Percakapan ketiganya pun terus berlanjut tanpa menghiraukan tatapan tak berarti dari para pria yang melihat mereka dengan mata tak berkedip."By the way, loe punya cowok?!" tanya Clara jadi penasaran pada Intan."Tentu saja, gue punya cowok," jawab Intan tersenyum penuh misteri melihat Clara.Ada perasaan bergidik dalam diri Clara ketika Intan melihat padanya. "Kenapa gue merasa tidak nyaman dengan tatapan si Intan? Aneh banget," bisik hati kecil Clara."Kenapa?!" tanya Intan."Enggak, enggak apa-apa," jawab Clara kemudian minum juicenya untuk menghilangkan kegugupan.Stefi melihat jam tangannya. "Kita sudah cukup lama di sini. Sebaiknya kita cabut untuk bersiap-siap nanti malam.""Iya betul," Clara juga melihat jam tangannya. "Gue akan berdandan yang cantik." "Kita bertiga harus dandan cantik," sambung Stefi. "Agar kita menjadi primadona di acara si David. Biasanya yang diundang teman-temannya yang banyak duit. Banyak cowok tajir di sana."Intan tersenyum senang. "O ya?!""Loe bisa
Tidak seperti biasanya, Brian pulang dari kantor lebih awal sehingga membuat Clara harus memutar otak mencari alasan agar bisa pergi ke tempat party nya David.Brian melepaskan dasi yang melingkar di lehernya dan melemparnya ke atas sofa. Sekilas melirik Clara yang datang mendekat memakai bathrob. "Tumben sudah pulang?!" "Tidak banyak pekerjaan di kantor," jawab Brian menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Aku lelah sekali.""Mau aku buatkan juice atau kopi?!"Brian melihat Clara dengan tatapan heran. "Ada apa?!" Clara mengernyitkan keningnya. "Maksudnya, apa dengan ada apa?""Tumben, kamu menawarkan minum untukku, biasanya tak peduli. Ada apa?" Clara terkekeh. "He-he. Memangnya tidak boleh aku menawarkan minum?!""Bukan tidak boleh, justru aku senang kalau kamu seperti itu. Tapi rasanya aneh saja," ucap Brian sambil membuka sepatunya satu per satu."Aku hanya ingin air putih saja. Dikantor, tadi Vivi sudah membuatkan aku banyak kopi."Mendengar nama Vivi, wajah Clara langsung berubah,
TING!Suara notif pesan kembali terdengar. Intan kembali melihat pesan dari Brian. "Cepatlah datang!""Kenapa jadi begini?!" Intan garuk-garuk kepala tak gatal. "Gue harus bagaimana?!" TING!Pesan kembali masuk dari Brian :"Jawab!""Gue harus pergi ke mana?!" Intan kebingungan sendiri. "Tapi dipikir-pikir, lebih baik gue pergi ke tempat di mana gue diterima dan dihargai. Siapa tahu dapat rejeki nomplok." Senyum mengembang dari bibir Intan lalu jari jemarinya dengan lincah mengetik membalas pesan dari Brian.Sementara itu di apartemen, Brian masih telentang di atas tempat tidur. Tubuh kekarnya hanya tertutup selimut di bagian bawahnya saja. "Brian!" panggil Clara dari balik pintu kamar mandi. "Apa?!" jawab Brian melirik sekilas dengan tangan sibuk mengetik di layar ponsel."Tolong ambilkan bathrobe yang ada di atas sofa." Brian dengan malas segera bangun, bathrobe miliknya perlahan dipakai lalu mengambil bathrobe milik Clara."Thank you!" Clara segera mengambil bathrobe yang diber
Intan terkejut dengan ucapan Brian yang barusan didengarnya, tapi dengan cepat segera tersadar. "Jadi kamu masih mempermasalahkan hal itu?!" Brian tersenyum sinis setelah menghembuskan asap rokok ke sembarang arah. "Gawat! Si Brian ternyata masih dendam dengan masa lalu. Gue harus mengalihkan pembicaraan sebelum terpojokkan," gumam hati Intan."Sampai sekarang, aku masih penasaran dengan pria yang telah berhasil membuatmu meninggalkan ku. Siapa pria itu?!" tanya Brian.Intan berjalan mendekati Brian kemudian duduk di sampingnya. "Untuk apa kau membahas masalah itu lagi? Tidak ada gunanya kita bahas semua itu. Kamu sudah ada Clara! Apa untungnya, kamu mengungkit semua itu?!" Brian tersenyum kecut. "Bagi seorang laki-laki, pukulan terberat dalam hidupnya adalah mengetahui pasangannya berselingkuh. Itu mengumpamakan, laki-laki itu tidak becus dalam segala hal sampai wanitanya berselingkuh. Apa kau mengerti yang aku katakan?!""Aku mengerti apa yang kamu katakan," jawab Intan, tapi bu
