"Kamu mau tinggal di mana setelah kita nikah? Di apartemen yang waktu itu ditinggalin sama Mom? Apa kita cari rumah?""Kita bahkan belum lamaran, Vin.""Aku cuma mau tau preferensimu. Nyiapin tempat tinggal kan nggak sebentar. Harus ngurus surat-suratnya, harus bangun atau renov, harus desain interiornya, harus ngisi barang-barang. Jadi mending kita pikirin dari sekarang."Arla bersandar di punggung sofa ruang tamu apartemen Ervin. Ke sanalah tujuan mereka setelah bertemu dengan Alice. Ervin masih belum ingin berpisah dengan Arla, hingga ia mengajaknya ke apartemen untuk mengobrol."Kalau tinggal di sini untuk sementara, boleh?""Yakin? Kecil loh apartemen ini.""Hm. Di sini aja sementara.""Kenapa? Nggak pindah ke yang agak lebih gede?"Arla menggeleng cepat. Jawabannya akan terdengar memalukan kalau sampai ia benar-benar mengucapkannya, jadi Arla memilih diam.Entah dari mana tiba-tiba keinginan itu muncul. Arla hanya ingin berdua di ruang yang tidak terlalu luas. Ke mana pun Ervin
“Kamu yakin, Vin?”“Kenapa nggak?” Ervin memang sudah menghentikan mobilnya di pelataran rumah tiga lantai milik Pramono—kakak ipar Arla, tapi Arla yang terlalu khawatir, masih berusaha menahan Ervin.“Tapi Mom lagi di Depok. Mending kita ketemu Mas Pram sama Abiel waktu ada Mom," bujuk Arla.“It’s ok, Sayang. Mas Pram juga nggak akan mungkin nembak aku.”“Nggak akan ada yang tau, Vin. Mas Pram bisa aja kalap. Nyingkirin kamu atau senggaknya ngelukain kamu bukan hal yang susah buat dia.”Ervin menautkan anak rambut Arla yang menutupi keningnya ke balik daun telinga. “Aku bukan bermaksud sombong, tapi kayaknya kamu harus sering inget-inget aku siapa.”Arla terhenyak di tempat. Puluhan mantan pacarnya juga bukan orang sembarangan, tapi tidak ada yang paket komplit seperti Ervin. Ia lupa itu.Meski mengabaikan latar belakang keluarga, kekayaan, serta kemampuan bela diri pun, Ervin masih memiliki banyak nilai lebih yang tidak dimiliki mantan kekasihnya dulu. Berani dan pantang menyerah. S
“Tanggung jawab seperti apa yang Mas Pram mau?” Ervin balik bertanya karena di otaknya sama sekali tidak bisa memikirkan wujud tanggung jawab dari kenakalan remajanya yang sekadar berciuman dengan adik dari laki-laki di hadapannya itu.“Sampe sejauh mana hubungan kamu sama Nadia? Kalau kalian sudah sampai melakukannya, nikahi Nadia. Kalian udah berani kayak gitu aja sebenernya saya udah harus nyeret kamu untuk nikah sama Nadia.”Semua orang di dalam ruangan itu tahu, kata ‘melakukannya’ yang dimaksud Pramono adalah intimate activities layaknya suami istri, dan ya … semua orang cukup kaget dengan ucapan Pramono itu, termasuk Abiel yang inginnya Ervin dijauhkan dari keluarga mereka.Nadia sampai kehilangan kata-kata. Ia tahu sosok Ervin sebenarnya benar-benar menggoda dari banyak hal, baik fisik, latar belakang keluarga, dan materi. Pun Ervin bukan orang jahat, sepanjang pengetahuannya. Tapi menikah dengan laki-laki yang sudah menyematkan nama perempuan lain di hatinya tentu tidak ada d
Arla tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Buktinya, kini ia tengah berada di apartemen Ervin, sibuk menggosok bibir Ervin dengan lips scrub yang baru saja mereka beli di mall.‘Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui,’ pikir Arla. Selain ia bisa melepaskan sedikit kekesalannya, siapa tahu bibir Ervin bisa benar-benar menjadi lembut,plumpy, dan merona seperti apa yang diiklankan salah satu produk perawatan bibir itu. Meskipun tanpa lips scrub pun bibir itu sudah kissable.“Kesel?” tanya Ervin yang sejak tadi pasrah, membiarkan Arla melakukan apa pun demi menuntaskan emosinya, yang penting Arla tidak membatalkan rencana pertunangan dan pernikahan mereka.“Nggak. I’m so happy, ngelihat foto kamu kissing sama Nadia. Mesra ya!” sindir Arla dengan sarkas. “Tapi sayang menurutku norak tau nggak, pake difoto segala.”“Bukan aku yang moto, Nda. Ngapain aku ambil foto begitu, freak banget. Nggak mesra-mesra amat juga kok. Lebih mesra kita.” Ervin sejujurnya merasa sulit bicara dengan
“Mau ke mana sih, Vin?”“Aku juga nggak tau, Nda. Mom cuma minta aku nganterin kamu ke titik lokasi yang udah di-share sama Mom.”“Mom ada di sana juga?”“Nggak tau juga. Tadi suara Mom kurang jelas.” Ervin tidak perlu menceritakan kalau suara Mom seperti orang yang sedang menahan tangis atau baru saja menangis.“Mom tau dong kalo aku lagi sama kamu? Mom nanya kenapa aku nggak ngangkat telepon?”Ervin mengangguk sambil tetap mempertahankan fokusnya pada jalanan yang tidak terlalu padat. Justru karena jalanan sedang lengang, Ervin tidak bisa menurunkan fokusnya, di mana-mana semua orang sedang menggeber kendaraannya, berharap bisa sampai lebih cepat ke tempat tujuan. “Ya aku bilang kamu lagi tidur.”“Hah? Kamu bilang aku tidur?”“Iyalah. Emang nyatanya kamu lagi tidur. Masa aku bilang ke kamar mandi.”“Ervin, gimana kalo Mom mikir yang macem-macem?”“Eh?” Tadi Ervin sama sekali tidak berpikir ke arah sana. Ia benar-benar menjawab kalau Arla sedang tidur karena kelelahan ya memang karen
“Ayo pergi, Vin.”“Arla, s'il te plaît! C'est ton père. Il veut juste voir sa famille pour la dernière fois.” (Arla, please! Dia papa kamu. Dia cuma mau ketemu sama keluarganya untuk yang terakhir kali)Suara yang keluar dari mulut Esther itu benar-benar seperti orang sedang memohon. Kekuatan wanita itu terasa seperti dicabut sampai ke akar-akarnya. Bahkan meskipun ia harus memohon kepada anaknya untuk berkumpul demi memenuhi keinginan lelaki yang sampai detik itu namanya masih tersemat di dalam hati, Esther rela melakukannya.Arla berbalik. Posisi mereka sudah berada di luar kamar. Arla sama sekali tidak berminat untuk melihat ke dalam kamar di mana laki-laki yang dicintai mamanya tengah terbaring dengan bantuan alat pernapasan. Ia juga tidak peduli laki-laki itu tadi sempat melihatnya atau tidak.Namun keraguan tiba-tiba saja membayang saat melihat wajah mamanya. “Mom—”“Arla, reste là, tu n'as rien à faire.” (Arla, just stay there, kamu nggak perlu berbuat apa-apa)“Ervin boleh iku
Pernah merasakan sendiri betapa beringasnya wanita itu, Arla dengan cepat melangkah untuk melindungi mamanya. Namun ternyata langkah Ervin jauh lebih cepat hingga bisa membentengi keluarga Arla dari amukan seorang Amalia Pratiwi.“Tante maju satu langkah lagi, saya pastikan anak Tante akan kehilangan jabatannya di perusahaan dan nggak akan ada perusahaan yang mau nerima dia,” ancam Ervin.Amalia berdiri menatap anak muda di hadapannya yang berani-beraninya menghadang langkahnya. “Kamu siapa? Berani-beraninya—”“Ma.” Alan ikut merangsek masuk ke dalam kamar dan mencekal siku mamanya agar mamanya itu mundur. Mamanya mungkin juga akan mengerut kalau tahu siapa yang sedang mereka hadapi. “Udah, Ma. Mungkin Papa memang pengen ketemu sama semua keluarganya.”“Tapi mereka semua kurang ajar. Pasti mereka sama pengacara papamu kerja sama buat nyingkirin kita ke rumah kakek kamu, supaya mereka semua bisa diem-diem nemuin papa kamu.” Rentetan kalimat sepanjang itu diteriakkan Amalia dengan nada
“Mandi dulu biar segeran,” Ervin mengangsurkan sebuah handuk bersih untuk digunakan Arla.Tadi mereka sempat mampir ke apartemen Arla untuk mengambil kebutuhannya. Risma memang sedang ada penugasan seminar di luar kota, karena itu apartemen itu dalam kondisi kosong. Ervin paham kenapa Arla tidak mau sendirian di apartemennya.Arla meraih handuk yang diangsurkan Ervin, karena benda itu yang terlupa ia bawa dari apartemennya. “Nggak apa-apa kalo malem ini aku di sini?”Ervin menghela napas dalam-dalam. “Ada syaratnya. Yang pertama, kita nggak sekamar. Yang kedua, jangan bilang siapa-siapa terutama orang tuaku, bisa digorok aku. Ok?”Terkekeh pelan, Arla tidak memberikan jawaban pasti untuk Ervin, ia malah melenggang begitu saja menuju kamar mandi. "Yakin ya nggak sekamar?" ledek Arla sebelum menutup pintu kamar mandi.Ervin menyugar rambutnya, "God, that girl!"Arla keluar dari kamar mandi sekitar tiga puluh menit kemudian, merasa kikuk karena sekarang ia tengah mengenakan piyama tidur
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal