"Loe mau langsung pulang atau ikut ke rumah gue?!" tanya Melodi saat berhenti di lampu merah."Langsung pulang," jawab Lastri."Ok." Melodi kembali melajukan sepeda motornya ketika lampu merah berganti warna dari kuning kemudian hijau. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Melodi sampai ke rumah Lastri. Tepat di depan pintu pagar, Melodi berhenti. "Akhirnya sampai juga. Gue harus cepat-cepat pulang, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Bahaya kalau gue sampai kehujanan.""Ok, thank you!" Lastri turun dari sepeda motor. "Loe hati-hati bawa motornya. Salam buat Ibu loe!""Ok?" Melodi langsung melajukan kembali sepeda motornya menembus jalan raya yang berdebu, tujuan akhirnya hanya ingin cepat sampai di rumah.Ibu langsung ke luar begitu mendengar suara sepeda motor putrinya masuk ke pekarangan rumah. "Untung tadi di jalan tidak macet," ucap Melodi setelah turun dari motor langsung membuka helm di depan Ibunya. "Kelihatannya sebentar lagi mau turun hujan.""Tidak macet, tapi kenapa
David berhenti sejenak di depan Mang Ujang. "Nyamber saja kayak bensin!""Daripada Tuan bicara sendiri, lebih baik saya temani," jawab Mang Ujang. "Kalau ada orang yang dengar, Tuan disangka gila bicara sendiri."David mencibir. "Loe yang gila!" langsung pergi sambil bersiul. Waktu telah menunjukkan jam makan malam. Melodi dan Ibu sedang menikmati sepiring nasi dengan lauk pauk berupa telor dadar dan tempe goreng serta tidak ketinggalan pula sambal dan lalapan."Makan sambalnya jangan terlalu banyak. Nanti perutmu bisa sakit!" tegur Ibu melihat piring Melodi hampir sebagian isinya penuh dengan sambal dan lalapan."Sambal buatan Ibu selalu enak, aku tidak bisa menahannya," ucap Melodi dengan mulut kepedasan. "Paling enak sedunia."Ibu mendekatkan gelas air putih pada Melodi. "Minum. Nanti kamu tersedak, bisa perih tenggorokan mu!"Sambil menahan pedas, Melodi meneguk habis satu gelas air putih. Sementara Ibu hanya geleng-geleng kepala memperhatikan putrinya."Sudah kenyang!" Melodi me
Melodi tertegun beberapa saat dari balik helmnya, detik berikutnya bisa menguasai dirinya kembali. "Hai," lambaian tangan dari samping Melodi yang mengarah padanya untuk lebih memastikan kalau dia memang benar-benar menyapanya.Melodi sekejap membuang muka. "Sialan! Mimpi apa gue semalam, di pagi yang indah ini harus melihat wajah orang yang sama sekali tidak mau gue lihat!""Mau ke mana?!" tanyanya ramah.Mau tidak mau, Melodi menunjuk ke arah depan. Raut wajah tidak sukanya tertolong helm dan masker sehingga tidak begitu jelas terlihat."Sendirian?!" tanyanya lagi mencari bahan obrolan.Melodi mengangguk. "Ngapain sih si Bayu pake acara tanya-tanya segala?! Merusak mood gue saja!" gerutu Melodi dari balik helmnya.Lampu merah berubah jadi kuning lalu hijau. Tanpa menghiraukan Bayu apalagi berpamitan, Melodi langsung melajukan sepeda motornya membaur bersama kendaraan yang lain. Andai bisa menghilang, ingin rasanya Melodi cepat menghilang dari pandangan Bayu.Setelah hampir setengah
Melodi hanya bisa mendengar suara wanita dengan nada penekanan tinggi bicara pada wanita itu tanpa bisa melihat wujudnya karena wanita itu belum masuk ke dalam."Di mana David?!" tanyanya. "Kau, siapa kau?!" terdengar suaranya galak. "Minggir, gue mau masuk!""Tuan David ...." Belum selesai wanita itu bicara, terlihat tangan berkutek merah menyala mendorong dadanya sehingga wanita itu mundur dua langkah ke belakang."Nyonya ...," ucap wanita itu mencoba menghalangi.Melodi melihat seorang wanita dewasa memakai pakaian ketat dan bermake up tebal menerobos masuk. "Di mana David?!" tanya wanita berpakaian ketat itu pada wanita satu lagi yang baru saja datang dari dapur."Tuan David ...." wanita yang ditanya melihat ke arah pintu kamar yang tertutup rapat.Melodi bangun dari duduknya ketika wanita berkutek merah itu melihat kearahnya, tatapannya sangat tidak bersahabat. Perlahan wanita itu datang mendekati Melodi. "Siapa kau?!" tanyanya tajam melihat Melodi dari atas sampai bawah.Melod
Tanpa diduga, satu tangan Intan memegang tangan Melodi yang berusaha membantunya dan tangan satunya lagi berusaha melepaskan tangan David yang mencengkeram rambutnya. "Aaa, sakit! Tolong gue!""David, lepaskan istrimu ini!" Melodi berusaha meraih tangan David yang mencengkeram erat rambut Intan. "Kasihan istrimu ini! Apa kau tak punya hati?!""Minggir kau!" teriak David dengan wajah penuh amarah melihat Melodi."Tidak! Kasihan istrimu ini!" Melodi balas berteriak dengan tangan tetap membantu Intan. "Dia sedang mengandung anakmu!"David melepaskan cengkeramannya setelah mendorong tubuh Intan sampai jatuh tersungkur di lantai depan pintu ke luar. Napasnya naik turun tidak beraturan, tatapannya nyalang menatap Intan.Melodi segera menolong Intan. "Apa kau tidak apa-apa?!""Aww!" suara Intan terdengar kesakitan di balik rambut yang menutupi wajahnya. "Aduh!"Melodi melihat ke seluruh tubuh Intan dari atas sampai bawah. "Apanya yang sakit?!"Intan segera memegang perutnya. "Anakku! Aduh."
