Indah berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti saat melihat Lastri sedang menyeduh kopi. Indah ragu untuk menyapa wanita aneh itu. Ia memilih untuk memperhatikan gerak gerik Ibunya dari balik dinding dapur.
Lastri menuangkan sesuatu dari ceret yang ia angkat dari atas kompor. Aroma anyir semakin memenuhi ruangan menusuk indra pernapasan. Tenyata yang keluar dari dalam ceret itu bukanlah kopi melainkan darah segar yang telah Lastri rebus di tambahkan dengan bunga kantil hitam.
Perut Indah seketika mual, hampir saja ia memuntahkan isi perutnya di tempat ia berada. Indah bergegas pergi berlari menuju pintu utama, ketakutan
"Jadi selama ini yang aku minum adalah darah." Indah merasa sangat jijik sekali.
Bruk!
Indah menabrak seseorang yang muncul dari balik pintu yang terbuka.
"Mas Prapto!" Indah terkejut melihat Prapto telah kembali. Ia menjatuhkan pelukan pada lelaki itu, ketakutan.
"Ada apa, Dek?" tanya Prapto.
"Aku takut, Mas!
Tubuh Indah bergetar hebat. Peluh membanjiri tubuh wanita itu. Ingin rasanya Indah berlari saat makhluk berbulu hitam itu semakin mendekat ke arahnya. Namun, rasa sakit pada perutnya membuat wanita itu tidak dapat bangkit apalagi berjalan."Dek, kemarilah! Berikan bayi itu padaku.Indah berusaha menarik tubuhnya. Namun janin itu seperti mengganjal di bagian kemaluannya, hendak keluar."Jangan, jangan lahir dulu, Nak!" lirih Indah berusah menahan bayi yang berada di dalam perutnya.Dalam rasa ketakutannya, tanpa henti Indah melafalkan kalimat Allah di dalam hatinya."Tolong!" teriak Indah saat janin yang berada di dalam perutnya merosot melalui jalan lahir.Oek ... Oek ... Oek .."Allah!" lirih Indah dan semua menjadi terasa gelap gulita.____Dua minggu Indah menghilang dari rumah Lasri. Tepatnya saat malam Jumat dua minggu lalu. Tidak ada yang tahu kemana perginya Indah, begitu juga dengan Prapto yang semalam suntuk menem
Kiih ... Kih ... Kih ...Tawa itu semakin nyaring terdengar. Dari sosok wanita dengan wajah membusuk yang melayang-layang di udara. Kedua kakinya melambai-lambai di balik gaun putih yang ia kenakan.Prapto bergidik, ia menarik diri bersembunyi di balik pintu. Sementara Ustaz Zul tidak berhenti untuk melafalkan kalimat-kalimat Allah."Pergi dari sini!" sentak Ustaz Zul meradang.Kuntilanak itu justru tertawa semakin nyaring. "Kih ... Kih ... Kih ...! Jangan menganggu urusan aku manusia!" Suara menyeramkan dari mahluk itu membuat Prapto semakin ketakuatan.Ustaz Zul memejamkan matanya. Bibirnya berkomat kamit membaca doa sapu jagad. Tiba-tiba angin cukup kencang menyapu tubuh Ustaz Zul yang berdiri di teras rumah. Hingga lelaki itu jatuh tersungkur.Bruak!Prapto segera berlari, hendak menolong Ustaz Zul. Namun, tiba-tiba kakinya seperti ditarik paksa oleh seseorang yang tak kasat mata."Tolong!'Sreeet ...
Semua barang-barang milik Prapto telah di kemasi dan di masukan ke dalam koper. Pagi-pagi buta, pembantu rumah tangga Lastri menemukan Prapto tertidur di belakang rumah berlantai dua milik Lastri. Semenjak berada di rumah Lastri, dia selalu diganggu oleh makhluk tidak kasat mata. Apalagi kini Indah juga menghilang secara misterius."Den Prapto yakin, mau pulang ke kampung seberang?" tanya wanita paruh baya pada Prapto yang sedang berkemas."Iya, Bik. Saya mau pulang ke rumah saya saja. Di sini ... !" Prapto menjeda ucapannya dengan wajah getir, takut jika ada yang mendengar.Bibik yang berdiri di ambang pintu berjalan mendekati Prapto. "Den Prapto ada yang gangguin ya?" ucap Bibik dengan nada berbisik. Sorot matanya serius melihat pada Prapto."Kok Bibik tau?" Prapto mengernyitkan dahi membalas heran tatapan Bibik.Bibik mendengus berat. "Bibik juga sering digangguin, Den. Rumah ini memang angker," seloroh Bibik dengan nada suara berbisik. "Apalagi
Prapto terduduk lesu di depan teras rumahnya. Wajahnya terlihat sangat murung sekali. Bayangan Indah yang kerap kali muncul di dalam benaknya, semakin membuat lelaki itu terlihat sedih."Dek, kamu kemana? Mas kangen," lirih Prapto dengan tatapan menerawang jauh.Prapto beranjak masuk ke dalam rumah. Membiarkan asap kopi yang baru ia seduh mengepul ke udara. Sesaat kemudian Prapto kembali duduk pada bangku teras dengan sebuah benda pintar yang berada di tangannya. Dengan lincah, tangan itu memanggil nomor ponsel ibu mertuanya, Lastri.Tut ... Tut ...Tut ...Beberapa kali hanya sambungan telepon yang terdengar. Kemudian diakhiri dengan suara operator yang menjawab. Prapto menarik ponsel dari dekat telinganya, kemudian berdecak kesal."Kenapa Ibu tidak mau mengangkat teleponku!" guman Prapto kesal. Ia kembali menekan tombol memanggil pada layar ponsel untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi tidak ada yang mengangkat panggilannya."Apakah Ibu sed
"Indah ... Huhu .. !" Lastri berteriak histeris saat mengetahui putri satu-satunya kini menjadi gila.Indah menimang boneka lusuh yang ada di dalam dekapannya. Seperti tidak peduli dengan Lastri yang kini sedang menangisinya."Indah, kenapa kamu jadi seperti ini, Nak!" tangis Lastri pecah."Sudah, Bu, sabar!" Prapto berusaha menenangkan Lastri. Wanita itu nampak sangat syok sekali melihat Indah yang kembali pulang dalam keadaan seperti itu."Kasian sekali ya, Indah! Pasti karena anaknya hilang Indah jadi seperti ini.""Saya benar-benar tidak menyangka jika nasib Indah akan berakhir setragis itu."Hati Lastri semakin sakit, mendengar para tetangga yang sedang mencibir keadaan Indah. Sepertinya harta yang ia miliki tidak dapat membuat orang-orang itu segan kepadanya."Prapto, tolong bawa Indah istirahat di dalam kamar," titah Lastri pada Prapto. Ia tidak mau Indah dijadikan bahan gunjingan oleh para tetangganya.Lelak
Sesaat Lastri dan Sukemi saling bersitatap dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing."Ma-maksud kamu apa Sukemi?" lirih Lastri dengan wajah takut. Ia kembali mengulanginya pertanyaan pada Sukemi."Pesugihan itu tidak bisa digagalkan, Mbak Lastri atau ...!" Sukemi menjeda ucapannya. Wajahnya seketika berubah pucat."Atau apa?" Lastri mengguncang kedua bahu Sukemi."Atau, nyawa mbak sendiri yang akan menjadi tumbal berikutnya.""Apa?" Kedua mata Lastri seketika mendelik. Bibirnya bergetar dengan wajah' ketakutan."Jangan asal bicara kamu, Sukemi. Aku tidak pernah membuat perjanjian itu dengan Ki Gendeng. Aku hanya menyanggupi untuk menukar kekayaanku dengan janin," debat Lastri dengan rahang mengeras. Antara kesal dan takut."Justru itu, Mbak, jika sudah tidak ada lagi janin yang akan Mbak jadikan tumbal, lalu janin siapa lagi Mbak yang akan menggantikannya?" debat Sukemi semakin membuat Lastri ketakutan.Last
Wusss ....Srrkk ...Lastri terus berlari menembus semak belukar. Menabrak apapun yang berada di hadapannya. Wanita bertubuh ular itu terus mengejar Lastri.Sttttt ....Wanita bertubuh ular dengan kepala manusia itu berdesis, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sesekali lidah pajang bercabang itu menjulur dan menimbulkan suara. Lastri bersembunyi di balik pohon besar, ketakutan."Ya Tuhan, tolonglah aku!" lirih Lastri dalam hati. Perlahan ia mengintip dari balik pohon melihat ke arah siluman ular itu. Namun, hantu bertubuh ular itu seketika menghilang.Suasana yang mencekam kembali hening. Hanya lolongan anjing yang saling bersahutan satu sama lain. Lastri menarik dirinya dari balik pohon besar, mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan tatapan waspada, untuk memastikan keadaan jika hantu siluman ular itu benar-benar sudah pergi.Dada Lastri bergerak naik turun, bersama deru nafas yang memburu. Wajahnya terlihat ketakua
Para pendaki yang menolong Lastri mengantarkan wanita itu pulang. Hingga beberapa hari Lastri dilanda sakit, dengan tubuh demam hampir setiap malam. Terpaksa pembantu rumah tangganya yang mengurus Lastri. Karena Indah tidak mungkin bisa merawat ibunya."Den, Aden jangan pergi ke mana-mana. Bibik takut, di rumah ini sendirian!" Wanita yang usianya hampir setengah abad lebih itu menghampiri Prapto yang sedang menyuapkan makanan ke dalam mulut Indah.Prapto menghela nafas panjang, lalu meletakkan sendok di atas piring. "Sebenarnya aku juga takut, Bik, tinggal di rumah ini. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau saya pergi kasian Indah tidak ada yang menjaganya." Prapto mengalihkan tatapannya kepada Indah yang masih menimang boneka lucu itu seperti anaknya sendiri. Mulutnya mengunyah makanan yang masih penuh, menjatuhkan tatapan pada boneka yang ada di pangkuannya.Bibik mengangguk lembut, wajahnya terlihat berpikir sesaat. "Ya sudah, Bibik mau mengantarkan makanan ini ke
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n