301. Bi Ramlah Emosi (Bagian B)"Bagaimanapun juga apa yang sudah aku beri kepada mereka, sudah dimakan oleh anak dan juga cucuku. Jadi tidak usah dibicarakan lagi perkara hal itu," lanjut Ibu lagi."Ya iya, Mbak. Tapi aku kesel dengarnya, loh. Pengen motor, dibeliin. Pengen rumah, dibuatkan. Pengen perhiasan, tinggal minta. Eh, malah tidak tahu terima kasih. Siapa yang nggak geram kalau seperti itu?" jawab Bi Ramlah dengan sinis."Kecilkan suaramu, Ram. Masmu sedang tidur, baru saja tertidur setelah shalat subuh tadi. Satu malaman dia tidak bisa tidur, dan gelisah terus menerus. Aku sampai kasihan melihatnya," kata Ibu mengingatkan.Bi Ramlah langsung menutup mulutnya dengan rapat, dia kemudian menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Terlihat jelas kalau Ramlah masih ingin mengeluarkan unek-uneknya, tetapi karena Bapak memang masih beristirahat di dalam, jadi Bi Ramlah terpaksa menahan segalanya.Aku yakin, jika saat ini Lisa berada di sini
302. Bi Ramlah Emosi (Bagian C)"Eh, ralat! Bukan istrimu, tetapi mantan istrimu. Dia itu sudah gendeng, sudah kehilangan kewarasan, sudah kehilangan akal!" kata Bi Ramlah dengan sangat menggebu-gebu."Sudahlah, Ram. Kalau kamu mengumpati Lisa, itu artinya kamu juga seperti dia, dan kamu itu sudah berdosa. Pagi-pagi begini kok, sudah panen dosa, sih!" kata Ibu mengingatkan."Gimana aku nggak mengumpat, Mbak. Wong dia saja itu memang minta diumpati," sahut Bi Ramlah cepat."Pokoknya kamu nggak usah mengangkat dan juga membalas panggilan maupun pesan dari dia. Biarkan saja biar dia capek sendiri," kata Mas Aji mengingatkan."Iya, Mas. Aku juga nggak mau ngangkat panggilan dari Mbak Lisa, kok. Begitu juga dengan pesannya, aku tidak membalas satupun pesan yang dia kirimkan," sahut-ku sambil mengangguk mengerti."Halah, balas saja! Bilang kalau masmu itu memang sudah tidak mencintai dia lagi, dan menceraikannya karena mulutnya yang busuk itu!" kata Bi Ramlah dengan semangat."Nggak usah la
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)303. Serangan Bi Ramlah dan Ibu (Bagian A)Ternyata yang datang ke rumah Ibu adalah Mbak Ruli dan juga Mas Badra, di belakang mereka ada juragan Karta dan di belakangnya lagi ada Pak Anwar. Mereka berempat datang ke sini dengan wajah yang terlihat sulit aku artikan.Setelah memarkirkan motornya di halaman, mereka langsung berjalan ke arah teras dan Mbak Ruli tersenyum kecil ke arahku. Masih senyum yang sama, terlihat manis dan juga bersahabat. Tapi entah kenapa, aku bisa melihat sesuatu yang lain ada di sana."Oalah, pagi-pagi sekali sudah berada di sini. Memang, ya, kalau menantu dan juga mertua seperti kalian ini patut dicontoh. Akur dan juga tidak neko-neko," kata Mbak Ruli sambil terkekeh kecil."Lah, ya iya, Rul. Namanya juga menantu dan mertua itu memang wajib akur. Sama seperti kamu dan juga mertuamu, kan akur, loh. Adem ayem, damai, enak dipandang mata," sahut Bi Ramlah sambil ikut terkekeh.“Terus Bibi ngapain ke sini pa
304. Serangan Bi Ramlah dan Ibu (Bagian B)"Wah kamu bener banget, An. Memang seharusnya kita itu jangan malu-malu. kalau mau tobat sama gusti Allah. Juragan Karta aneh sih, orang mau tobat dan berubah menjadi lebih baik lagi kok, malah dipojokkan seperti itu. Juragan Karta nggak asik, ah," sahut Bi Ramlah tiba-tiba.Nah, ini yang kusuka dari Bi Ramlah. Dia itu cepat tanggap, dan sepertinya kami akan menjadi pasangan yang ter-the best dalam memojokkan seseorang.Buktinya saja, juragan Karta langsung kicep saat mendengar ucapan Bi Ramlah yang mendukung ku tadi. Saat mataku melirik ke arah Mas Aji aku bisa melihat dia sedang menahan tawa, dengan mengalihkan pandangannya ke halaman dan pura-pura terbatuk kecil.Hendak sekali rasanya bibirku mengeluarkan dengusan kesal, untuk apa dia tertawa seperti itu? Apa dia itu tidak sadar kalau empat orang yang ada di sini sekarang ini ingin menyerangnya habis-habisan? "Amran mana, Sri? Kok, tidak ada di sini?" tanya juragan Karta tiba-tiba kepada
305. Serangan Bi Ramlah dan Ibu (Bagian C)“Kalian itu sebenarnya ke sini mau ketemu sama Aji atau sama ketemu sama Lisa? Kalau kalian mau ketemu sama Lisa, Lisa nggak ada di sini. Dia ada di rumah kedua orang tuanya yang ada di kecamatan sebelah. Tapi kalau kalian mau ketemu sama Aji, ngomongnya yang jelas! Kalian itu sebenarnya keperluannya apa!" sambar Bi Ramlah tiba-tiba.Mbak Ruli terlihat kehabisan suara karena mendengar sahutan yang dilontarkan oleh Bi Ramlah. apalagi Bi Ramlah mengucapkannya dengan kata-kata yang terdengar sangat tegas dan juga tidak mau dibantah.“Ya, kami ke sini sebenarnya mau ketemu sama Lisa. Tapi karena satu dan lain hal, kami akhirnya berniat untuk menemui Aji." Pak Anwar menyahut dengan sopan."Oh, kalau kayak gitu, sebenarnya kali ini kami mau ketemu sama Lisa. Begitu?” tanya Bi Ramlah dengan cepat. “Tapi … kok, bisa pindah haluan sama Aji tiba-tiba? Ini ada apa ya?" tanya Bi Ramlah lagi, tentunya dengan wajah ketus andalannya."Begini, Bi … sebenarny
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)306. Menolak bertanggung jawab (Bagian A)"Apaan sih! Kenapa kalian, kok, terkejut seperti itu? Orang lain yang bercerai, tapi malah kalian yang berteriak seperti orang kesurupan," ujar Bi Ramlah sambil mencibir kecil."Bagaimana bisa, Bi? Bagaimana bisa mereka bercerai? Bukannya mereka baik-baik saja? Aji! Ini tidak benar, kan? Bi Ramlah berbohong kan?!" Mbak Ruli bertanya terburu-buruDia lalu menatap Mas Aji dengan pandangan tajam dan menuntut jawaban, sedangkan kakak iparku itu hanya menaikkan bahunya tidak peduli."Iya, memang apa yang dikatakan oleh Bi Ramlah adalah suatu kebenaran. Aku dan juga Lisa sudah bercerai tadi malam tepatnya," kata Mas Aji dengan gamblang."Apa? Jadi, ini semua adalah kenyataan?" Mbak Ruli kembali berteriak histeris."Lah, apa kamu pikir aku dari tadi bohong, Rul? Ya, nggak lah! Mana mungkin perceraian sepasang suami istri aku jadikan bahan untuk sebuah kebohongan, aku juga masih punya hati kali!"
307. Menolak bertanggung jawab (Bagian B)"Maaf, Bu Sri. Dengan jelas di grup WA yang Mbak Lisa buat kemarin memang dikatakan di situ kalau Mas Aji-lah penanggung jawab dari uang tabungan anak-anak yang sudah dia gunakan," ujar Pak Anwar dengan penuh kehati-hatian. "Saya bisa menunjukkan isi percakapan kami, dan tentu saja statement Mbak Lisa yang mengatakan hal yang barusan saya katakan," kata Pak Anwar lagi, sambil memegang ponselnya yang baru saja diambil dari saku. "Cukup, cukup, War! Kalau kamu mau memberitahu tentang isi grup tersebut, tidak usah saja. Kebetulan saya sudah melihatnya dan saya juga sudah bisa menyimpulkan, kalau Lisa memang benar-benar keterlaluan. Dia mengkambingkan hitamkan anak saya dengan sebegini rupa, dan menyuruh kalian untuk menagih uang tabungan itu kepada Aji!" kata Ibu dengan tenang. "Tapi yang perlu kalian ingat adalah, tadi malam Aji sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Lisa. Dia sudah menjatuhkan talak dan tentu saja Aji tidak perlu
308. Menolak bertanggung jawab (Bagian C)Jujur saja aku dan juga Mas Abi mengira, kalau Mas Aji akan memilih rujuk kepada Lisa ketika emosinya sudah mereda. Tetapi sangat jauh dari perkiraanku, Kakak iparku itu malah ingin mendaftarkan perceraian mereka ke pengadilan agama cepatnya. "Sebenarnya apa yang terjadi antara kamu dan juga Lisa, Ji?" tanya Mas Badra tiba-tiba. "Apa yang terjadi di antara kami tidak patut aku bicarakan dengan orang lain, Mas. Tetapi yang pasti, aku minta maaf yang sebesar-besarnya, aku tidak bisa membayar sesuatu yang tidak aku lakukan!" kata Mas Aji dengan tegas."Lalu kamu harus bagaimana? Ke mana lagi kami harus meminta, jika kamu saja tidak mau bertanggung jawab akan hal ini?" Mbak Ruli menyahut dengan kesal."Ya, kamu datangi Lisa, lah. Kok malah datengin Aji! Jangan marah-marah di sini, Rul! Nggak mempan sama kami!" Bi Ramlah menyahut tak kalah kesal."Bibi ngomong begitu karena bukan uang anak Bibi yang ditilep oleh manusia jahanam itu! Kalau uang an
532. Keadaan Lisa!"Ada apa, Dek?""Ibu ... bapak, Mas.""Ibu sama bapak kenapa, Dek?""Kita harus segera ke rumah sakit, Mas.""Memangnya kenapa, Dek? ngomong dulu sama Mas. Jangan buat Mas gak karuan.""Buruan Mas kita pergi ke rumah sakit.""Hei, tunggu, kalian mau ke mana? ibu dan bapak, maksudnya Sri dan Arman? kenapa mereka?" tanya Nuraini. Ana menggeleng, dia tak mau menjelaskan apapun pada Nuraini. Ana langsung menarik Abi keluar dan segera menaiki mobil mereka. "Ada apa, Dek, ngomong sama Mas?" tanya Abi saat di dalam mobil. "Ibu ... bapak ... kecelakaan, Mas.""Astagfirullah.""Bentar, aku bilang Bulek Romlah dulu buat jaga toko." Anna berjalan menuju tokonya. "Bulek tolong jaga toko dulu yah. Ana dan Mas Abi harus ke rumah sakit.""Kenapa kalian mendadak ke rumah sakit, ada apa, Na?""Ibu dan bapak kecelakaan, Bulek. Kami harus segera ke rumah sakit.""Innalilahi. Ya sudah hati-hati, Na. Kamu gak usah mikirin toko, biar Bulek yang jaga, insyallah aman dan amanah. Kalian
531. Kabar yang mengejutkan! (Bagian B)Abi menghempaskan kepalan tangannya di atas meja yang terbuat dari kayu jati, meja yang Ana beli sepaket dengan sofa yang tengah mereka duduki ini. Dia tidak pernah melihat Abi yang semarah ini, suaminya itu terlihat seperti orang lain di matanya. Tidak ada sosok Abi yang biasanya Ana lihat.“ABI! DURHAKA KAMU, YA!” Nuraini memekik heboh.Jelas jantungnya hampir melompat saat Abi menggebrak meja dengan kekuatan seperti tadi, dia menatap anak yang dia lahirkan itu dengan tatapan tajam. Namun, Abi malah balik menatapnya dengan tatapan yang tak kalah tajam.“Silahkan pergi dari sini, sebelum kesabaran saya habis!” kata Abi dengan suara yang bergetar.“Tidak! Kamu adalah anakku, dan wajar jika aku ada di rumahmu sekarang ini.” Nuraini berbicara dengan santai. “Apa uang -uang yang Bapak berikan belum cukup?” tanya Abi dengan kekehan kecil di ujung bibirnya. “Uang apa?” tanya Nuraini sok polos.“Bukannya Anda mengancam Bapak, akan mengungkapkan jati
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar Secara Elegan) 530. Kabar yang mengejutkan! (Bagian A) “A—apa?” Ana bahkan tidak bisa mencerna apa yang Abi katakan, Amran memberi uang kepada Nuraini? Kenapa? Apakah mereka kembali berhubungan? Apakah itu artinya Amran kembali berkhianat dengan orang yang sama, dan membuat Sri terluka? Demi Allah, Ana tidak akan rela jika hal itu benar terjadi. Dia tidak akan sanggup melihat awan mendung kembali menggelayuti wajah Sri, jika dulu dia Ana tidak ada di sana untuk menghentikan tragedi perselingkuhan itu, maka kali ini Ana tidak akan diam. Dia akan berusaha untuk membuat Amran dan juga Sri tetap bersama, tanpa ada orang ketiga, walaupun itu adalah Ibu kandung suaminya sendiri. “Kamu ngomong apa, Mas? Kamu tahu dari mana? Dan kenapa Bapak memberi uang pada Ibu Nuraini?” tanya Ana bertubi-tubi. “Aku tahu, sebab aku melihat sendiri Bapak yang memberikan uang itu. Kami ke sawah bersama, tetapi Bapak pergi tiba-tiba. Awalnya aku sama sekali tidak
529. Dusta atau Nyata? (Bagian C)Ana bisa melihat wajah Nuraini yang berubah pias, namun dia masih berpikir positif. Mungkin wanita paruh baya itu gugup karena ditanya Abi dengan nada tajam seperti itu, Ana mengamati Nuraini sama seperti Abi yang memaku pandangannya pada Ibu kandungnya itu."Aku dilarang oleh Amran dan juga Sri untuk menemuimu, mereka mengancamku dan juga menekanku agar aku tidak menunjukkan wajahku di depanmu!" kata Nuraini dengan lantang. "Mereka yang memisahkan kita, bukan aku yang tidak ingin menemuimu. Kau anakku, mana mungkin aku tega menelantarkan mu hingga berpuluh-puluh tahun lamanya!" kata Nuraini lagi.Ana langsung tertegun, dia tidak percaya jika kedua mertuanya melakukan hal tersebut. Mereka adalah orang yang baik, tidak mungkin mereka menghalangi seorang Ibu bertemu dengan anaknya.Lain Ana, lain pula dengan Abi. Lelaki itu hanya diam, dan juga tidak memberikan respon apapun. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, dengan tangan yang bersedekap di depan da
528. Dusta atau Nyata? (Bagian B)Rambut yang dicat merah, baju kaos ketat, dan celana jeans yang tak kalah ketat. Gila! Ibu kandung suaminya ini seperti anak remaja saja, padahal Ana yakin kalau umurnya pasti tidak jauh berbeda dengan Sri.Ana saja yang baru berusia dua puluh lima tahun, malu jika harus berpakaian seperti itu. Ah ... tidak, tidak. Aina yang masih berumur sembilan belas tahun pun, tidak pernah berpakaian seperti itu.Padahal adik bungsunya itu masih remaja, tahu mengenai fashion yangs edang trend, tetapi alhamdulillahnya Aina sangat menjaga tubuhnya dari pakaian yang terbuka dan selalu memakai jilbab yang bisa menjaga auratnya.Yah, semakin tua bumi ini, semakin banyak tingkah penghuninya. Huft! Ana mendesah kasar, ingin julid tapi Nuraini adalah Ibu kandung suaminya, dan itu artinya dia termasuk mertua Ana juga.Tetapi tidak mau julid pun Ana tidak mampu, serba salah jadinya.“Itu kan kata-kata kamu doang, aslinya mah saya nggak tahu apa yang ada di hati kamu! Bisa a
