“Mandi dulu biar segeran,” Ervin mengangsurkan sebuah handuk bersih untuk digunakan Arla.Tadi mereka sempat mampir ke apartemen Arla untuk mengambil kebutuhannya. Risma memang sedang ada penugasan seminar di luar kota, karena itu apartemen itu dalam kondisi kosong. Ervin paham kenapa Arla tidak mau sendirian di apartemennya.Arla meraih handuk yang diangsurkan Ervin, karena benda itu yang terlupa ia bawa dari apartemennya. “Nggak apa-apa kalo malem ini aku di sini?”Ervin menghela napas dalam-dalam. “Ada syaratnya. Yang pertama, kita nggak sekamar. Yang kedua, jangan bilang siapa-siapa terutama orang tuaku, bisa digorok aku. Ok?”Terkekeh pelan, Arla tidak memberikan jawaban pasti untuk Ervin, ia malah melenggang begitu saja menuju kamar mandi. "Yakin ya nggak sekamar?" ledek Arla sebelum menutup pintu kamar mandi.Ervin menyugar rambutnya, "God, that girl!"Arla keluar dari kamar mandi sekitar tiga puluh menit kemudian, merasa kikuk karena sekarang ia tengah mengenakan piyama tidur
Arla mengerjap pelan, kamar yang ditempatinya masih dalam keadaan pekat. Tirai di dalam kamar itu pun masih tertutup sempurna dan belum membiaskan cahaya dari luar. Mungkin memang masih tengah malam, pikir Arla saat itu.Merasakan dirinya memeluk sesuatu yang lembut dan empuk, Arla langsung terbangun dan meraih ponselnya yang ada di dekat bantal. Dari cahaya ponselnya, ia bisa melihat apa yang ada di atas kasur dan baru saja ia lepaskan dari pelukan.Guling.Serius hanya ada bantal, guling, dan selimut di atas kasur. Tidak ada Ervin di sana, padahal Arla masih ingat dengan jelas kalau Ervin memeluknya sebelum tidur.Melangkah lesu keluar kamar, Arla menemukan Ervin yang tidur di atas sofa ruang tamu.Arla menggeleng-gelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kenapa Ervin harus pindah tempat kalau mereka toh tidak melakukan apa-apa di kamar. Baru kali ini ia menemukan laki-laki yang tidak mengambil kesempatan walau kesempatan itu terbuka lebar.Memilih duduk di atas ka
Ervin menghentikan mobilnya di depan Locale Coffee—sebuah coffee shop di kawasan Jakarta Timur. Rupanya di sanalah Arla dan teman-temannya sering berkumpul selama ini.“Kamu kerja di coffee shop, pacarmu anak yang punya coffee shop, malah mampirnya ke coffee shop orang,” ujar Ervin yang menunjukkan wajah seriusnya meskipun sebenarnya hanya bercanda.Arla terkekeh menanggapi ucapan Ervin. “Kadang kita juga harus coba-coba coffee shop lain, Vin. Biar bisa bandingin langsung, sambil cari tau kita kurang apa, gitu.”Ervin mencibir, tapi begitu Arla keluar dari mobilnya, Ervin langsung gelagapan menyusul. Gadis itu terlalu sulit dikejar, baik secara harfiah maupun alegoris.Tanpa ragu Arla langsung menaiki anak tangga begitu masuk ke dalam coffee shop itu, terlihat sudah tau ke mana arah tujuannya."Udah sering ke sini?" tanya Ervin yang mengekor di belakang Arla."Udah lebih dari tiga tahun kayaknya kita sering ngumpul di sini.""Kenapa nggak di Amigos?""Ya ampun, Ervin. Aku dari pagi s
“Ada yang perlu gue omongin ke lo, Vin.”“Tentang apa? Perasaan lo ke Arla?”Tidak menyangka ditembak seperti itu oleh Ervin, Angga hanya menaikkan satu sudut bibirnya. “ Lo tau?”Sejak pertama kali Ervin bertemu sahabat Arla, Ervin memang sudah memasang kewaspadaan. Semuanya berjenis kelamin laki-laki. Konon katanya tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan. Pasti ada salah satunya yang memendam rasa.Setelah beberapa kali bertemu, Ervin mulai yakin, Angga telah terjerat dengan ungkapan yang sering diucapkan orang-orang itu.Ervin hanya ‘cek ombak’ ketika melemparkan pertanyaan itu untuk Angga, setelah melihat sendiri bagaimana cara Angga menatap Arla sejak tadi. Siapa sangka, gayung bersambut, kata berjawab. “But sorry, Bro. Dia udah sama gue.”“Kalian belum dihadepin di depan penghulu, jangan terlalu sombong. Gue tau lo player, bentar lagi juga lo bosen sama Arla. Dan kita semua tau, Arla juga nggak pernah mau diajak serius. Pernikahan masih terlalu menakutka
“Halo … Vin.” Suara Arla terdengar bergetar saat bicara melalui sambungan telepon di tengah malam itu.Karena Risma sudah kembali dari luar kota, tidak ada alasan lagi untuk Arla menginap di unit apartemen Ervin, meskipun tentu saja Ervin tidak menolak seandainya Arla mau, untungnya—atau sayangnya—harga diri Arla masih terlalu tinggi untuk menginap lagi di unit Ervin.“Hmm?” Ervin masih setengah mengantuk ketika mengangkat sambungan telepon dari Arla. Ia telah memasang nada dering khusus untuk Arla dan keluarganya, hingga ia bisa memaksakan diri untuk sadar, jam berapa pun orang-orang tersayangnya membutuhkan bantuan.“Vin, Alice … Aeriel—”Ervin langsung bangkit dari posisi tidurnya saat menyadari keanehan dari nada suara Arla. Apalagi menelepon tengah malam dan yang pertama kali disebut adalah dua saudaranya, tentu saja otak Ervin langsung berpikir ke mana-mana.“Alice sama Aeriel kenapa?”“Aku—”“Tarik napas dulu, Sayang. Pelan-pelan ceritain ada apa?”Menuruti ucapan Ervin, Arla m
“Qui est-elle?” (Itu siapa?)Alice tiba-tiba saja merasa kikuk setelah Arla datang ke ruang rawatnya bertemankan seorang wanita yang mengenakan kemeja flanel dengan kancing baju terbuka, mengenakan kaos hitam di dalamnya.“Mon garde du corps. ervin pense que j'ai besoin de quelqu'un pour m'accompagner partout quand il n'est pas autour de moi.” (Bodyguard-ku. Ervin pikir aku perlu seseorang yang nemenin aku ke manapun waktu dia nggak ada di deketku)Arla sebenarnya juga merasa agak aneh mendapat pengawalan seperti itu, meskipun yang dikatakan ‘pengawal’ itu adalah seorang wanita dengan penampilan biasa saja—yang tampak seperti temannya kalau sedang berjalan bersama.Alice sudah sadar dan dipindahkan ke ruang perawatan. Ia ditemani mamanya sampai pagi hari, sementara Aeriel bisa langsung dibawa pulang.Abiel dan suaminya terpaksa kembali ke Jakarta karena mereka pergi dengan meninggalkan Dirga—anak semata wayang mereka.“Dev, kenalin, ini kakakku, namanya Alice,” ucap Arla sambil menole
“Gelisah banget, La?” tegur Alice yang melihat Arla bolak-balik memeriksa ponsel meskipun sedang menyuapinya. “Nunggu Ervin?”Arla terpaksa mengangguk. Yang dihadapinya adalah Alice, kakak yang memiliki hubungan personal paling dekat dengannya, untuk apa ia menutupi kegelisahannya. Setidaknya ledekan yang akan dikeluarkan Alice tidak akan sesadis sahabatnya yang lain.Menahan tawanya karena sikap salah tingkah yang ditunjukkan Arla, Alice memilih mengajaknya mengobrol lebih jauh. “Emang Ervin bilang mau ke sini lagi?”“Iya, kata dia sore balik ke sini, tapi ini udah malem, Al.”“Ya diteleponlah.”“Aku udah chat, tapi nggak dibales.”“Masih di jalan mungkin. Jakarta-Bandung jauh loh, La. Kasihan sebenernya kalo dia mesti bolak-balik.”Arla mengedikkan bahu. “Dia yang mau, padahal tadi juga aku udah bilang supaya dia balik ke sini besok atau lusa aja, sesempetnya dia.”Alice menghela napas dalam, terang-terangan menunjukkan kalau ia tidak habis pikir dengan kelakuan Ervin. “Bucin mode o
Alan mengelilingi gudang itu, mencari jalan keluar lain yang mungkin saja bisa ia gunakan untuk kabur.“Bangke!” umpatan itu keluar begitu saja saat ia tidak menemukan jalan keluar di sekeliling gudang. Ia lantas merogoh saku celananya, berniat menghubungi Jun untuk membagikan lokasinya melalui pesan whatsapp. Namun, entah kenapa hari itu rasanya Alan sedang ditimpa kesialan yang bertubi-tubi, karena … ponselnya tidak ada di saku celana. Pasti orang suruhan Ervin berhasil mengambil ponselnya diam-diam saat mereka tadi menggiringnya masuk.“No way! Ervin belum tau semuanya, pasti masih ada jalan.”Duduk di bangku plastik yang ada di dekat rak besi besar, Alan memejamkan mata sambil menutup hidungnya dengan tangan, berusaha mengenyahkan bau amis yang benar-benar mengganggu otaknya untuk berpikir. “Ervin sialan!”***Setengah jam kemudian, Ervin menepati janjinya dengan masuk kembali ke dalam cold storage yang berukuran sekitar dua kali lipat lebih besar dari rumah subsidi yang programny
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal