67 Hatinya terbakar amarah, bagaikan bensin yang terkena percikan api. Meledak dan meruntuhkan segala yang ia bangun selama ini. Kepercayaan, kesetiaan, rasa cinta dan pengorbanan. Suara des4han itu semakin membuat telinganya panas. Tak mampu lagi menahan gejolak amarah dalam jiwanya, Devan melempar bucket bunga yang dibawanya dengan keras hingga hancur berantakan. Bunga yang sudah disusun rapi oleh pembuatnya itu hancur berantakan seperti hancurnya perasaannya saat ini. Bruakk! "Br3ngs3k!" Setelah menendang pintu ruangan di samping kolam itu, Devan melayangkan bogem mentah kepada Doddy. Dilihatnya kedua anak manusia itu tidak memakai selembar benang pun. Bahkan ia bisa melihat adegan di depannya sesaat sebelum ia meninju Doddy. Revi bergaya nun99in9 sementara Doddy berdiri di belakang Revi. Ia melihat dengan matanya sendiri, bagaimana sang kekasih yang begitu dipujanya, bersikap seperti wanita mur4han dan bin4l. Wanita yang selalu dijaganya, bahkan untuk me
68 "Tidak perlu khawatir, Tama. Aku akan berusaha membantumu. Tentu saja aku tidak keberatan dan dengan semang hati menerimanya jika itu yang terbaik. Kau adalah sahabatku, tidak mungkin aku membiarkanmu memikul beban ini sendirian." "Terima kasih, Zaki. Aku akan mengutarakan perjodohan ini pada Devan. Aku akan menghubungimu nanti. Aku harap, Devan akan terbuka pikirannya setelah bertemu dengan Zalia. Putrimu sangat berbeda dengan perempuan-perempuan yang mendekati putraku," ungkap Pratama. Dirinya sudah mengenal Zalia, dan bahkan beberapa kali sempat berbicara dengan perempuan berjilbab itu. Seperti saat ini, saat ia berkunjung ke rumah Ustaz Zaki bersama Radit. Ia baru saja melihat perempuan itu menyuguhkan minuman. Pak Pratama melihat Zalia. Wajahnya ayu, lemah lembut dan tanpa cela. Perempuan yang sempurna dengan akhlak yang baik karena dididik dengan baik oleh sang ayah. Tentu perempuan seperti itu akan bisa meluluhkan hati Devan, begitu pikirnya.
"Sudah, ayo kita masuk!" Dengan perasaan gembira, Kanaya memasuki kampus barunya. Begitu pun dengan Tika yang justru sangat-sangat bahagia. Karena ia bisa melanjutkan sekolah, sekaligus bekerja. Pekerjaannya sebenarnya susah-susah gampang. Sebab, ia harus benar-benar memastikan jika Kanaya tidak diganggu oleh pria-pria di kampus tersebut. Maklum, Devan sudah mewanti-wanti dirinya agar selalu mengawasi Kanaya. Namun yang menjadi masalahnya, Kanaya tidak mengijinkan Tika untuk menjaga dirinya. Karena Kanaya hanya ingin belajar sungguhan, tanpa ada yang mengawasi. Terlebih, ia juga ingin agar Tika bisa mendapatkan keberuntungan seperti dirinya. Bisa kembali melanjutkan pendidikan, dan menjadi lebih baik. Sebenarnya selain Tika, Devan juga menugaskan dua orang pengawal untuk berjaga-jaga. Khawatir jika ada seseorang yang tidak menyukai Kanaya dan berbuat jahat. Benar-benar sangat berlebihan suami Kanaya itu. Waktu kuliah sudah selesai, Kanaya mengajak Tika ber
"Kesalahpahaman apa?" Tidak menyahut, Devan malah mencium kening sang istri. Hal itu membuat Kanaya semakin bingung dengan sikap suaminya. "Lupakan saja. Ayo kita mandi!" Selesai mandi, Devan dan Kanaya turun dan bergabung di meja makan. Menikmati makan malam bersama keluarga. Seperti biasa, Kanaya akan menyaksikan perdebatan antara suaminya dan Radit. Mereka berdua memang seperti kucing dan tikus saat bersama. Namun itu semua membuat Kanaya merasa bahagia berada di tengah-tengah keluarga itu. Saat pagi menjelang, seluruh anggota keluarga sudah sibuk dengan seluruh aktifitas. "Bagaimana rencana kamu dengan pembangunan masjid di daerah pelosok yang kamu bahas kemarin, Dit?" "Semuanya berjalan dengan baik, Ma. Lokasinya sudah dapat dan warganya juga sangat antusias membantu. Untuk pekerjanya sendiri, banyak warga juga yang akan dipekerjakan." "Baguslah. Jadi kamu tinggal memantau saja nanti." "Tapi aku ingin ikut membantu pembangunannya juga
"Kau yakin wanita ular itu tidak tahu tentang istriku?" "Sepertinya begitu. Dia hanya kebetulan saja bertemu dengan Kanaya. Dia belum percaya kalau kau sudah menikah, Dev. Dia sangat percaya diri, menganggapmu tidak bisa melupakannya. Kau tenang saja, aku akan bantu mengurus wanita ular itu," ujar Radit. "Aku harap, aku tidak bertemu lagi dengannya," ucap Devan kesal. "Bukannya kau sempat frustasi gara-gara dia?" cemooh Radit. "Sudahlah, jangan memgingatkan tentang kebodohanku. Terlalu bodoh jika harus merana gara-gara dia. Sekarang hanya ada Kanaya di hatiku. Wanita ular itu sudah tidak ada sedikit pun di sini." Tunjuk Devan pada dadanya. "Bagaimana pertemuan dengan klien kesayanganmu itu?" "Sudah beres, dan aku akan pergi ke Desa Sumber Makmur sekarang." Radit beranjak, tapi Devan memintanya duduk kembali. "Ada apa lagi, Dev? Aku bisa terlambat ke sana!" "Kenapa bersikeras ikut membantu pembangunan masjid itu? Apa ada yang kau sembunyikan dariku
Revi sangat ketakutan. Ia menutup pintu lapuk itu menggunakan kakinya lagi. Lebih baik berada di dalam meski di gubug reot, dari pada ke luar dari sana. Bagaimana kalau ada hewan buas yang akan memangsanya. Terlebih, jika ada makhluk tidak kasat mata yang mengganggu. Memikirkannya, membuat Revi frustasi. "Kenapa bisa begini, aaakkh!" Harusnya saat ini ia sedang tidur di kamarnya yang nyaman. Tapi kini, ia malah berada di tengah-tengah hutan dan di dalam gubug reot. Ia masih tidak mengerti kenapa dia bisa berakhir di tempat ini. Seingatnya, ia tidak memiliki masalah dengan siapa pun. Kecuali ... Kanaya. "Jangan-jangan, perempuan itu. Tapi siapa dia sebenarnya." Meski dengan penuh ketakutan, Revi memberanikan diri memejamkan mata. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, berharap esok pagi ada seseorang yang menyelamatkannya. Namun baru saja ia terlelap, suara auman serigala membuat matanya membola. Bagaimana ia bisa memejamkan mata dengan suara menakutk
Satu tahun telah berlalu, Kanaya sudah menyelesaikan pendidikannya. Kini ia telah lulus dengan nilai terbaik, dan menyandang gelar sebagai Sarjana Desain. "Selamat ya, Sayang. Akhirnya kini kamu sudah lulus. Mama bangga sekali denganmu." Bu Herlin memeluk menantunya dengan penuh kebanggaan. "Terima kasih, Ma. Semua ini juga berkat Mama. Mama yang sudah memberikan banyak pengalaman dan trik untukku," balas Kanaya. Memang selama ini, Bu Herlin banyak mendukung menantunya. Bahkan ia juga sering meminta sang menantu untuk mengasah kemampuannya, dengan berkolaborasi dengan beberapa teman designernya. Ia sangat antusias memberikan fasilitas-fasilitas terbaik untuk kelancaran menantunya. "Bukannya itu si wanita ular yang sudah menghancurkan perasaan anak kita, Pa. Ngapain dia ada di sini?" Bu Herlin menunjuk Revi yang berada tak jauh darinya. "Biarkan saja, Ma. Dia memang sudah kembali dan kuliah di tempat yang sama dengan menantu kita." "Mama masih san
Devan menatap Kanaya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada banyak rasa dalam hatinya. Perasaan gembira, haru, sekaligus deg-degan. "Aku akan mencoba benda itu." Kanaya turun dari ranjang, dibantu oleh Devan. Saat ini, semua orang sedang menunggu di luar kamar. "Aku ingat pernah menggunakan benda ini," seloroh Kanaya. "Namun aku memasukkannya ke dalam air kamar mandi." Ia tertawa mengingat kejadian dulu. "Ya. Karena saat itu tidaklah mungkin ada janin dalam rahimmu. Karena aku bahkan belum melakukan apa-apa," sahut Devan. Ia membantu sang istri ke kamar mandi. "Pelan-pelan saja." "Apa seperti ini caranya?" Kanaya memasukkan benda itu ke dalam wadah yang sudah berisi air seninya. "Tunggu beberapa detik menurut petunjuknya." "Aku tidak tahu, tapi kita tunggu saja." "Ini sudah selesai, coba lihat!" Kanaya memperlihatkan hasil dari tespeck tersebut kepada suaminya. "Ada satu garis merah, dan satu garis samar-samar. Apa artinya?" tanya Devan.