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)527. Dusta atau Nyata? (Bagian A)"Mas …." Ana mendesah, menggeleng pelan sambil menatap Abi dengan pandangan dalam.Wanita itu berharap kalau suaminya tidak akan bertindak gegabah, bukankah tidak boleh jika mengambil keputusan saat sedang emosi? Ana tidak mau, Abi menyesal pada akhirnya.Sedangkan Abi sendiri belum mengendurkan sedikitpun wajahnya yang tegang, dia jelas-jelas menunjukkan raut ketidaksukaannya dan juga raut keberatan akan kehadiran Nuraini di sini."Bukankah saya sudah bilang berkali-kali? Jangan datang dan mencoba untuk merusak kebahagiaan kami!" Suara Abi terdengar lantang. "Sampai kapanpun, ibu saya hanya ada satu dan itu tidak akan berubah!" lanjutnya lagi "Iya, ibumu hanya ada satu orang, dan itu adalah aku! Bukan wanita jahannam itu!" Nuraini menyahut tak kalah lantang. "Yang membawamu ke dunia ini adalah aku, bukan dia!" katanya lagi, sambil memelototi Abi.Abi mendengus, dan mengalihkan pandangannya ke a
526. Ibu Kandung Abi (Bagian C)"Saya yakin Ana tidak akan berbuat seperti itu. Lagi pula Ana sudah tahu yang sebenarnya, saya sudah jujur kepadanya sejak beberapa bulan yang lalu. Jadi tidak ada lagi yang harus saya takutkan!" kata Abi dengan nada mantap.Wanita itu menaikkan sebelah alisnya, kemudian dia terkekeh sinis. Dia mengangguk-angguk mengerti, dan menatap Ana dengan pandangan dalam."Kalau begitu, aku tidak akan sungkan lagi," katanya dengan nada pelan. "Saya adalah Nuraini—Ibu kandung Abi!" kata wanita itu sambil menyeringai kecil.Ana tidak menyahut, dan hanya menatapnya dengan diam. Namun, tak lama kemudian wanita itu mengangguk dan berusaha menyunggingkan senyum kecil sebagai balasannya."Saya Ana—istri dari Mas Abi!" ujar Ana dengan mantap. "Maaf jika saya tidak mengenali Ibu sebelumnya," lanjutnya lagi.Abi dan juga Nuraini tentu saja merasa heran, bagaimana bisa Ana bersikap setenang ini? Wanita itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, tidak ada keterkejutan a
525. Ibu Kandung Abi (Bagian B)"Oh, ketemu sama Mas Abi? Ibu kenal juga sama suami saya?" tanya Ana dengan alis yang terangkat tinggi. "Jarang-jarang ada teman SMA, yang sudah lama tidak bertemu, tapi mengenal anak dari temannya tersebut," kata Ana lagi.Wanita itu menatap Ana dengan pandangan tajam, dia memindai penampilan istri Abi ini dengan alis yang terangkat tinggi. Penampilan Ana terlihat sederhana, hanya memakai tunik, dan juga kulot, serta jilbab instan di kepalanya.Tidak ada perhiasan emas di tangannya, baik itu di jari, maupun di pergelangan tangan Ana tidak ada apapun. Wanita itu kemudian menyunggingkan senyum sinis, dan mengambil kesimpulan kalau sepertinya anak kesayangannya ini salah memilih istri.Secara keseluruhan, Ana dinilai tidak layak untuk bersanding dengan Abi!"Itu bukan urusan kamu, itu urusan saya dengan Abi. Kamu tidak berhak ikut campur dengan urusan kami!" ujar wanita itu dengan nada kesal."Lah, nggak berhak bagaimana, Bu? Saya ini adalah istri Mas Abi
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)524. Ibu Kandung Abi (Bagian A)POV AUTHORAbi langsung mendengus sinis saat mendengar kata-kata wanita itu, dia kemudian terkekeh kecil dan menolehkan pandangannya ke arah tembok. Selama beberapa saat, dia terpaku menatap tembok itu dengan pikiran yang gamang.Di dalam hati lelaki itu, jelas dan juga mutlak, dia merasa keberatan dengan kehadiran wanita ini di rumahnya. Walaupun wanita itu mengaku sebagai Ibu kandungnya, tetapi tetap saja Abi merasa tak suka.Ibu yang dia kenal semenjak dia kecil hingga sekarang ini adalah Sri. Wanita itulah yang Abi anggap sebagai Ibu, dan juga penolongnya. Jelas saja Abi merasa berat, untuk menerima orang lain masuk ke dalam kehidupannya. "Jangan bersikap seperti orang yang tidak tahu tata krama, Abi! Kamu ternyata sudah dibesarkan dengan cara yang sangat buruk oleh Sri!" kata wanita itu dengan sangat ketus, dan juga mengejek.Abi langsung mendecih sinis, dia menolehkan pandangannya dan menata