"Jawab!" nyalang Bayu menatap wajah Kiki, kedua tangannya terkepal di antara sisi kiri dan kanan tubuhnya. "A-aku ...," Kiki menjeda kalimatnya, menelan ludah karena merasakan tenggorokannya terasa kering. "Bukankah ki-kita masih, masih ....""Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi! Apa kau paham itu?!" Bentak Bayu menahan emosi yang sudah sampai ubun-ubun.Kiki terdiam, bibirnya terkunci rapat. Kalimat Bayu begitu menohok ulu hatinya, sakit tak berdarah.Dada Bayu terlihat naik turun tak beraturan. "Awas saja kalau kau bertingkah semau perutmu di pestaku ini! Aku tidak segan-segan menyeretmu ke luar di depan semua orang!" Selesai bicara, Bayu langsung pergi meninggalkan Kiki seorang diri, kedua tangannya terkepal menahan amarah.Sungguh Kiki sangat ketakutan melihat Bayu marah seperti itu. Dilihat kedua tangannya yang gemetaran, tapi hatinya tetap panas. "Brengsek! Awas saja kau! Aku akan membalas semua penghinaan ini! Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padamu!"Tidak jauh dari Ki
Cleon melihat sekilas pada David, geleng-geleng kepala seakan tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. "Dasar otak mesum!""Ha-ha-ha." David tertawa terbahak. "Bukan mesum, itu tandanya gue masih normal!""Kelewat normal, loe jadinya gila lubang!" Cleon tidak mau kalah."Ha-ha-ha." David malah semakin terbahak. "Loe tidak tahu ...." David bicara seolah sedang membayangkan dengan kedua tangan bergerak memperagakan, "bagaimana si Intan yang bahenol itu meliuk-liuk bagai ulat kepanasan di atas senjataku yang tegak berdiri di dalam surga miliknya dengan wajahnya yang merah merona serta desahannya yang sungguh sangat membangkitkan gairah. Ck, ck, ck, gue sampai merem melek jika si Intan sedang beraksi, bergoyang dengan bempernya yang gede itu.""Shit! Loe merusak otak gue dengan imajinasi murahan! Sialan! Ngapain loe cerita yang begituan sama gue?! Dasar mesum!"David kembali terbahak, "ha-ha-ha," memang sengaja agar Cleon tertarik lagi mencari wanita. "Ha-ha-ha. Wanita itu makhluk
Cleon menghela napas, baru ingat Melodi orangnya keras kepala. Jika dilawan dengan kasar dan keras maka Melodi akan semakin berontak. "Kamu punya payung?!" tanya Melodi pada Cleon.Cleon menggelengkan kepalanya. "Kalau aku punya payung, tidak mungkin datang ke sini hujan-hujanan.""Iya lupa," gumam Melodi, dilihat sekelilingnya nampak sepi. "Hujan tidak terlalu deras, aku bisa pergi dari sini.""Ini masih hujan," ucap Cleon melihat rintik hujan pada remang-remang cahaya lampu dipinggir jalan."Memang masih hujan, siapa yang bilang ini sudah reda," jawab Melodi ketus, entah kenapa setiap bicara dengan Cleon bawaanya selalu emosi naik darah keubun-ubun."Ikut denganku," ajak Cleon masih bersabar menghadapi sikap Melodi yang ketus padanya.Melodi menggelengkan kepalanya, "tidak, aku mau mencari taksi. Mungkin di perempatan jalan di sana akan ada taksi yang lewat," jawab Melodi melihat ke arah depan menembus jalan raya yang terlihat remang-remang."Tidak mungkin ada taksi, kalaupun ada,
Malam semakin larut seiring waktu yang terus berjalan. Hujan deras yang tadi mengguyur bumi sekarang telah berganti menjadi rintik hujan. Jalan raya biasanya padat dan bising di siang hari dari suara kendaraan, sekarang nampak lengang hanya nampak beberapa kendaraan saja yang terlihat."Kita mau ke mana?!" tanya Melodi melihat jalan ke arah kanan yang baru saja terlewati. "Seharusnya kamu belok kanan di pertigaan barusan, itu arah ke rumahku!""Kita akan pergi ke planet mars," sahut David santai dari belakang tempat duduk Melodi dengan tubuh menyandar dan mata terpejam.Melodi mendelik melihat David dari kaca spion dalam. "Loe saja yang pergi ke sana! Gue mah ogah!"Bibir David tersenyum dengan mata masih terpejam. "Boleh juga nih cewek, pemberani! Cocoklah buat si Cleon yang sama-sama garang," hati David bicara sendiri. "Cleon! Kita mau ke mana?!" tanya Melodi diakhiri dengan bersin. HATCIIIH!"Tutup kalau bersin! Ntar gue ketularan virus! Bahaya kalau gue sakit!" David segera menu
Cleon sangat khawatir menatap wajah pucat Melodi yang terbaring lemas. "Apa sakitnya parah?!""Jangan khawatir, gadis ini hanya mengigau," Dokter Tedi melihat Cleon. "Sebaiknya di kompres agar tubuhnya tidak terlalu panas. Aku juga akan memberikan resep obat agar kekasihmu ini cepat sembuh."Bi Darmi segera pergi untuk mengambil air kompres setelah mendengar apa yang dikatakan Dokter Tedi."Tebus obat ini di apotik! Ingat di apotik! Jangan di toko material!" Dokter Tedi memberikan resep obat yang telah ditulisnya di secarik kertas pada Mang Ujang."Iya Dokter." Mang Ujang segera pergi meninggalkan Cleon dan David serta Dokter Tedi dengan tergesa-gesa."Sakit apa dia?!" tanya Cleon duduk di tepi tempat tidur menatap wajah pucat Melodi yang matanya tertutup."Gadis ini hanya demam. Kondisi tubuhnya sangat lemah. Tenang saja Cleon. Setelah minum obat, dia pasti sembuh," jawab Dokter Tedi sambil merapikan semua peralatannya ke dalam tas. "Tidak ada sakit yang perlu dikhawatirkan."Tiba-ti
Ponsel berhenti bergetar, "sebaiknya aku kirim pesan saja agar Ibunya tidak cemas, tapi alasan apa yang harus aku katakan." Cleon kembali termenung. "Ya Tuhan, masalah ini lebih sulit dari mengurus perusahaanku." Cleon menghela napas panjang.Tidak lama kemudian, jari-jari besar Cleon mengetik sesuatu di layar ponsel. "Masalah selesai, mudah-mudahan Ibunya tidak berpikir yang aneh-aneh." Cleon menaruh ponsel di atas meja setelah selesai memberi pesan pada Ibunya Melodi dan menyimpan nomor Melodi ke dalam ponselnya sendiri.Beberapa kali Cleon menguap, "gue ngantuk!" Setelah merenggangkan ototnya sebentar, Cleon duduk ditepi tempat tidur lalu perlahan melepas sepatu yang dari tadi belum sempat dilepasnya. "Gue malas ganti baju," gumamnya sendiri melihat kemeja yang dipakainya lalu tubuh kekarnya perlahan naik ke atas tempat tidur, ditatapnya wajah pucat yang sekarang terlihat lebih tenang."Tubuhnya sudah tidak terlalu panas seperti tadi," gumam Cleon sambil memegang kening Melodi yan
Di tengah kebingungannya, Melodi berusaha mengingat apa yang sebenarnya telah terjadi sampai dirinya bisa tidur di atas kasur mewah yang jelas-jelas bukan miliknya. Tapi sesaat kemudian, Melodi merasakan kepalanya sakit. "Aduh," tangannya segera memegang kepala. "Kenapa kepalaku terasa sakit?!"Melihat tangannya terangkat, Melodi secara otomatis melihat kaos yang dipakainya. "Baju siapa ini?!" Mata Melodi jeli melihat warna baju bagian tangannya. "Ini bukan bajuku!" Secara refleks Melodi segera bangun, tidak mempedulikan lagi pinggangnya yang dipeluk erat tangan besar punya Cleon.Melodi menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, bagian atas tubuhnya sudah memakai kaos besar yang sama sekali tidak dikenalnya. "Baju siapa ini?!" Melodi mengingat-ingat terakhir kali dirinya memakai baju. "Bukankah semalam, aku ... aku pergi ke ulang tahun Bayu. Iya, betul!" Melodi melihat tubuhnya lagi. "Bukan baju ini yang aku pakai! Lalu, lalu, baju siapa yang aku pakai ini?! Dan, dan bagaimana tubuh
Melodi menggeliat manja ketika jari jemari Cleon tanpa permisi berhasil menyelinap masuk ke bawah punggung dan meremasnya dengan lembut. "Mmh." Hasrat Cleon semakin terbangun begitu mendengar suara lirih ke luar dari bibir yang saat ini sedang dipagutnya. Jantungnya semakin berdetak cepat dengan perasaan hati yang sulit sekali diungkapkan. Antara hasrat yang semakin mendesak dalam jiwanya, tapi terbersit pula sebuah pemikiran. "Ada apa dengan diriku? Kenapa aku tidak bisa lepas dari gadis ini? Hati ini seakan merasakan kembali kehangatan yang selama ini aku cari. Apa aku, apa aku ... menyukai gadis ini?!"Tubuh Melodi menggelinjang manja ketika tangan kanan Cleon tanpa aba-aba masuk menerobos, menyelinap ke dalam salah satu kain berenda hitam yang menutup dua bukit kembarnya. "Mmphh, hh. Ahh, hhh."Kaos besar warna putih yang menutup tubuh mungil Melodi yang berada di bawah kungkungan tubuh Cleon sekarang sudah tersibak naik ke atas perut, sehingga menampakkan kulit putih mulus bagia
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"