Jarak dari Riquewihr ke Paris sejauh 528km. Ada beberapa transportasi yang bisa digunakan Katon. Dari semua itu, ia memilih untuk menggunakan motor sport model lama milik Manu yang masih terpelihara dengan baik. Motor BMW R71 warna hitam keluaran tahun 1938. Motor ini punya suspensi belakang yang lebih kokoh sehingga nyaman untuk perjalanan jauh. Selain itu, kuda besi ini juga dipakai untuk kendaraan militer pada masanya. Jadi jangan ditanya kekuatan motor ini. Katon memilih berkendara dari Riquewihr ke Troyes, melewati Foret d'Orient dan danau-danaunya yang indah. Jalan ini memakan waktu sekitar 5 jam. Katon memilih menghabiskan malam di Troyes dan mejelajahi bangunan bersejarah dan museumnya. Setelah melewatkan semalam di sana, ia kembali berkendara dari Troyes ke Paris, dan memakan waktu sekitar 2 jam. Karena berangkat cukup pagi, Katon memilih untuk sarapan terlebih dahulu sebelum mendatangi universitas tempat Ratih menimba ilmu. Paris 1 Panthéon-Sorbonne University adalah sal
Sejenak Katon melongo melihat pemandangan di depannya, lalu tersenyum pada takdir. Yes! Ia mengikuti langkah pelan Aaliyah dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Terasa lebih tulus. Bukan senyum pura-pura seperti yang ia sajikan pada Aaliyah. “Hai, maaf. Menunggu lama?” tanya Aaliyah pada kedua temannya dalam Bahasa Perancis. Ratih dan kawannya yang sedang bercakap sambil melihat ke arah lain sontak menoleh sambil tertawa mendengar suara Aaliyah. Senyum Ratih perlahan memudar ketika melihat Katon datang bersama Aaliyah, sedangkan Katon tetap menunjukkan senyum manisnya. Ia tambahkan sedikit gestur kepala yang sedikit ia miringkan seolah berkata, “Hello again! Takdir yang bicara agar kita bertemu kembali.” “Oh, maaf. Aku mengajak Katon untuk bergabung dengan kita. Enggak masalah, ‘kan?” Aaliyah yang melihat perubahan wajah Ratih segera berkata demikian. “Oh, enggak apa. Masih banyak tempat, kok.” Yang menjawab justru gadis yang satu lagi. Membuat Ratih yang terlambat membuka
Cukup lama Katon mengobrol bersama dengan Aaliyah dan Zoya. Karena Ratih lebih memilih menjadi pendengar saja. Dari Aaliyah, Katon mengetahui kalau Ratih bersahabat dengan Aaliyah karena satu tingkat. Mereka sama-sama lolos sebagai mahasiswa luar negeri dan menjadi bagian dari organisasi mahasiswa asing di kampus. Sedangkan Zoya adalah kakak sepupu jauh Ratih yang sedang berlibur di Paris, karena sebenarnya dia sedang menempuh S2 di Aussie. Sampai dengan makanan mereka tandas, dua gadis selain Ratih nampaknya menikmati perbincangan dengan Katon. Mereka sangat menyukai cerita Katon tentang pengalamannya berkeliling dari satu negara ke negara lain. Beberapa ada yang pernah dikunjungi oleh Zoya maupun Aaliyah, jadi mereka bisa saling bertukar pengalaman ketika berada di sana. “Aku tidak ada acara lain hari ini. Bagaimana dengan kalian?” tanya Katon santai. Ia bahkan menyandarkan punggungnya ke belakang. Zoya dan Aaliyah saling pandang. Ratih membuang muka. “Kuliah awak hari ini ia sel
