Keesokan paginya, kembali Ratih yang membuka mata terlebih dahulu. Ia mendapati kalau Katon tidur dengan mendesak dan melingkupi tanpa memeluknya. Mungkin Katon bermaksud melindungi dari udara dingin maupun bahaya yang lain. “Mas, bangun.” Ratih bergerak pelan, terhalang rusuknya yang cedera dan sempitnya area yang ditiduri karena terdesak tubuh tunangannya. Ia mendorong dada Katon untuk membangunkan. Tetapi pria itu bergeming. “Mas,” panggilnya lagi setelah berdehem untuk suara lebih jelas. Namun, setelah beberapa kali percobaan Katon tak kunjung bangun, Ratih menjadi sebal. “Paklik!” teriaknya sambil memukul dada Katon. “Ah!” Katon terkejut dan membuka matanya separuh. “Sudah pagi, Paklik! Minggir!” desis Ratih sewot. “Uhm?” Katon membuka satu mata lebih lebar lalu memeriksa sekitarnya. Menyadari kalau dirinya mendesak Ratih dan segera bergeser minggir, menguap dan mengeliat. Ratih bangun perlahan dan membenahi pakaian maupun rambutnya. Lalu memeriksa sudut mata dan bersamaan d
Rumah Josephine tidak menampakkan kehidupan sama sekali. Ratih yang mengingat aturan rumah ini, meminta Katon menunggu di luar halaman sementara ia masuk sendiri, melewati halaman rumah Josephine dan kemudian masuk. Katon gelisah menunggu di luar. Namun, menyadari pilihan Ratih memang tepat. Tak lama kemudian, Ratih keluar bersama dengan Emily dan Sarah. Mereka tampak bercakap dengan nada rendah kemudian melintasi halaman untuk bergabung bersama Katon. “Sungainya cukup bersih dan ada tempat berlindung yang memadai, kok,” kata Ratih terlihat jika ia berusaha memelankan suara. Katon segera paham. Sarah dan Emily juga butuh membuang hajat. Katon berlaku menjadi pengawal tiga wanita. Ketiga wanita tersebut berjalan menuju sungai dengan mengikuti langkah Ratih, tanpa bicara. Terpatri jelas di ingatan mereka, setiap Katon atau Morgan bersuara, selalu mendapt pukulan. Maka, ketika berada di tempat terbuka dan di antara suku Kuno Urarina, mereka memilih berjalan tanpa bersuara. Keteganga
Ketika sampai di depan rumah Omwezi, sudah otomatis Katon berhenti di bagian luar halaman sementara Ratih melanjutkan masuk ke dalam rumah. Terbukti langkah tepat, karena kali ini ada pria suku Urarina yang menatap tajam ke arah Katon dan segera mengalihkan pandangan setelah memastikan Katon tidak melangkahi batasan. Katon harus menunggu beberapa lama sampai dengan Omwezi keluar bersama Ratih, di belakangnya Palmera juga muncul. Bersih, tanpa cat. Omwezi dan Ratih berbicara berdua dengan suara rendah sedangkan Palmera tampak bersiap untuk dirinya sendiri. “Ratih bilang kau akan kembali ke tempat kalian disergap untuk mengambil barang-barang yang tersisa?” Tanya Josephine pada Katon. “Ya.” “Yang lain, apa? Senjata? Apakah kau akan membalas dendam pada kami, Ton?” tanya Josephine yang tampaknya berperan sebagai Omwezi. Bahkan Ratih juga terkejut mendapati kalimat Josephine. “Tidak. Sayang, apakah kau sudah mengatakan pada Josephine, tujuan utamamu kemari?” Katon menjawab Josephine
Stuart menahan tawa melihat Katon dan Morgan didandani bak anggota prajurit Suku Kuno Urarina. Mereka juga memakai pakaian minim, hanya kain lusuh yang sedikit lebih lebar dari prajurit lain untuk menutupi area terpenting saja. Sedangkan di beberapa bagian lengan dan kaki dibungkus dengan kulit kayu yang keras permukannya tapi cukup lentur untuk ditempelkan ke tubuh. Jika Palmera dilumuri cat biru dan prajuritnya dilumuri cat merah. Maka, Katon dan Morgan dilumuri cat hitam. “Itu karena kuliat kalian terlalu terang,” jelas Omwezi. Di belakang mantan wartana BBC ini ada Ratih yang merona wajahnya dan menolak menatap Katon dan Morgan yang minim pakaian. “Palmera, yang punya urusan dengan sukumu adalah Ratih. Dan dia tunangan Katon. Kenapa aku terseret kewajiban ikut berburu juga?” keluh Morgan, berkali-kali menggaruk kulitnya yang tertempel kulit kayu. “Kurasa Palmera hanya ingin bersenang-senang dengan sahabatnya,” gelak Omwezi. Ia berkata seperti itu sambil menatap Palmera dan menc
Badan Katon terdorong maju bersama Morgan. Mereka melaju bertiga dan mulai melewati batang pohon yang roboh, semak tinggi dan muncul di area tempat mereka disergap. Suara mistis hutan kembali menyambut mereka. Perpaduan antara suara burung dan suara jeritan atau suara khas monyet. Katon melihat tas dan ransel mereka sebagian masih berserakan dan dia bergerak cepat mendatanginya. Ia bisa melihat beberapa pakaian-pakaian mereka masih bisa diselamatkan. “Ini, Ton!“ Morgan memanggil Katon dan ketika pria itu menoleh, Morgan melemparkan desert eagle milik Katon yang ia tangkap dengan tangkas. Sesaat kemudian dia mengeluh sebal kembali. Bagaimana ia akan meletakkan senjatanya saat ia memakai kostum sedemikian minim. “Sialan! Ini tidak lucu!” makinya sebal. Saat Katon kebingungan menyimpan senjatanya, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh di dekatnya. Bugh! Katon kaget bukan kepalang. Bukan benda jatuh. Tetapi Kino melompat dari atas pohon tepat di belakang Katon. “Itu bendamu, Sir?”
