LebaranTak banyak yang bisa kulakukan setelah keputusan itu jatuh, Aku berusaha melanjutkan hidupku meski hatiku hancur remuk redam luar biasa. Dalam kepedihan yang kusimpan sendirian, aku mulai menyadari betapa hancur dan remuknya hati Zubaidah. Seperti perasaan yang sama saat aku menipunya dan punya istri lain, kini aku merasakan luka itu menusuk hatiku, begitu Zubaidah memilih untuk meninggalkanku. Berjam-jam aku menepi ke atap kantor untuk menangis dan melampiaskan penyesalan terdalam. Mungkin orang melihatku tenang dan tegar tapi sebenarnya aku tenggelam dengan rasa bersalah dan hancur karena separuh jiwaku sudah dibawa pergi oleh Zubaidah.Aku seperti kehilangan semangat, tapi aku sadar hidupku terus berlanjut karena Eva dan bayi kami membutuhkanku. Aku harus tetap terlihat baik-baik saja dan tersenyum di hadapan mereka berdua sebelum Eva merasa sedih dan terkena sindrom baby blues, itu sangat berbahaya dan bisa mengancam jiwanya terlebih membahayakan anak kami. *"Apa Hari l
Hari idul Fitri kau putuskan untuk tidak pulang ke rumah karena kebetulan ke rumah ayah saat itu banyak tamu, ada kerabat dan keluarga kami yang sepakat untuk berkumpul di rumah Ayah. Menjelang sore suasana sudah sepi, selepas salat Magrib kami makan malam bersama menikmati sisa hidangan lebaran bersama adik dan orang tuaku. Usai makan kami duduk-duduk di teras sambil mengobrol dan minum teh. "Kupikir kau harus kuat menghadapi kenyataan dan membesarkan perasaan putrimu, tanpa kehadiran ayahnya hidupnya tidak akan mudah tapi kau harus mengambil peran yang baik sebagai orang tua tunggal.""Iya, ayah, mulai ke depannya aku takkan berusaha untuk lebih membahagiakannya dan memberinya banyak waktu.""Dan ya, kembalilah bekerja sebagai guru, kau rela meninggalkan impian dan apa yang kau sukai demi menikahi mantan suamimu itu, sekarang mungkin waktunya untuk kembali pada mimpi-mimpimu yang tertunda.""Apa itu masih mungkin?""Tentu saja. Kepala sekolah tempat kau bekerja dulu adalah teman
Beberapa minggu setelah kejadian Mas Hisyam diusir oleh Ayahku dan ditolak oleh anaknya sendiri, aku mulai bertekad untuk menata kembali kehidupanku. Suasananya memang berubah tanpa kehadiran lelaki itu, ada kesepian dan memori keheningan tersendiri yang kadang membuatku masih bersedih tapi aku lebih banyak bertekad untuk bangkit lagi dan mengalihkan semua pikiran itu. Mungkin karena melihatku menjanda dan ditinggal dengan cara yang tragis, tetangga mulai mengasihani dan membicarakan tentang kehidupan kami yang tiba-tiba berubah. Tapi, aku tidak terpengaruh atas itu, terlebih pada komentar-komentar tidak benar yang menyebutku tidak bisa mengurus suami dengan baik. Toh mereka tidak tahu situasi dan keadaan rumah tangga kami serta bagaimana dedikasiku sebagai seorang istri. Aku tidak meragukan pelayananku dan aku tidak menyesali apa yang terjadi. "Mungkin dia tidak memberinya kepuasan sehingga ada lelaki itu cari perempuan lain.""Atau mungkin suaminya bosan dengan penampilan istrinya
Tentu saja Eva geram mendengar perkataanku, tentulah dia merasa amat tersinggung begitu aku menyebutnya sebagai pelakor nekat yang telah menghancurkan keluarga orang lain dan mengubah perasaan Mas Hisyam.Aku yang memang sudah tidak mau banyak bicara lagi memutuskan untuk segera memberikan badan dan meninggalkan lorong supermarket itu, tapi, langkahku tersaki begitu aku berpapasan dengan lelaki itu."Sayang, kamu di sini!" Eva langsung berseru dan menghampiri lelaki yang benar-benar berpapasan denganku dengan cara berhadap hadapan itu.Saat Eva mendekatinya wanita itu langsung memeluk mantan suamiku, ya berkelahi dengan mesra di tangan mas Hisyam sementara lelaki yang masih terkejut itu gugup dan hanya bisa menatapku dengan melekat. Jelas bahwa eva memamerkan kemesraan sekaligus mengolok-olok diri ini, seakan-akan mereka sangat bahagia dan aku adalah wanita malang yang akan merana seumur hidup karena tidak menemukan lelaki. Masya Allah."Sayang aku nggak nyangka kalau kamu akan dat
"Apa ibumu mengatakan sesuatu?""Ayah tahu sendiri kalau Bunda sudah diam itu artinya dia sudah sangat marah."Hanya itu isi percakapan yang aku baca antara ayah dan anaknya. Setelah memahaminya, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam sambil menyadari bahwa Elina sangat mengkhawatirkan diri ini, sampai ia berani menegur ayahnya. *"Bunda lagi ngapain?" Anakku yang sudah siap ke sekolah menyapa diri ini yang masih membaca pesan di ponsel dari ayahnya. "Siapa yang mengirim pesan sampai Bunda tercenung begitu?" "...apa ayah?""Ya.""Kenapa tidak blokir saja nomornya agar tidak mengganggu.""Ayah mau memberitahu Bunda kalau kau menegurnya?""Kuharap ada pengaruhnya.""Berharap orang yang sedang jatuh cinta untuk berubah adalah hal yang tidak mungkin," balasku."Kalau begitu, Elina setidaknya telah berusaha," balas anakku."Bila Bunda tiba tiba meninggalkan dunia ini, apa yang akan kau lakukan?""Pulang ke rumah nenekku dan aku tidak akan mengemis apapun dari ibu tiri," balasnya. "
Selagi asyik mengobrol dengan Pak Jaka, tiba-tiba teman guru lainnya yang sudah cukup dekat denganku masuk ke ruang guru. Dia Bu Kiki, guru Fisika. "Cieee, ada yang ngobrol berdua aja di sini." Dia yang ceplas-ceplos rada centil dengan tubuh mungil dan rambut tergerai itu nampak memandang dan menggoda kami bergantian. "Kami tidak ada kelas pagi, jadi aku dan bu Zubaidah mengobrol tentang kurikulum dan murid-murid.""Oh ya, Aku khawatir ini adalah bentuk frekuensi alam untuk mempertemukan dua orang yang sedang melajang.""Ya ampun Bu Kiki, yang benar saja...." "Hahaha. Aku benar-benar merasa kaku dengan panggilan bapak dan ibu, tapi karena kita berada di lingkungan formal... ya sudahlah. Di luar sana tidak perlu saling memanggil dengan kata itu, aneh kedengarannya karena kita masih muda." Dia masih berkata dengan kedua tangannya yang bergerak centil. "Ya aku setuju denganmu," ujar Pak Jaka sambil membalas Kiki tapi tatapan matanya terus menatap pada diri ini, kiki yang menyadarin
Dengan geramnya pria itu menatapku, wajahnya menegang dengan bola mata yang merah menunjukkan kemarahan yang luar biasa. Dari balik kisi-kisi pintu halaman, aku bisa melihat dengan jelas bahwa ia benar-benar terbakar oleh kemurkaannya."Ada denganmu, kenapa kau terbakar seperti itu?!" tanyaku selepas memastikan bahwa aku telah mengunci pintu gerbang dari dalam. "Kau harusnya menjaga dirimu jawabnya dengan berapi-api."Mungkin akhirnya kau menyadari ternyata seperti itulah sakit yang kurasakan begitu mengetahui kau menikahi wanita lain tanpa izinku." Lelaki itu terbelalak, sedang aku hanya tersenyum kemudian beranjak masuk ke dalam rumah, kuajak anakku yang sejak tadi hanya menatap ayahnya dengan ekspresi tidak habis pikir. *Menjelang akhir musim penghujan, gerimis tidak pernah berhenti di pagi hari, hal demikian membuatku sedikit kesal karena berangkat kerja menggunakan motor akan menyulitkanku, sulitnya berkendara mengenakan jas hujan sementara jalan-jalan bisa saja tergenang dan
Tertegun diri ini mendengarkan jawabannya, melihat matanya yang menatapku tanpa berkedip aku langsung menundukkan kepala agar aku bisa mengendalikan diri dan perasaanku."Saya kagum atas cerita hidup dan bagai mana perjuangan Mbak Ida. Namun saya tidak akan berani untuk bersikap lebih jauh dari itu. Permisi, saya akan ke kelas dulu."Tidak kujawab ucapannya melainkan hanya kuperhatikan gerak-geriknya dan bagaimana cara ia tersenyum lalu meninggalkanku sendiri yang di ruangan guru. Setelah beberapa saat, aku kembali pada kesadaranku bahwa aku juga harus menuju ke kelas dan memberi pelajaran pada anak-anak. *Mungkin pengakuannya mengubah sudut pandang atau menciptakan kecanduan diantara kami berdua, setidaknya itu yang ku pikirkan dari pagi sampai sampai jam kelas berakhir, lalu ada jeda istirahat untuk salat dzuhur dan makan. Kupikir dia tidak akan berani menatapku lagi, tapi dari seberang lapangan tadi, saat ia berjalan bersama anak-anak didiknya, lelaki itu sempat tersenyum kepada