Kabar kejayaan Lastri akhirinya sampai juga di telinga Tejo. Bahkan berita kehamilan Indah pun sudah Tejo katahui, itulah penyebab pundi pundi kekayaan Lastri yang semakin menggunung.
Hati Tejo kian memanas ketika tau kini Lastri mampu mengibarkan sayapnya ke kancah internasional. Sementara usaha kelapanya sendiri kian hari semakin terpuruk. Bahkan hampir bangkrut, hanya gara-gara ia salah memberikan tumbal.
Tejo masih terus memutar otaknya, Mencari cara untuk mengembalikan kembali kejayaannya. Namun, siapa lagi yang akan menjadi tumbal pesugihannya selanjutnya. Karena semua orang disekelilingnya sudah menjauhinya.
Pria yang sedang duduk di sofa ruang televisi itu terus memperhatikan gerak gerik Damar, putra semata wayangnya. Pemuda tampan itu dengan telaten menyuapi Wini yang sedang duduk di kursi roda. Bahkan pemuda itu terlihat tertawa renyah menghibur Wini yang berusaha keras membuat lekukan di sudut bibirnya yang suda
Tejo masih memperhatikan Damar yang sedang sibuk menyuapi Wini di meja makan. Pemuda berkulit putih itu terlihat begitu telaten mengurus ibunya yang telah menderita stroke beberapa tahun yang lalu."A' Bu!" perintah Damar mendekatkan sendok berisi nasi ke dekat mulut Wini.Wanita yang sudah tak mampu berbicara itu membuka mulutnya perlahan. Kemudian mengunyah makanan yang telah Damar masukan ke dalam mulutnya dengan sangat pelan sekali."Nah, ibu makan yang banyak ya biar cepat sembuh!" ucap Damar melekatkan piring yang telah kosong itu ke atas meja makan."Wah, lagi pada makan ini!" ucap Tejo yang baru datang dan menarik kursi tepat di hadapan Damar.Wajah' Damar berubah masam, netranya berpaling dari pria yang kini duduk tepat di hadapannya dan menunjukan sikap hangat kepadanya."Lihat nih, bapak belikan kamu daging sapi Pagang kesukaanmu!" ucap Tejo meletakan sebu
'Aku harus keluar dari dalam rumah ini. Karena jika tidak, lelaki bangs*t itu pasti akan menjadikan aku tumbal selanjutan.'Wini memperhatikan Tejo yang sedang sibuk menghitung uang yang sangat banyak sekali. Setelah kematian Damar, pundi-pundi kekayaan Tejo semakin bertambah. Bagaimana tidak, tumbal permintaan Nyai Ratu dapat menjadikannya kaya tujuh turunan."Akhirnya, aku jadi kaya raya!" Tejo menghujani dirinya dengan lembaran kertas merah yang dihamburkan ke udara."Aku kaya, Win!" seru Tejo kembali menghambur-hamburkan uang yang berada di atas ranjang.Setelah puas, Tejo mengumpulkan kembali lembaran merah itu dan menyusunnya. Sebagian ia masukan ke dalam lemari brangkas yang berada di dalam kamarnya dan sebagai kecil ia masukkan ke dalam dompetnya.Wajah Tejo nampak begitu bahagia, ia berjalan menghampiri Wini yang duduk di atas kursi roda di samping pintu kamar yang sedari tadi melihat tingkah konyolnya."Win, rumah ini terasa sepi s
Langit terlihat gelap, tetapi bukan berarti malam. Matahari meramun di balik mendung hitam memberikan cahaya yang tidak terlalu terang."Kita mau kemana, Mas?" tanya Indah terus mengekori langkah kaki Prapto yang sedari tadi mengandeng tangannya. Indah di merasa sudah berjalan sangat jauh sekali. Namun entah mengapa seperti sedang berputar-putar."Tunggu saja, sebentar lagi kita akan sampai." Prapto sekilas menoleh pada Indah yang terlihat mulai kelelahan.Indah menyapu pandangannya ke sekeliling. Tidak ada satupun orang yang ia jumpai sepanjang ia berjalan bersama suaminya. Warung Bu Sri yang biasa sangat ramai kini sepi pengunjung. Bahkan tidak terlihat wanita pemilik warung nasi padang yang terkenal sangat ramah itu."Mas, kok tumben ya desa kita sepi begini?" tutur Indah bergidik, sedari tadi tengkuk Indah terus meremang.Prapto hanya diam. Terus menuntun tangan Indah menyusuri jalanan kampung Ranupani."Mas, ini tempat
Indah sepertinya sudah melupakan kejadian di rumah tua Belanda milik nenek-nenek menyeramkan itu. Namun, hati kecilnya tidak dapat dibohongi. Sayangnya, semakin Indah berusaha untuk mengingat-ingat kejadian itu, ia justru seperti orang yang kehilangan ingatan."Ambilah, Indah!" seru Lastri membuat Indah tergeragap."I-iya, Bu!" Indah menatap pada gelas kopi hitam yang ada di tangan Lastri.Dengan tangan bergetar Indah meraih gagang gelas kopi yang Lastri sodorkan. "Bu, aku melihat bapak di halaman belakang," ucap Indah. Ia mencoba untuk mengadukan apa yang ia lihat pada Ibunya.Lastri hanya tersenyum. "Kamu hanya sedang kecapean, Ndah. Dari kemarin kamu tidur terus, sampai kamu nggak bangun-bangun," ucap Lastri."Apa?" Indah mengeryitkan dahinya, "Dari kemarin aku tidur!" Indah menggaruk kepalaku yang tidak gatal.'Tapi kenapa aku tidak merasa apapun, ya!" batin Indah.
Indah duduk termenung di samping jendela kamarnya. Kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini sangat membuat wanita berbadan dua itu hampir stres. Mulai dari rumah yang terasa berbeda. Prapto yang hanya datang saat malam hari tiba untuk meminta jatah dan menghilang saat pagi menjelang. Serta Lastri yang sering tiba-tiba muncul dan memberikannya kopi hitam yang rasanya sangat tidak enak sekali dan setelah itu Indah seperti orang yang kebingungan.Indah membulatkan matanya, ayunan yang berada di belakang rumah kembali bergerak. Indah melihat' ke sekeliling. Daun-daun nampak tenang dan tidak ada gerakan apapun. Namun, ayunan kosong itu terus bergerak ke depan dan kebelakang. Indah semakin ketakutan, ia bangkit dari bangku yang berbeda di dekat jendela, meskipun air matanya terus mengawasi ayunan yang berada di bawah pohon nangka di belakang rumahnya."Indah!"Wanita itu melonjak, "Ibu!" sergah Indah saat melihat Lastri sudah berada di ambang pintu kamarnya.&n
Indah berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti saat melihat Lastri sedang menyeduh kopi. Indah ragu untuk menyapa wanita aneh itu. Ia memilih untuk memperhatikan gerak gerik Ibunya dari balik dinding dapur.Lastri menuangkan sesuatu dari ceret yang ia angkat dari atas kompor. Aroma anyir semakin memenuhi ruangan menusuk indra pernapasan. Tenyata yang keluar dari dalam ceret itu bukanlah kopi melainkan darah segar yang telah Lastri rebus di tambahkan dengan bunga kantil hitam.Perut Indah seketika mual, hampir saja ia memuntahkan isi perutnya di tempat ia berada. Indah bergegas pergi berlari menuju pintu utama, ketakutan"Jadi selama ini yang aku minum adalah darah." Indah merasa sangat jijik sekali.Bruk!Indah menabrak seseorang yang muncul dari balik pintu yang terbuka."Mas Prapto!" Indah terkejut melihat Prapto telah kembali. Ia menjatuhkan pelukan pada lelaki itu, ketakutan."Ada apa, Dek?" tanya Prapto."Aku takut, Mas!
Tubuh Indah bergetar hebat. Peluh membanjiri tubuh wanita itu. Ingin rasanya Indah berlari saat makhluk berbulu hitam itu semakin mendekat ke arahnya. Namun, rasa sakit pada perutnya membuat wanita itu tidak dapat bangkit apalagi berjalan."Dek, kemarilah! Berikan bayi itu padaku.Indah berusaha menarik tubuhnya. Namun janin itu seperti mengganjal di bagian kemaluannya, hendak keluar."Jangan, jangan lahir dulu, Nak!" lirih Indah berusah menahan bayi yang berada di dalam perutnya.Dalam rasa ketakutannya, tanpa henti Indah melafalkan kalimat Allah di dalam hatinya."Tolong!" teriak Indah saat janin yang berada di dalam perutnya merosot melalui jalan lahir.Oek ... Oek ... Oek .."Allah!" lirih Indah dan semua menjadi terasa gelap gulita.____Dua minggu Indah menghilang dari rumah Lasri. Tepatnya saat malam Jumat dua minggu lalu. Tidak ada yang tahu kemana perginya Indah, begitu juga dengan Prapto yang semalam suntuk menem
Kiih ... Kih ... Kih ...Tawa itu semakin nyaring terdengar. Dari sosok wanita dengan wajah membusuk yang melayang-layang di udara. Kedua kakinya melambai-lambai di balik gaun putih yang ia kenakan.Prapto bergidik, ia menarik diri bersembunyi di balik pintu. Sementara Ustaz Zul tidak berhenti untuk melafalkan kalimat-kalimat Allah."Pergi dari sini!" sentak Ustaz Zul meradang.Kuntilanak itu justru tertawa semakin nyaring. "Kih ... Kih ... Kih ...! Jangan menganggu urusan aku manusia!" Suara menyeramkan dari mahluk itu membuat Prapto semakin ketakuatan.Ustaz Zul memejamkan matanya. Bibirnya berkomat kamit membaca doa sapu jagad. Tiba-tiba angin cukup kencang menyapu tubuh Ustaz Zul yang berdiri di teras rumah. Hingga lelaki itu jatuh tersungkur.Bruak!Prapto segera berlari, hendak menolong Ustaz Zul. Namun, tiba-tiba kakinya seperti ditarik paksa oleh seseorang yang tak kasat mata."Tolong!'Sreeet ...
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n