“Anda ... warganegara Inggris?” tanya Katon takjub. Wanita itu tertawa pada Katon tetapi meluruk ke arah Palmera, memeluk dan mencium pipinya penuh cinta. Palmera menerima dengan penuh wibawa. Tidak membalas, hanya menahan punggung wanita itu dengan lengannya, agar dia tidak meluncur jatuh ke kakinya. {Palmera memberiku teman dari dunia luar?} tanyanya dalam bahasa kuno. Katon sekali lagi takjub sampai lupa mengendalikan mulutnya dan membiarkan menganga. Wanita Inggris ini begitu fasih bicara bahasa kuno. {Dia kawanku. Bukan hadiahmu, Bulan} jawab Palmera datar. {Oh. Kukira dia untukku} kata Bulan atau Omwezi dalam bahasa kuno. Ia turun dari pelukan Palmera sambil sedikit cemberut. {Lalu, apa yang harus aku lakukan?} Selama Bulan alias Omwezi berbicara dalam bahasa kuno, Katon yang cerdas segera menyimpulkan, Palmera bermaksud membantunya dan akan memakai Omwezi sebagai penerjemah di antara mereka. Katon sudah gelisah ingin meneriakkan permintaan tolong agar Ratih, Sarah dan Emily
Seketika Katon menyadari perbedaan wanita-wanita yang dikurung tadi dengan wanita-wanita Suku Urarina ketika ia memasuki pemukiman kemarin. Katon hendak mendebat Omwezi sambil meneriakkan kata “Tidak masuk akal!” tetapi rasanya bukan saat yang tepat. Dia, Ratih dan rombongannya yang berada di situasi rumit. “Yang kau bilang, kami mengesampingkan hak asasi manusia? Tidak sebenarnya. Setiap wanita yang ditawan diperbolehkan melawan prajurit yang menawannya untuk membebaskan diri. Atau, jika wanita yang ditawan tersebut memiliki pasangan dan pasangan sang wanita mengejar kemari, mereka diperbolehkan bertarung satu lawan satu dengan prajurit penawan untuk mendapatkan wanitanya kembali,” jelas Omwezi lagi. “Itu yang kau sebut membela hak asasi manusia?” cibir Katon. Omwezi alias Josephine Kay terkikik geli. “Kami bilang, kami memiliki norma sendiri yang tidak sama dengan norma di dunia modern, Katon.” “Bagaimana denganmu?” tanya Katon. “Aku?” “Ya. Bagaimana kau berakhir berpasangan d
Katon membeliak ke arah Ratih. Ia berusaha mengirimkan sinyal-sinyal keberatan. Tetapi Ratih malah fokus ke pintu kerangkeng yang sekarang akan dibuka oleh prajurit penjaganya yang masih sangat muda. Ratih turun dari kerangkeng tanpa dibantu dan berjalan menuju ke tengah lapangan. Dengan demikian, ia akan melewati Katon. Pria itu meraih lengan Ratih dan menarik wanitanya. Pipi kanan Ratih memar besar dan sudut bibirnya sobek. Bekas tamparan tangan Aizkora, menunjukkan betapa kuat dan sadisnya pria itu. “Enggak, Neng! Aku yang akan melawan Aizkora!” desis Katon marah. Dari sisi lapangan yang lain, Aizkora meraung marah karena Katon memegang Ratih. “Ton, lepaskan tangan Ratih atau kau akan mendapat hukum adat!” Omwezi meneriakkan peringatan ke arah Katon. Tentu saja Katon bersiap mengabaikan peringatan itu. Tetapi tidak dengan Ratih. Ia mengibaskan tangannya sekuat mungkin agar lepas dari Katon. “Gantikan posisiku untuk Sarah dan Emily, Mas. Mereka tidak bisa bertarung.” Ratih berka
Ratih ambruk di lapangan dengan napas tersengal ketika korban di depannya bergetar perlahan lalu diam. Katon bisa melihat pelipis dan bibir Ratih berdarah. “Palmera!” Katon meneriaki Palmera, karena dari gerakan sesaat tadi, Katon tahu, Palmera lah yang bertindak sebagai wasit dari pertandingan ini. Palmera menjatuhkan pedang bergerigi yang dipegangnya, pertanda perkelahian usai dan para prajurit pemanah, menurunkan busurnya. Saat dua prajurit masuk untuk membawa mayat Aizkora pergi, Katon ikut melesat masuk ke dalam lapangan dan menarik tubuh Ratih ke arahnya. Gadis itu berjengit dan berusaha menjauh. “Ini aku, Ratih. Katon,” bisik Katon memaksa gadis itu tetap dekat di dadanya dan ia memeriksa luka-luka Ratih. “Brengsek itu sempat melecehkan aku ketika menindih tadi, Mas. Sialan!” geram Ratih di antara sengalnya. Katon menggeretakkan geraham dan membantu Ratih berdiri. “Bisa jalan? Perlu Mas gendong?” tanyanya pelan. Ratih tidak menjawab, tetapi ia melangkah terpincang dan Kato