Di pemukiman Suku Kuno Urarina, hal yang jauh berbeda dengan situasi di tengah hutan sedang terjadi. Ratih, Emily dan Sarah malah akrab dengan Josephine dan sekarang berada di rumah tinggalnya. Tanpa ada Palmera, Josephine bebas kembali menjadi orang modern. Mereka berempat membicarakan segala sesuatu yang aktual terjadi di luar sana. Ratih cukup heran karena Covid-19 tidak pernah tiba di sini. “Tapi katamu bahkan flu pun bisa membunuh,” kata Ratih. “Tepat sekali. Dan memang benar, bukan? Bukahkan Covid-19 juga sejenis flu?” kata Josephine geli. “Ya, iya sih ....” Ratih jadi bingung sendiri. Josephine tertawa. “Di sini kami memiliki tanaman obat yang luar biasa manjur. Tentu saja kematian terjadi di beberapa kasus bahkan untuk penyakit yang ringan sekalipun. Tetapi sebagian besar karena terlambatnya penanganan,” kata Josephine. “Aku tidak bisa membayangkan, tinggal di sini saat hamil dan melahirkan di sini, Omwezi. Sepertinya bakalan kurang steril?” kata Sarah, memanggil nama ju
Mereka kembali ke pemukiman Suku Kuno Urarina saat matahari mulai turun. Sepanjang kembali mereka lebih banyak berlari. Saat mendekati pemukiman, Omwezi dan tiga wanita lain menunggu di gerbang, sepertinya mereka bermaksud menyambut pasangannya. Saat Omwezi melihat kedatangan mereka, ia membisikkan kepada salah satu wanita yang berbalik dan meneriakkan nyanyian. Terdengar sambutan dari pemukiman. Pria, wanita, anak-anak keluar dari rumah mereka dan menyambut para pemburu. Palmera yang berlari paling depan langsung disambut Omwezi dan dipeluk. Di belakangnya Kino menyusul dan ikut masuk dalam pelukan Omwezi. Demikian juga dua prajurit Palmera, yang membawa bangkai babi hutan di punggungnya. Spit, disambut oleh seorang bocah pria berusia sekitar 12 tahun. Pria baya itu memberikan bangkai babi hutan ketiga dari punggungnya yang diterima oleh si bocah dengan bersorak senang. Katon, Morgan dan Stuart masuk ke pemukiman tanpa disambut siapapun. “Setidaknya aku dan Morgan memang tidak pun
Katon tidak mengetahui kalau dirinya demam tinggi. Yang ia tahu dan rasakan hanyalah seluruh tubuhnya terasa kaku. Ratih membantu memakaikan kaus dengan lemah lembut. Matanya menatap khawatir pada Katon yang bersuhu tinggi. “Aku ke pemukiman dulu, Mas. Aku akan coba cari Kino dan dukun adat untuk memberitahu kalau dirimu demam. Mungkin mereka punya obatnya,” kata Ratih sambil memeriksa dahi dan leher Katon, berusaha memperkirakan seberapa tinggi suhu pria itu. “Oh. Kalau itu, aku sudah makan obat tadi,” kata Katon mengingat biji buah yang dipaksakan ke kerongkongannya. “Apapun, lebih baik aku pastikan dulu. Tunggu ya, Mas?” pinta Ratih dengan suaranya yang lembut. Hati Katon bergetar. Baru kali ini Ratih bicara selembut itu. Katon tidak bisa menghalangi. Lebih tepatnya tidak sanggup. Yang ia bisa lakukan hanya menunggu hingga Ratih kembali. Kali ini wanita itu kembali bersama Morgan yang berwajah khawatir. Ratih kembali sambil membawa gelas dan piring kayu berisi setumpuk daging b
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas