ervin, ia marah karena berita yang baru saja diceritakannya, karena ia yakin inisial BP yang disebutkan Desti adalah papanya, Bagaskara Prawira.“Nda.”Arla langsung menoleh ke sumber suara. Entah mengapa Ervin muncul kembali di ruangan itu.“We need to talk, Nda,” kata Ervin dengan gusar. Ia baru saja turun dan hampir masuk ke dalam mobilnya saat Aris menghubungi dan menceritakan berita tidak benar yang beredar di media sosial serta beberapa kanal berita.Tanpa membalas ucapan Ervin, Arla mengikuti Ervin menuju ruang rapat yang biasa mereka gunakan di lantai itu.“Nda.” Ervin menutup pintu ruang rapat agar tidak ada yang bisa mendengar pembicaraan mereka.“Ada berita nggak bener yang beredar?” tebak Arla.“Kamu udah tau?”Arla menarik napas dalam-dalam sembari mencoba melurusk
Arla keluar dari kamar dan tergesa menuju anak tangga. Berhenti tepat di bawah anak tangga terbawah, Arla berteriak, “Ibu … turun dulu deh, Bu. Penting nih.”Seorang wanita paruh baya muncul dari ujung tangga, menatap Arla dengan bingung. “Kenapa, Neng?”“Sini, Bu. Ayo ke kamar Mom.”Ervin akhirnya memilih menghampiri Arla karena melihat keributan itu. “Kenapa, Nda?”“Berkasnya nggak ketemu.”Menggusah napas pasrah, Ervin mengekori Arla menuju kamar milik mamanya.“Kamu rapi-rapi lemari saya nggak?” tanya Esther berusaha menekan kepanikannya.“Nggak, Nya. Terakhir saya masukin baju Nyonya yang udah disetrika minggu lalu, pas ada Nyonya di kamar kan.”Kakinya terasa lemas, Esther terduduk di pinggir ranjang. Berkas yang ia simpan di dalam lemarinya tidak hanya berisi bukti pernikahannya sekaligus akta cerainya, tetapi juga berisi berkas penting lainnya. Termasuk petikan keputusan presiden atas naturalisasi atau pewarganegaraannya—yang meskipun bisa ia cari lagi ke instansi terkait, tet
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal