Pundi-pundi Lastri semakin bertambah banyak dan banyak lagi. Wanita itu sudah tidak berani lagi untuk mencari pertolongan untuk membebaskan dirinya dari pesugihan yang selama ini ia ikuti. Karena Suro mengancam, jika Lastri mencari bantuan maka ia akan membunuh Indah, putri satu-satunya dan sebagian gantinya ia harus siap memberikan tumbal kepada Suro setiap 3 tahun sekali dan diapun harus siap melayani Suro setiap malam Selasa Kliwon seperti suaminya sendiri.
Lastri mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tidak menemukan keberadaan Prapto ataupun Indah di lantai bawah. Yang ada hanyalah Bibik yang sedang menyiapkan makanan untuk para karyawan Lastri di dapur.
"Bik!" Panggil Lastri pada wanita yang sedang sibuk berkutat dengan spatula dana wajan yang ada di atas kompor.
"Iya, Bu?" sahut Bibik sekilas melihat pada Lastri yang berdiri di depan kulkas mengambil sebotol minuman lalu meneguknya.
"Indah sama Prapto di mana, Bik?" tanya Lastri.
"Tolong Izinkan kami untuk berbicara dengan putra kami," ucap wanita berkerudung cokelat itu saat melihat kedatangan Prapto dan menantunya, Wanita dengan kerudung navi seraya mengedong boneka bayi di tangannya.Lastri mengangguk, tanda mengizinkan. Senyuman yang tersungging dari bibir Prapto seketika memudar saat melihat semburat kekesalan dari wajah ibunya."Ibu ingin kamu meninggalkan Indah!" cetus wanita berkerudung cokelat pada Prapto yang kini sudah berada di depan teras rumah.Seketika wajah Prapto berubah mengeras dengan kedua alis yang saling mengadu. "Bu, ada apa dengan Ibu?" pekik Prapto terkejut."Kamu harus menurut dengan perintah ibumu ini, Nak, atau nyawamu dalam bahaya!" sahut lelaki yang berdiri di samping Prapto."Bapak, sebenarnya kalian ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba seperti ini," seloroh Prapto penasaran dengan sikap bapak dan ibunya yang tiba-tiba meminta dirinya untuk meninggalkan Indah."Bapak dan Ibu tenang saja, de
Sudah setengah perjalanan. Ustaz Ilham dan Lastri belum juga sampai di tempat pemujaan yang Lastri gunakan untuk mengambil pesugihan Genderuwo."Apakah masih jauh, Bu?" tanya Ustaz Ilham dengan nafas tersengal. Lelaki dengan peci hitam itu menghentikan langkah kakinya pada tanjakan yang cukup curam di punggung semeru.Nafas Lastri yang memburu pun menghentikan langkah kakinya. Sekilas ia menoleh ke belakang punggungnya. "Sebentar lagi, Ustaz!" ucap Lastri dengan wajah lelah. Butiran keringat membahasi kening wanita itu.Sesaat kemudian, setelah rasa lelah sedikit menghilang, ustaz Ilham dan Lastri kembali melanjutkan perjalanan mereka menaiki gunung, menembus hutan belantara.Suara burung berkicau saling bersahutan. Udara dingin hampir membekukan persendian. Cahaya matahari hampir tidak nampak karena tertutup oleh kabut yang cukup tebal. Ustaz Ilham dan Lastri hampir sampai di puncak Semeru.&
Lastri berusaha menguatkan pegangan tangannya pada sebuah batang pohon yang tertancap di tebing jurang. Mungkin saja jika Lastri tidak berpegang pada batang pohon itu, ia sudah mati jatuh ke dasar jurang."Tolong!" teriak Lastri. Cengkraman tangannya sudah mulai terasa lemas. Tubuhnya terombang-ambing di bibir jurang, sementara malam semakin merangkak naik."Tolong!" lirih Lastri terisak. Bayangan kematian seperti sudah berada di depan matanya.Butiran bening jatuh membasahi pipi bersama gerimis yang mulai turun. "Bagaimana ini!" lirih Lastri mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Gelap! Tidak ada sedikitpun cahaya yang dapat membantu penglihatannya. Semuanya gelap gulita. Batang kayu tempat Lastri berpegang semakin lama terasa semakin licin. Karena hujan yang turun semakin deras. Satu persatu cengkram tangan Lastri terlepas dan tubuh wanita itupun terpelanting jatuh masuk ke dalam jurang."Tidak .....!" suara teriakan Lastri menggema
Lelaki dengan baju koko berwarna biru laut itu sedang mondar mandir di depan rumah Lastri. Wajahnya terlihat gusar dan gelisah. Ustaz Zul segera menoleh ke arah Lastri yang terduduk di atas kursi roda saat wanita itu membukakan pintu rumah untuknya."Bu Lastri." Ustaz Zul segera menghampiri Lastri yang terlihat terkejut mendapati kedatangannya.Lastri tidak bergeming, ia menatap datar pada Ustaz Zul. Meskipun kehidupan tidak bisa ia sembunyikan."Bu Lastri, saya dengar ibu jatuh dari jurang?" Ustaz Zul menatap curiga pada Lastri yang duduk di kursi roda. Ustaz Zul merasa hilangnya Ustaz Ilham ada hubungannya dengan Ustaz Zul."Iya!" balas Lastri."Apakah, Bu Lastri sedang bersama Ustaz Ilham?" ucap Ustaz Zul dengan tatapan menuduh pada Lastri.Lastri tidak bergeming, bibirnya bergetar hebat dengan wajah ketakutan."Apakah sampai saat ini
"Benarkah?" Wajah Tejo terlihat senang bukan kepalang. Mendengar cerita hidup yang sedang Lastri lalui semakin hancur."Benar Tuan, bahkan anak dari ibu Lastri sekarang sudah menjadi wanita gila.""Ah, yang benar?" Tejo mengeryitkan dahi, seperti tidak percaya dengan yang lelaki itu katakan."Kasian, Tuan, masih muda sudah menjadi gila." Lelaki yang duduk di hadapan Tejo berucap dengan nada lesu. Wajahnya nampak kasian saat menceritakan kisah hidup Indah."Memang bagaimana ceritanya Indah bisa menjadi gila?" tanya Tejo penasaran."Tidak ada yang tau, Tuan, wanita yang sedang hamil besar itu tiba-tiba menghilang selama dua minggu dari rumahnya dan ia di temukan di tengah hutan sudah menjadi gila. Dia mencuri di pasar dan jadi bulan-bulanan warga.""Lalu bayinya kemana?" tanya Tejo.Lelaki yang tidak lain adalah tetangga Lastri itu menggeleng lembut. "Tidak ada yang tahu di mana perginya bayi itu, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Asih berjalan menghampiri Wini. "Jadi sejak tadi kamu sengaja mengawasiku?" cetus Asih menjatuhkan tatapan kesal pada Wini.Wanita dengan bibir penceng itu hanya terdiam dengan membalas tatapan takut pada Asih.Asih mendengus barat, ia terlihat lega. "Untung saja kamu struk dan tidak bisa bicara. Karena kalau saja kamu mengadu sama Mas Tejo, aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu!" ancam Asih dengan nada penuh penekanan."Asih, ada apa?"Tejo tiba-tiba muncul dari ruang tamu. "Loh, kenapa pas bunganya pecah?" seloroh Tejo melihat pecahan pas bunga di bawah kursi roda Wini."Aku nggak tahu, Mas, tadi aku dengar ada suara benda pecah jadi aku ke sini untuk melihatnya. Eh, ternyata pas bunga Mas Tejo yang pecah," adu Asih."Kamu yang mecahin pas bungaku ya, Win?" seloroh Tejo memberikan penekanan pada ucapannya. Sorot matanya nampak kesal melihat pada Wini.Wini membalas tatapan Tejo. Lagi, Ia hanya memasang wajah datar kepa
"Bukalah bajumu!" titah Mbah Datuk pada Asih yang terduduk pada bibir ranjang yang terbuat dari bambu yang dilapisi oleh tikar yang terbuat dari daun pandan."Semua, Mbah?" tanya Asih dengan wajah takut."Iya, semuanya, Neng!" sahut lelaki tua itu terlihat sudah tidak sabar.Perlahan Asih membuka satu persatu kancing baju yang ia kenakan. Kini terlihat dua gunung yang sangat menantang khas anak gadis yang belum pernah sekali disusui.Gairah Mbah Datuk semakin menggelegak. Melihat gunungan putih mulus Asih yang semakin menantang untuk di rem*snya."Neng, celananya dibuka semua, ya!" titah Mbah Datuk, lelaki itu berpura-pura untuk setenang mungkin. Ia pun ikut melucuti baju yang ia kenakan hingga menyisakan celana pendek yang masih tertinggal.Kini Asih sudah menganggalkan semua benang yang menutupi tubuhnya. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kak
Pernikahan megah juragan kelapa dengan Asih akhirnya dilaksanakan. Gadis muda itu sama sekali tidak percaya dengan ucapan ibunya jika kekayaan juragan Tejo adalah hasil dari sebuah pesugihan. Ribuan tamu undangan datang memenuhi gedung besar yang telah Tejo sewa untuk menggelar pernikahan keduanya.Pukul jam 11 malam acara megah itu baru selesai. Beberapa tamu undangan sudah kembali pulang. Begitu juga dengan Tejo dan Lastri yang kini sudah berada di dalam kamar pengantin. Taburan bunga mawar merah memenuhi ranjang besar yang berada di lantai atas rumah Tejo. Aroma yang khas menyeruak memenuhi sudut ruangan.Lelaki yang bertelanjang dada itu sudah bersiap-siap berada di atas ranjang untuk melakukan pertempuran besar. Ia menyadarkan tubuhnya pada ujung ranjang melihat ke arah Asih yang baru keluar dari dalam kamar mandi."Ayolah Asih!" seru Tejo dengan tatapan tidak sabar. Melihat tubuh sintal Asih semakin membuat nafsu T
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n