David di dalam kamar nampak mengepalkan tangan. "Gue harus cari jalan ke luar untuk menyingkirkan si Intan. Brengsek!" Rokok yang ada di atas meja segera di ambilnya begitu juga dengan ponsel warna hitam miliknya. "Gue harus menyuruh orang untuk menyingkirkan si wanita ular itu."Sambungan telepon tersambung, David bicara begitu singkat lalu tidak lama kemudian mengirimkan beberapa pesan berikut beberapa foto. Senyum menyeringai langsung nampak di wajahnya begitu semua urusan di telepon selesai. "Ini akibat kau menguji kesabaranku!"DREET!DREET!Ponsel David bergetar ketika akan menyalakan rokoknya. Tatapannya langsung melihat ke layar ponsel. "Ada apa si manusia es meneleponku?!"Cleon :"Hallo, bro!"David :"Hallo!"Cleon :"Di mana loe?!"David :"Ada apa?!"Cleon :"Ditanya malah nanya! Loe di mana?!"David :"Gue di apartemen. Jangan lupa nanti malam loe datang!"Cleon :"Gue enggak janji bisa datang! Pekerjaan gue banyak, gue minta loe yang datang ke sini!" David :"Sialan l
Percakapan ketiganya pun terus berlanjut tanpa menghiraukan tatapan tak berarti dari para pria yang melihat mereka dengan mata tak berkedip."By the way, loe punya cowok?!" tanya Clara jadi penasaran pada Intan."Tentu saja, gue punya cowok," jawab Intan tersenyum penuh misteri melihat Clara.Ada perasaan bergidik dalam diri Clara ketika Intan melihat padanya. "Kenapa gue merasa tidak nyaman dengan tatapan si Intan? Aneh banget," bisik hati kecil Clara."Kenapa?!" tanya Intan."Enggak, enggak apa-apa," jawab Clara kemudian minum juicenya untuk menghilangkan kegugupan.Stefi melihat jam tangannya. "Kita sudah cukup lama di sini. Sebaiknya kita cabut untuk bersiap-siap nanti malam.""Iya betul," Clara juga melihat jam tangannya. "Gue akan berdandan yang cantik." "Kita bertiga harus dandan cantik," sambung Stefi. "Agar kita menjadi primadona di acara si David. Biasanya yang diundang teman-temannya yang banyak duit. Banyak cowok tajir di sana."Intan tersenyum senang. "O ya?!""Loe bisa
Tidak seperti biasanya, Brian pulang dari kantor lebih awal sehingga membuat Clara harus memutar otak mencari alasan agar bisa pergi ke tempat party nya David.Brian melepaskan dasi yang melingkar di lehernya dan melemparnya ke atas sofa. Sekilas melirik Clara yang datang mendekat memakai bathrob. "Tumben sudah pulang?!" "Tidak banyak pekerjaan di kantor," jawab Brian menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Aku lelah sekali.""Mau aku buatkan juice atau kopi?!"Brian melihat Clara dengan tatapan heran. "Ada apa?!" Clara mengernyitkan keningnya. "Maksudnya, apa dengan ada apa?""Tumben, kamu menawarkan minum untukku, biasanya tak peduli. Ada apa?" Clara terkekeh. "He-he. Memangnya tidak boleh aku menawarkan minum?!""Bukan tidak boleh, justru aku senang kalau kamu seperti itu. Tapi rasanya aneh saja," ucap Brian sambil membuka sepatunya satu per satu."Aku hanya ingin air putih saja. Dikantor, tadi Vivi sudah membuatkan aku banyak kopi."Mendengar nama Vivi, wajah Clara langsung berubah,
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"