Dari Paris, Katon harus bertolak kembali ke Riquewihr untuk mengembalikan motor kesayangan Emmanuel Deisle. Rencananya mendekati Ratih untuk beberapa hari di kota paling romantis di dunia batal, karena Satria sudah tiba di Zurich dan sedang menuju ke Basel. Arini mendesak Katon untuk segera bergabung dengan papanya. “Grand-mère yang bilang sama Mama kalau Katon di sini?” tanya Katon saat akan meninggalkan Riquewihr dengan diantar oleh Leandre—salah satu bodyguard The Deisle. Evita cemberut, seputar bibirnya makin bertambah kerut karena ia melakukan itu. “Tentu tidak! Setiap anak Satria tertanam chip di dalam tubuhnya dan membuat papamu bisa mengetahui keberadaan melalui akses internet,” jawab Evita. Katon menarik napas. “Evita Navarra Deisle!” geramnya menanggapi candaan sang nenek. Evita tertawa bersama Manu. “Lihat anak ini, sudah berani menggeram padaku,” kata Evita ke arah Manu dengan wajah geli. Manu menjawab Evita dengan serangkaian kalimat dalam Bahasa Perancis yang Katon
Katon berdiri gagah di samping Satria yang tak kalah tegap. Pria itu mengulas senyum termanis di wajahnya. Melawan wajah Ratih yang mendadak masam. Bahkan dari kejauhan, Katon bisa melihat pundak gadis itu naik mengiringi lirikan sebal. Pertanda kalau gadis itu menarik napas berat. ‘Kau suka takdir, Nona? Lihat bagaimana takdir sekali lagi menemukan kita,’ pikir Katon geli. Teguh Putra dan Ratih yang berjalan sedikit di belakangnya, semakin dekat. Atas nama kesopanan, Satria maju selangkah untuk menyambut Teguh Putra, “Pak Teguh,” sapanya sambil menjabat erat tangan pria yang lebih tua darinya. “Pak Satria.” Teguh Putra membalas sapaan Satria dengan ramah lalu melepas jabat tangannya untuk meraih tangan Katon. “Katon, apa kabar? Senang melihatmu malam ini,” ujarnya ramah. Katon tersenyum penuh kemenangan ketika melirik wajah Ratih di belakang Teguh Putra yang tidak bisa menutupi keterkejutannya mendengar lelaki yang bersamanya mengenali Katon dengan baik. “Perkenalkan, ini putri b
Karena Katon meminta seperti itu, tentu saja Satria membawa Katon kembali ke Indonesia. Arini dan Rosalind yang datang belakangan tidak mengetahui kalau Katon sudah berada di rumah industri lagi. Satria pun tidak merasa perlu memberitahu istri dan puteri keduanya ketika mereka tiba di malam hari, dua hari setelah kedatangan putera sulung dan dirinya. Pagi hari, seperti biasa. Arini bangun tanpa ada Satria di sisinya. Sang suami selalu meninggalkan tempat tidur lebih dulu untuk berolahraga. Arini mandi dan membawa dirinya sendiri turun ke dapur lalu bekerja menyiapkan sarapan untuk keluarga bersama asisten rumah tangganya. Ketika berjalan menuju ke dapur, pandangannya menuju ke jendela yang mengarah ke kebun belakang dan Arini terkesiap. Satria sedang berolahraga bersama Katon. Arini berlari kecil sambil tertawa senang. Ia membuka pintu dapur ke halaman belakang dan menghambur ke arah puteranya. Katon sudah berhenti melakukan Kata ketika mendengar pintu terbuka dan tawa Arini yang
Tentu saja hasil penyelidikan Satria tidak menemukan hal yang mencurigakan dari seorang Ratih Ayu Putraningtyas. Sebagai putri bungsu sebuah keluarga kaya, ternyata Ratih bukanlah gadis yang manja. Hasil penyelidikan Satria menemukan Ratih Ayu Putraningtyas adalah wanita yang sopan, penurut, dan mandiri. Dia juga wanita yang cinta damai dan tidak suka bertengkar, meskipun ia menguasai Karate dan mahir bermain anggar. Pada poin ini Satria sudah jatuh kagum kepada puteri bungsu Teguh Putra dan mulai memahami mengapa Katon tidak sanggup menolak pesonanya. Ratih Ayu adalah lulusan Sekolah International terbaik di Jakarta dan setelah lulus mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Perancis. Namun, kekurangannya, Ratih cenderung mudah curiga, jahil, ceroboh, ambisius, sering ingkar janji, dan tidak merasa puas dengan yang dimiliki. Satria menandai hal ini dan akan mendiskusikan dengan putera sulungnya. “Bukankah Papa selalu bercerita, bahwa Mama adalah gadis ceroboh ketika pertama bertemu