Para wanita yang berhasil dibebaskan dibawa ke rumah Omwezi. Hanya para wanita yang diperbolehkan masuk ke sana. Ternyata lelaki dilarang masuk ke rumah Omwezi. Satu-satunya pria yang ikut masuk adalah Palmera, suaminya. Itu sebabnya pagi tadi hanya Palmera dan Katon, yang dijinkan oleh kepala suku itu untuk menginjakkan kaki ke halaman rumah Omwezi. Sekarang, para pria dirawat terpisah di sebuah gua yang dijadikan rumah oleh dukun adat—wanita tua yang seluruh rambutnya telah memutih. Luka-luka mereka dibalur dengan tanaman yang sudah dihancurkan terlebih dahulu. Baunya cukup menyengat seperti juga rasanya. Jadi, yang memiliki luka di seputar bibir, akan mendapatkan bonus rasa pahit! “Shit, crap! Aku kayak ditempeli rumput! Memangnya aku orang-orangan sawah!” omel Stuart perlahan karena khawatir didengar oleh dukun adat yang sedang merawat Daniel. “Aku, lebih memilih diriku mirip stallion,” ujar Morgan bangga. Mendadak saja ia bersama Daniel dan Christopher yang memiliki luka ring
“Tidak, tidak! Aku sudah punya calon istri, aku mau menemuinya,” kata Katon panik dan meluruskan lengannya ke depan, demi menghalangi dukun adat tersebut menyerbunya. {Orang-orang dari luar ini banyak mulut. Makan apa mereka di luar sana? Tutup mulutmu anak muda dan tunggu di sini!} Katon hanya melihat dukun adat tersebut mengomel dan menunjuk dirinya dan sebuah alas terbuat dari anyaman kulit pohon di atas tanah. Hati Katon menciut. Ia akan dipaksa begituan dengan nenek-nenek?! Belum sempat Katon bersuara kembali, sang dukun adat keluar dari rumah tersebut sambil menyemburkan kalimat-kalimat yang tidak dipahami Katon sama sekali. Pria itu panik dan berusaha keluar, entah mencari Ratih atau melarikan diri sekalian. {Aku bilang tunggu di dalam! Katanya mau ketemu Ratih!} Dukun adat itu mulai mengomel dengan nada tinggi. Kedua tangannya bergerak-gerak penuh semangat, menunjuk Katon, menunjuk dadanya, lalu mengelus pinggangnya, menunjuk Katon lagi lalu melayangkan tangannya ke arah la
Keesokan paginya, kembali Ratih yang membuka mata terlebih dahulu. Ia mendapati kalau Katon tidur dengan mendesak dan melingkupi tanpa memeluknya. Mungkin Katon bermaksud melindungi dari udara dingin maupun bahaya yang lain. “Mas, bangun.” Ratih bergerak pelan, terhalang rusuknya yang cedera dan sempitnya area yang ditiduri karena terdesak tubuh tunangannya. Ia mendorong dada Katon untuk membangunkan. Tetapi pria itu bergeming. “Mas,” panggilnya lagi setelah berdehem untuk suara lebih jelas. Namun, setelah beberapa kali percobaan Katon tak kunjung bangun, Ratih menjadi sebal. “Paklik!” teriaknya sambil memukul dada Katon. “Ah!” Katon terkejut dan membuka matanya separuh. “Sudah pagi, Paklik! Minggir!” desis Ratih sewot. “Uhm?” Katon membuka satu mata lebih lebar lalu memeriksa sekitarnya. Menyadari kalau dirinya mendesak Ratih dan segera bergeser minggir, menguap dan mengeliat. Ratih bangun perlahan dan membenahi pakaian maupun rambutnya. Lalu memeriksa sudut mata dan bersamaan d
Rumah Josephine tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Ratih yang mengingat aturan rumah ini, meminta Katon menunggu di luar halaman sementara ia masuk sendiri, melewati halaman rumah Josephine dan kemudian masuk. Katon gelisah menunggu di luar. Namun, menyadari pilihan Ratih memang tepat. Tak lama kemudian, Ratih keluar bersama dengan Emily dan Sarah. Mereka tampak bercakap dengan nada rendah kemudian melintasi halaman untuk bergabung bersama Katon. “Sungainya cukup bersih dan ada tempat berlindung yang memadai, kok,” kata Ratih terlihat jika ia berusaha memelankan suara. Katon segera paham. Sarah dan Emily juga butuh membuang hajat. Katon berlaku menjadi pengawal tiga wanita. Ketiga wanita tersebut berjalan menuju sungai dengan mengikuti langkah Ratih, tanpa bicara. Terpatri jelas di ingatan mereka, setiap Katon atau Morgan bersuara, selalu mendapt pukulan. Maka, ketika berada di tempat terbuka dan di antara suku Kuno Urarina, mereka memilih berjalan tanpa bersuara. Keteganga
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal