Melodi hampir saja meloncat. "Aduh Ibu! Mengagetkan saja!""Dari tadi Ibu perhatikan kamu sibuk sekali. Sedang mencari apa?!" "Bagaimana ini?!" dalam hati, Melodi bicara sendiri. "Tidak mungkin aku bilang mencari obat penurun panas. Ibu pasti sangat khawatir memikirkan aku.""Ditanya malah bengong?!" tegur Ibu."Anu Bu, anu ...." Melodi bingung mencari alasan, tapi kemudian matanya melihat gunting yang ada di atas meja. "Aku mencari gunting." Melihat Melodi mengambil gunting, Ibu akhirnya masuk ke dalam kamar. "Ya sudah, Ibu mau istirahat."Melodi menghela napas lega. "Di mana sih obatnya?!" Semua isi di dalam laci dikeluarkan, tapi obat penurun panas tubuh tidak ditemukan. Akhirnya Melodi kembali ke kamar dengan tangan kosong. "Mungkin obatnya habis."Melodi merasakan tubuhnya semakin menghangat dan hidungnya mulai mampet. Diambilnya kaos kaki dari dalam lemari pakaiannya. "Ya Tuhan, tubuhku demam. Jangan sampai aku sakit."Malam terus bergulir, hujan begitu deras mengguyur bumi di
Suara musik yang begitu kencang dari lantai bawah mengundang rasa penasaran Cleon untuk melihat. "Mau ke mana?" tanya David melihat sahabatnya berdiri dan merenggangkan ototnya.Cleon tidak menjawab, kaki panjangnya yang terbungkus sepatu pantofel hitam mengkilap perlahan melangkah menuju ujung pagar kaca yang menjadi pembatas antara lantai atas dan lantai bawah. Ya, karena posisinya sekarang berada di lantai dua, tempat vvip yang dikhususkan untuk orang-orang yang punya uang.Cleon berdiri menjulang tepat di depan pagar kaca transparan yang menjadi pembatas, satu tangan masuk ke dalam saku celananya dan satu tangan memegang gelas wine. Tatapannya begitu tajam bagai elang menembus cahaya lampu yang temaram memperhatikan setiap orang yang sedang berjingkrak ria ditempat yang telah dikhususkan di lantai bawah. "Hai."Cleon melihat ke samping kanan ketika telinganya mendengar suara wanita menyapa. "Tidak bergabung bersama mereka?" tanya dari bibir merah menyala tersenyum merekah."Mal
David menatap nyalang, amarahnya memuncak, sudah habis kesabarannya menghadapi semua kegilaan Intan. Tanpa berpikir panjang, tangan besarnya melayang di udara.PLAAAK!Suara telapak tangan memecah kesunyian mendarat sempurna di wajah wanita yang telah menginjak harga dirinya sebagai seorang laki-laki.Tubuh seksi nan aduhai seketika itu juga langsung jatuh tersungkur ke lantai yang dingin. Rasa panas langsung menjalar di pipi kirinya disertai cairan asin warna merah yang ke luar dari sudut bibirnya. "Brengsek! Wanita gila!" David tidak puas hanya dengan menampar wajah Intan, detik itu pula dengan amarah yang meluap, David langsung berjongkok kemudian tanpa rasa belas kasihan, tangan besarnya langsung mencengkeram kuat mahkota kebanggaan Intan ke belakang sehingga wajahnya terdongak melihat padanya."Aaaw! Sakit!" Intan meringis, kedua tangannya menahan tangan David. "Lepaskan! Sakit!" Intan merasakan sakit luar biasa, kulit wajahnya ketarik ke belakang. Dengan mata merah menyala dan
Melihat Vivi telah berhasil menundukkan David membuat Gladis semakin bersemangat untuk mendekati Cleon, suatu keberuntungan seumur hidup baginya jika bisa menundukkan pemilik VP Corp, selain hidupnya akan bergelimang harta juga akan mendapatkan paras nan rupawan yang sangat digilai banyak wanita.Cleon kembali meneguk wine dalam gelas miliknya sampai habis, mata elangnya terlihat sudah mulai memerah.Tanpa membuang kesempatan, jari jemari lentik Gladis dengan cekatan menuangkan wine ke dalam gelas Cleon. Bibir merahnya tak hentinya tersenyum setiap kali melihat Cleon."Thank you," ucap Cleon melihat gelas yang ada di tangannya telah terisi kembali.Sementara itu David dan Vivi telah tenggelam ke dalam dunianya, bahkan David sudah berani mencium pipi cabi seorang Vivi dengan tangan menjalar kemana-mana.Teman Gladis, Stefi rupanya diam-diam juga menyukai Cleon. "Sialan! Si Gladis dari tadi over akting di depan si Cleon. Gue muak melihatnya. Gue harus cari cara agar si Gladis menjauh da
Melodi masih terbaring di atas tempat tidur. Tubuhnya masih terbungkus selimut tebal. Kepalanya terasa pening disertai hidung yang tersumbat. "Akhirnya flu menyerang gue." Dikuceknya hidung yang terasa mampet kemudian kening yang tertutup poni dipegang dengan telapak tangan mungilnya. "Lumayan hangat tubuh gue."Tidak lama kemudian terdengar suara Ibu Dewi memanggil. "Melodi! Apa kamu sudah bangun?! Melodi! Nak!"Melodi melihat ke arah jam weker tua yang ada di atas meja. "Ini masih pagi.""Melodi!" Ibu terdengar memanggil kembali dengan volume suara lebih tinggi."Aduh Ibu! Tidak bisa lihat anaknya santai sedikit!" Mau tidak mau, Melodi ke luar dari dalam selimut sambil menggerutu. "Iya Bu, aku sudah bangun!" jawab Melodi turun dari tempat tidur."Buka pintunya!" Ibu berteriak lebih kencang. "Cepat!"Melodi perlahan membuka pintu. "Ibu pagi-pagi sudah berisik! Suara Ibu seperti orang yang mau membangunkan warga satu kampung!""Dari tadi Ibu menunggumu di dapur ...," kalimat Ibu mengg
Melodi hanya melihat wanita itu dari atas sepeda motornya tanpa berniat untuk turun. "Kasihan wanita itu. Apa dia hanya sendirian?" Pandangan Melodi berganti melihat ke arah mobil yang pintunya terbuka lebar. "Wanita ini harus segera dibawa ke Rumah Sakit," seru salah satu pria dari orang yang menolong."Telepon ambulance," sambung pria yang lain. Ibu dengan rambut yang sudah didominasi warna putih ikut bicara. "Kalau telepon ambulance pasti makan waktu, apalagi jarak dari sini ke Rumah Sakit jauh. Lebih baik langsung bawa saja wanita ini ke klinik terdekat.""Tapi ini kecelakaan, kita tidak bisa sembarangan bawa orang," sahut pria lain. "Lebih baik telepon polisi.""Apalagi telepon polisi, pasti wanita ini tidak akan tertolong. Apa kalian tidak bisa melihat, darah yang ke luar dari kepalanya itu banyak sekali?!" seru ibu tua itu lagi. "Pasti ada luka robek dikulit kepalanya.""Lalu kita harus bagaimana?" tanya pria itu lagi.Sementara wanita yang mengalami kecelakaan berusaha untuk
Wajah yang sedang dikagumi Brian semakin tersenyum manis. "Sama-sama kak," ucap Melodi sopan lalu tidak lama kemudian langsung berdiri. "Maaf kak, aku tidak bisa lama-lama menemani kakak di sini karena ini sudah sore. Aku harus pulang.""Oh, iya." Brian ikut berdiri. "Kamu pasti baru pulang sekolah." Brian melihat baju seragam Melodi yang terkena noda darah. "Orangtuamu pasti sudah menunggumu di rumah.""Iya kak. Aku permisi kak." Melodi pamit, tapi baru empat langkah berjalan, Brian memanggilnya sehingga Melodi kembali membalikkan badannya melihat Brian. "Iya kak!"Brian mengambil dompet dari saku celana bagian belakang. "Ini untukmu." Beberapa lembar uang warna merah diberikan Brian pada Melodi."Apa ini kak?!" tanya Melodi bingung melihat uang yang ada di tangan Brian."Ini sebagai ucapan tanda terima kasih karena kamu sudah menolong Clara."Melodi melihat uang yang ada di tangan Brian. "Tidak kak, terima kasih. Bukan aku menolak rejeki, tapi aku ikhlas menolong kak Clara.""Ambil
"Aww! Apa itu?!" teriak Intan dengan suara manja menarik tangannya, diakhiri dengan terkikik. "Hi-hi-hi."Kevin, tertawa terbahak mendapat perlakuan manis dari Intan. "Ha-ha-ha. Menurutmu apa itu?!"Hi-hi-hi. Ular berkepala licin," jawab Intan menyusupkan kepalanya ke dalam lekukan leher Kevin, tapi jemari tangannya kembali masuk ke dalam selimut."Ahh," satu desahan muncul dari bibir Kevin ketika jari jemari lentik tangan Intan mengelus lembut ular berkepala licin miliknya."Kenapa?" bisik Intan pura-pura."Tanganmu nakal," bisik Kevin memejamkan matanya menikmati elusan lembut dari jari jemari lentik Intan. "Hhh, ahh.""Tapi suka kan?" bisik Intan."Suka, sangat suka. Ahh, hh," Kevin merasakan ular kepala licinnya dipijit lembut dan diputar sehingga menimbulkan sensasi luar biasa. "Weleh-weleh, malah semakin berdiri! Hi-hi-hi," ledek Intan melihat selimut bagian bawah tubuh Kevin timbul di bagian tertentu. "Sampai menonjol begitu selimutnya.""Ha-ha-ha. Nakal ya kamu." Kevin balas
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"