“Terima kasih, Pak Teguh,” jawab Satria dan menerima jabat tangan Teguh Putra. “Wah, bersama Nyonya Satria?” Teguh Putra untuk sementara mengabaikan Katon. “Senang bertemu dengan Pak Teguh, apa kabar?” sahut Arini ramah ketika mendapat giliran berjabat tangan dengan Teguh Putra. “Kabar baik. Di usia senja ini, bukankah kabar baik yang selalu dinanti, Bu Satria?” ujarnya. Mereka tertawa bersama membenarkan pemikiran itu. “Ini istri saya, Siti Amira.” Teguh Putra membawa pasangannya ke samping dan memperkenalkan pada Arini dan Satria. Kedua wanita paruh baya itu saling menempelkan pipi dengan sopan dan berkenalan. “Benar sekali, kata Pak Teguh tadi. Kabar baik memang selalu dinanti di usia senja ini. Seperti halnya kami. Semoga kedatangan kami membawa kabar baik.” sambut Satria ketika Siti Amira dan Arini selesai beramah-tamah. “Hahaha ... melihat cerahnya wajah Anda semua. Saya harap begitu. Katon?” Teguh Putra mengulurkan tangannya dan Katon menerima sekaligus mencium punggung t
Katon menahan napas dan mulai menata lengannya, lalu ia memutar perlahan melawan arah sebelumnya dan terdengar sekali lagi derak tulang sendi bahu kembali ke posisinya lagi. Ia melemaskan lengan sambil mempercepat langkah menuju ke wanita yang masih terkapar di tanah. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Katon seraya memeriksa nadi di leher wanita tersebut. Masih terasa tetapi lemah dan mata wanita itu tertutup dengan napasnya yang pendek-pendek. Dengan satu tangan masih memeriksa nadi leher wanita itu, Katon memakai tangan yang lain untuk merogoh ponsel dan menghubungi 192, panggilan darurat layanan keselamatan di Brazil. Tidak perlu waktu lama dari waktu menghubungi hingga tim medis datang. Katon yang berkewajiban menunggu mencoba menghubungi nomor ponsel Ratih tetapi tidak terjawab. Akhirnya Katon memilih menghubungi Morgan dan memberitahukan posisi dan keperluannya saat ini. “Mereka memintamu ikut ke Rumah Sakit?” tanya Morgan. “Ya, karena korbannya pingsan dan aku harus ikut untu
Katon dibantu Morgan menambatkan perahu mereka ke geladak pelabuhan sungai, mengikatnya dengan tali yang terbuat dari serat pohon. Setelah dua hari berlayar melalui hutan Amazon yang lebat, rombongannya akhirnya tiba kembali di pelabuhan sungai kota kecil Seringueiras. Matahari terbenam menyinari permukaan air, menciptakan kilauan emas di permukaan gelombang. Ratih melangkah keluar dari perahu, kakinya menginjak pasir halus. Sarah dan Emily mengikutinya. Wajah ketiganya tampak lelah. Namun, lega juga terpancar di sana. Katon yang telah selesai menambatkan perahu kini bekerja sama dengan Stuart, Christopher dan Daniel untuk menurunkan sisa barang-barang mereka dari atas perahu. Dengan membawa barang-barang yang tidak seberapa, rombongan meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota Serinqueiras yang masih ramai menjelang senja ini. Mereka kembali check-in ke hotel kecil tempat mereka menginap saat tiba pertama kali di sini. Segera, Katon kehilangan tunangannya karena wanita itu tidak me
Rombongan Katon dan Ratih meninggalkan pemukiman Urarina tanpa dilepas oleh Palmera dan Omwezi. Mereka hanya diantar oleh Spit, sebagian pasukannya dan Kino yang memang selalu bersama mereka dua hari terakhir. Remaja pria itu memakai pakaian terbaiknya dan kulit tubuhnya dicat biru terang. Sekarang Katon paham mengapa petinggi Urarina dicat biru. Karena mengacu pada Virola dan bunga biru terangnya. Seolah pimpinan mereka diletakkan pada trah tertinggi dan tetap dalam lindungan Virola. Katon dan Kino berjalan beriringan di pusat rombongan, sedangkan Ratih memilih berjalan di belakang Katon. Langkah membawa mereka memasuki hutan kembali. Daun lebat dan rimbun menutupi langit, menciptakan keteduhan yang misterius. Udara lembap dan berbau tanah basah memenuhi hidung mereka. Mereka telah meninggalkan pemukiman Suku Kuno Urarina, dan sekarang, hutan hujan Amazon membuka di hadapan mereka. Mereka melangkah lebih dalam. Suara burung-burung hutan mengiringi mereka, menyanyikan lagu-lagu ya
Manusia-manusia modern menatap penuh horor, kedua tubuh yang perlahan menghilang dibalik belitan anakonda raksasa yang bergulung-gulung di tepi sungai. Mereka mendadak menyadari mengapa mereka semua dibawa kesini. Entah menjadi saksi sebuah penghukuman seperti sekarang atau malah menjadi yang terhukum. Mengingat mereka semua dibawa dengan terikat dan disiksa tak manusiawi, semuanya memiliki kesimpulan yang sama. Para manusia modern semula dibawa kesini untuk dikorbankan kepada anakonda raksasa. Entah apa yang diucapkan Kino sehingga hukuman berbalik arah hanya mengorbankan dua orang suku mereka sendiri. Sementara para manusia terasing menunduk penuh khidmat selama ssota meremukkan kedua tubuh warga mereka lalu menghilang kembali dalam air sungai. Setelah prosesi hukuman yang mengerikan itu berakhir. Palmera mengayunkan tangan kepada kedua wakilnya yang sontak bergerak serasi. Berjalan kembali ke arah rombongan jauh dari sungai tetapi sambil memetik bunga-bunga biru. Saat tiba kemb
Kembali semua terkesiap dan memekik terkejut. Stuart baru saja menembak wakil Palmera untuk memperingatkan agar orang itu diam tidak bergerak. Peluru Colt Stuart nyaris menghancurkan kaki wakil Palmera. “Hemat pelurumu, setan alas!” seru Morgan. “Dari tadi panggilin setan alas melulu. Setannya beneran keluar kamu yang pusing!” ejek Stuart ke muka Palmera yang merah padam. Ratih yang sudah membebaskan teman-temannya sekarang menuju ke arah Katon dan berusaha menyadarkan pria itu. “Jadi apa salah kami, Palmera? Mengapa kami dibawa ke sini? Tidak untuk wisata kurasa? Air terjunmu tidak sebagus itu. Dan kalau memang wisata kenapa kami diikat?” omel Stuart. “Kau butuh penterjemah kan sekarang? Hm? Atau kubunuh saja kau ya? Aku yakin teman-teman avatarmu sekalian wargamu bakalan menangis. Atau malah seneng kalau kamu mampus? Bagaimana?” Stuart berkata jahat sambil menempelkan moncong Colt pada dahi Palmera yang tetap menatap dengan marah. Terdengar suara ceklik ketika Stuart menarik tu
Sarah menjerit ketakutan dan kemudian menangis meraung-raung. Di dekatnya Ratih seketika berwajah pucat sedangkan Emily merosot pingsan dan tetap diseret oleh penawannya. Sekarang Katon tahu apa penyebab ketiga wanita tersebut berekspresi demikian. Seekor anakonda dengan lingkar tubuh sebesar pria dewasa. Tak diketahui berapa panjangnya karena ia melata di tanah, di antara batang pohon dan rerumputan sisi kanan mereka. Warna sisik anakonda itu kuning emas dan corak berlian berwarna hitam. Berbeda dengan anakonda hijau yang mereka lihat di sungai. Gerakannya yang melata sajalah yang membuatnya dikenali sebagai anakonda karena sejatinya, warna sisik dan motifnya malah mirip jaguar. Entah di mana kepala atau ekor anakonda itu. Tetapi melihat dari luncuran tubuhnya yang tampak di sela-sela rerumputan, anakonda tersebut berjalan mengiringi para tawanan dan Suku Kuno Urarina menuju pusat curug, air terjun yang indah di depan mereka. {Yang mulia ssota menunggu kita!} desis beberapa warga
{Lihat Palmera! Teman asingmu tidak tampak bersalah telah menyerang dan menghajar kami, hanya karena kami mengejarnya ke sungai} lapor Empewo. {Kami menuntut keadilan. Dia harus dihukum adat!} desis Ekitala. Wajah keduanya hancur dan masih menyisakan darah yang mengering. Namun, mereka bisa bicara dengan baik. Meletupkan emosi, meskipun mereka menggunakan bahasa kuno tetapi Katon dapat merasakan kemarahannya. Dan sekarang emosi yang sama terpantul di wajah Palmera. Perasaan Katon tidak enak. Ia ulurkan tangan kanannya dan sedikit merunduk. Ia bermaksud menenangkan Palmera dan meminta ijin meletakkan tempayan air untuk kemudian menjelaskan posisinya. Baru saja Katon meletakkan tempayan ke tanah, Kaki Ekitala menghajar dadanya dan membuatnya terpental ke belakang sejauh satu setengah meter. Tempayannya terbanting dan pecah, menumpahkan isinya kemana-mana. Katon terbatuk karena udara dipaksa keluar dari paru-parunya secara mendadak. Belum sempat ia bergerak lebih jauh, prajurit pe
Pagi menjelang. Udara terasa sangat dingin. Kabut bahkan menjalar masuk melalui bagian bawah pintu yang tidak tertutup sempurna, maupun jendela yang tak berpenutup. Tetapi Ratih yang membuka matanya terbangun dengan rasa nyaman. Selain kakinya tidak lagi sakit, iapun merasa hangat dan terlindungi. Sesaat kemudian barulah ia sadar kalau dirinya ada di dalam pelukan Katon dan mereka memakai satu selimut bersama. Ia memakai lengan Katon sebagai bantal, tangan Katon yang lain memeluknya. Kaki Katon melibat dan membungkus kakinya di dalam selimut. Wajah mereka sedemikian dekat. Ratih tidak ingat, kapan ia jatuh tertidur. Yang pasti, tunangannya masih sibuk memijit kakinya. Maka sekarang melihat Katon masih tertidur lelap, Ratih tidak tega langsung bergerak bangun dan berpotensi menganggu Katon. Ratih menatap wajah lelaki yang memaksakan diri menjadi tunangannya. Lelaki ini bernapas teratur. Dengkurnya halus bukan termasuk dengkur yang menganggu. Malah seperti musik yang menenangkan kar
Ratih berderap di depan Katon dan menyeret pria itu bersamanya. Katon tersenyum, melihat kuatnya cengkeraman Ratih di pergelangan dan jalannya yang cepat dan menghentak-hentak, sepertinya tunangan cantiknya ini memang baik-baik saja. Katon pasrah diseret oleh Ratih. Asal tangannya masih digandeng kekasihnya itu. Sepertinya obrolan sebelum perkelahian akhirnya menenangkan Ratih. Kemarahannya sekarang mungkin manifestasi dari rasa cemburu bercampur tersinggung atas perbuatan dua prajurit Palmera. Katon yang mengenal banyak wanita, bisa memperkirakan segala tindakan Ratih. Mereka masuk ke pemukiman dan hanya disambut sepi. Seluruh warga Urarina yang berusia dewasa mungkin masih di lapangan sementara wanita yang memiliki bayi dan anak-anak maupun remaja mungkin sudah masuk ke rumah masing-masing. Katon membayangkan Palmera sedang beraktifitas dengan Omwezi membuatnya menarik Ratih dan gadis itu mental ke belakang dan dipeluk Katon. “Kita pulang aja, yuk? Aduh!!” Ratih tidak tinggal