Melodi hanya melihat wanita itu dari atas sepeda motornya tanpa berniat untuk turun. "Kasihan wanita itu. Apa dia hanya sendirian?" Pandangan Melodi berganti melihat ke arah mobil yang pintunya terbuka lebar. "Wanita ini harus segera dibawa ke Rumah Sakit," seru salah satu pria dari orang yang menolong."Telepon ambulance," sambung pria yang lain. Ibu dengan rambut yang sudah didominasi warna putih ikut bicara. "Kalau telepon ambulance pasti makan waktu, apalagi jarak dari sini ke Rumah Sakit jauh. Lebih baik langsung bawa saja wanita ini ke klinik terdekat.""Tapi ini kecelakaan, kita tidak bisa sembarangan bawa orang," sahut pria lain. "Lebih baik telepon polisi.""Apalagi telepon polisi, pasti wanita ini tidak akan tertolong. Apa kalian tidak bisa melihat, darah yang ke luar dari kepalanya itu banyak sekali?!" seru ibu tua itu lagi. "Pasti ada luka robek dikulit kepalanya.""Lalu kita harus bagaimana?" tanya pria itu lagi.Sementara wanita yang mengalami kecelakaan berusaha untuk
Wajah yang sedang dikagumi Brian semakin tersenyum manis. "Sama-sama kak," ucap Melodi sopan lalu tidak lama kemudian langsung berdiri. "Maaf kak, aku tidak bisa lama-lama menemani kakak di sini karena ini sudah sore. Aku harus pulang.""Oh, iya." Brian ikut berdiri. "Kamu pasti baru pulang sekolah." Brian melihat baju seragam Melodi yang terkena noda darah. "Orangtuamu pasti sudah menunggumu di rumah.""Iya kak. Aku permisi kak." Melodi pamit, tapi baru empat langkah berjalan, Brian memanggilnya sehingga Melodi kembali membalikkan badannya melihat Brian. "Iya kak!"Brian mengambil dompet dari saku celana bagian belakang. "Ini untukmu." Beberapa lembar uang warna merah diberikan Brian pada Melodi."Apa ini kak?!" tanya Melodi bingung melihat uang yang ada di tangan Brian."Ini sebagai ucapan tanda terima kasih karena kamu sudah menolong Clara."Melodi melihat uang yang ada di tangan Brian. "Tidak kak, terima kasih. Bukan aku menolak rejeki, tapi aku ikhlas menolong kak Clara.""Ambil
"Aww! Apa itu?!" teriak Intan dengan suara manja menarik tangannya, diakhiri dengan terkikik. "Hi-hi-hi."Kevin, tertawa terbahak mendapat perlakuan manis dari Intan. "Ha-ha-ha. Menurutmu apa itu?!"Hi-hi-hi. Ular berkepala licin," jawab Intan menyusupkan kepalanya ke dalam lekukan leher Kevin, tapi jemari tangannya kembali masuk ke dalam selimut."Ahh," satu desahan muncul dari bibir Kevin ketika jari jemari lentik tangan Intan mengelus lembut ular berkepala licin miliknya."Kenapa?" bisik Intan pura-pura."Tanganmu nakal," bisik Kevin memejamkan matanya menikmati elusan lembut dari jari jemari lentik Intan. "Hhh, ahh.""Tapi suka kan?" bisik Intan."Suka, sangat suka. Ahh, hh," Kevin merasakan ular kepala licinnya dipijit lembut dan diputar sehingga menimbulkan sensasi luar biasa. "Weleh-weleh, malah semakin berdiri! Hi-hi-hi," ledek Intan melihat selimut bagian bawah tubuh Kevin timbul di bagian tertentu. "Sampai menonjol begitu selimutnya.""Ha-ha-ha. Nakal ya kamu." Kevin balas
Mendengar Ibunya bicara seperti itu, beberapa detik Melodi tertegun, tapi cepat-cepat tersadar agar Ibunya tidak curiga. "Aku sudah tahu Bu.""Memangnya mau mengadakan acara apa temanmu itu? Kenapa harus malam hari?" tanya Ibu jadi penasaran. Melodi menghela napas, setelah itu baru menjawab. "Acara ulang tahun.""Ulang tahun? Berarti kamu harus bawa kado untuk temanmu itu," ujar Ibu. Melodi diam beberapa saat, menunduk melihat lantai yang dipijaknya lalu bertanya lagi. "Apa aku harus datang Bu?!""Kenapa?" tanya Ibu heran. "Kamu tidak mau datang?"Melodi diam, tangannya memainkan gelas yang ada di tangannya. Bingung harus bicara mulai darimana pada Ibunya mengenai Bayu."Kamu seperti orang bingung," ucap Ibu. "Kalau kamu mau pergi ke acara ulang tahun temanmu, pergi saja. Ibu mengijinkan kamu pergi karena tadi Lastri bilang akan menjemput kamu jam 7.""Hah?!" Melodi kaget. "Lastri akan menjemput aku?!"Ibu mengangguk. "Iya! Ibu tidak khawatir kalau kamu pergi bersama Lastri. Apalagi
Mendadak suara saling bersahutan terdengar dari sekeliling Melodi. Belum sadar dengan keadaan yang terjadi, tiba-tiba tubuh Melodi langsung jatuh terhuyung dengan bokong mencium paving blok. "Aaa! Aduh!""Copet! Copet! Tangkap!" Dalam hitungan detik, orang-orang berdatangan dan berkerumun. Dalam kebingungan dan ketidaksadarannya, Melodi melihat pria bertubuh kurus bagai pohon bambu sedang dikeroyok beberapa orang bahkan ada orang dengan bebasnya melayangkan bogem mentahnya ke wajah pria tersebut."Melodi! Kamu tidak apa-apa?!" Ibu segera mendekati putrinya, membantunya berdiri dan menjauh dari kerumunan orang-orang."Ada apa ini Bu?!" tanya Melodi masih kebingungan."Ada copet! Kamu tadi ditabrak copet!" jawab Ibu dengan tangan sibuk membersihkan celana panjang Melodi dari tanah."Kamu tidak apa-apa nak?!" seorang wanita tua datang mendekati Melodi."Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Melodi dengan wajah masih dilanda kebingungan kemudian melihat wajah pencopet sudah babak belur tidak
Bayu tersenyum lebar, matanya tidak lepas dari wajah gadis yang dulu pernah patah hati karena kelakuannya. "Terima kasih sudah mau datang."Melodi tersenyum samar, segera ditarik tangannya yang digenggam Bayu ketika bersalaman. "By the way," Lastri membuka suara untuk memecahkan kecanggungan di antara Bayu dan Melodi. "Pestamu meriah juga. Banyak anak lain yang tidak kita kenal.'"Iya, mereka teman-teman mainku dan juga ada beberapa teman kakakku yang datang," jawab Bayu.Mendengar nama kakak, Melodi teringat dengan Brian dan juga Clara, wanita yang dibawanya ke klinik. Belum usai Melodi teringat Brian, dari arah samping terdengar suara yang beberapa jam lalu pernah bertemu dengannya. "Melodi," sapanya ramah langsung berdiri di samping adiknya, Bayu. "Kamu ada di sini?!"Melodi beberapa detik tertegun, penampilan Brian berbeda sekali dengan tadi ketika bertemu di klinik. Sekarang terlihat lebih casual tanpa rambut klimis dan sepatu mengkilap."Kalian sudah saling kenal?!" tanya Rio
"Jawab!" nyalang Bayu menatap wajah Kiki, kedua tangannya terkepal di antara sisi kiri dan kanan tubuhnya. "A-aku ...," Kiki menjeda kalimatnya, menelan ludah karena merasakan tenggorokannya terasa kering. "Bukankah ki-kita masih, masih ....""Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi! Apa kau paham itu?!" Bentak Bayu menahan emosi yang sudah sampai ubun-ubun.Kiki terdiam, bibirnya terkunci rapat. Kalimat Bayu begitu menohok ulu hatinya, sakit tak berdarah.Dada Bayu terlihat naik turun tak beraturan. "Awas saja kalau kau bertingkah semau perutmu di pestaku ini! Aku tidak segan-segan menyeretmu ke luar di depan semua orang!" Selesai bicara, Bayu langsung pergi meninggalkan Kiki seorang diri, kedua tangannya terkepal menahan amarah.Sungguh Kiki sangat ketakutan melihat Bayu marah seperti itu. Dilihat kedua tangannya yang gemetaran, tapi hatinya tetap panas. "Brengsek! Awas saja kau! Aku akan membalas semua penghinaan ini! Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padamu!"Tidak jauh dari Ki
Cleon melihat sekilas pada David, geleng-geleng kepala seakan tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. "Dasar otak mesum!""Ha-ha-ha." David tertawa terbahak. "Bukan mesum, itu tandanya gue masih normal!""Kelewat normal, loe jadinya gila lubang!" Cleon tidak mau kalah."Ha-ha-ha." David malah semakin terbahak. "Loe tidak tahu ...." David bicara seolah sedang membayangkan dengan kedua tangan bergerak memperagakan, "bagaimana si Intan yang bahenol itu meliuk-liuk bagai ulat kepanasan di atas senjataku yang tegak berdiri di dalam surga miliknya dengan wajahnya yang merah merona serta desahannya yang sungguh sangat membangkitkan gairah. Ck, ck, ck, gue sampai merem melek jika si Intan sedang beraksi, bergoyang dengan bempernya yang gede itu.""Shit! Loe merusak otak gue dengan imajinasi murahan! Sialan! Ngapain loe cerita yang begituan sama gue?! Dasar mesum!"David kembali terbahak, "ha-ha-ha," memang sengaja agar Cleon tertarik lagi mencari wanita. "Ha-ha-ha. Wanita itu makhluk
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"