Intan menggeser tubuhnya menjauhi Brian, "aku tidak mau seperti itu! Kamu membuatku malu!"Brian menarik kembali kedua kaki Intan ke tempat semula. "Aku ingin melihatnya. Jujur saja, selama aku mengenal Clara belum pernah melihat area pribadinya secara jelas seperti ini."Intan melihat ke bawah bagian tubuhnya, Brian duduk di antara kedua kakinya yang terbuka lebar. "Kamu belum pernah melihatnya?" Brian menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku bohong?! Setiap kami bercinta, aku tidak pernah bisa bermain-main dengan area pribadinya, terkadang aku hanya melihatnya secara sekilas saja.""Oh." "Baru kali ini, aku bisa melihat secara jelas surga dunia seorang wanita, ternyata warnanya sangat indah dengan sedikit mengkilap seperti milikmu ini." Brian kembali mencolek bagian sesuatu yang lebih menonjol di area sensitif Intan. "Ini basah."Intan menelan ludahnya. Apa yang dicolek Brian merupakan bagian yang paling sensitif dari surga dunia miliknya. Brian tersenyum nakal, melihat wajah Inta
Stefi langsung menutup pintu. "Si Intan tidak memberi kabar ke loe?!" "No," jawab Clara langsung duduk. "Memangnya ada apa?!" "Si Intan tidak ikut, katanya mendadak tidak enak badan. Daripada nanti membuat masalah di sana, si Intan lebih baik tidak ikut," jawab Stefi sambil merapikan bajunya.Clara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang terlihat bersih dan rapi. "Loe tinggal di sini sendirian?!" "Iya." Stefi mengambil tas tangannya. "Ini sudah malam, lebih baik kita pergi sekarang.""Ayo!" Clara bangun dari duduknya kemudian melangkah pergi ke luar diikuti Stefi dari belakang.Jalan raya penuh kemacetan tidak menyurutkan dua wanita dewasa, Clara dan Stefi melajukan mobilnya. Clara yang bertindak menyetir mobil begitu fokus melihat ke depan sementara Stefi sibuk melihat riasan wajahnya lewat kaca bedaknya."By the way, si Intan sakit apa?!" tanya Clara tiba-tiba teringat dengan temannya yang satu itu."I don't know! Dia hanya bilang tidak enak badan.""Kenapa gue merasa ad
Ponsel disaku celana jeans David bergetar. Tertera di layar ponsel nama yang saat ini ada di dalam isi kepala David. "Cleon."David segera menjauh dari Stefi dan Clara untuk menjawab telepon. David :"Hello, Cleon!"Cleon :"Hello! Loe di mana?!"David :"Di apartemen. Kenapa loe belum datang?!"Cleon :"Gue tidak akan datang! Party loe hanya akan mengotori nama gue saja. Entah ada berapa cewek berbaju ketat yang loe sewa untuk acara loe itu?!"David :"Shit!"Cleon :"Ha-ha-ha."Sambungan telepon terputus meninggalkan wajah David yang kesal. "Sialan, dia tidak datang. Untuk apa gue bikin party ini kalau si Cleon tidak datang?!" "Tuan," suara tidak asing mampir ke pendengaran David."Apa?!" David membalikkan badannya untuk melihat orang yang menyapanya.Melodi menawarkan minuman yang ada dalam nampan kecil pada David. "Minum Bos?" Dahinya mengernyit menatap heran. "Ada apa Bos? Wajahmu terlihat begitu kesal."David tidak menjawab pertanyaan Melodi, wajahnya tertegun melihat penampil
Cleon bukan pria bodoh yang tidak peka dengan apa yang ada di depannya. "Dasar betina lapar, matanya tidak berkedip melihat gue!" Cleon sekilas melihat Stefi lalu meneguk wine miliknya.Sementara David duduk di samping Cleon sedang memutar otak agar Melodi dan Cleon bisa duduk berbincang, tapi masalahnya sekarang ada Clara dari tadi memperhatikan Cleon."Melodi," panggil Eva ketika berada di dapur."Apa?!" "Bisa kamu antarkan kue-kue ini ke depan? Aku ingin ke kamar mandi," jawab Eva. "Tolong aku.""Iya, boleh." Melodi langsung mengambil nampan yang ada di tangan Eva. "Hanya ini?!""Iya, yang lainnya biar aku saja nanti." Eva langsung pergi ke arah pintu kamar mandi belakang.Melodi dengan sangat hati-hati melangkahkan kakinya menuju ke ruang depan, tempat di mana semua orang berkumpul hampir 25 orang sehingga ruangan yang tidak begitu luas terlihat sempit.Diam-diam sudut mata Cleon melihat Melodi datang mendekat, tatapannya melihat tubuh Melodi dari atas sampai bawah. Wine yang ada
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"