"Akhirnya Mama pulang juga. Papa kangen sekali sama Mama." Pak Pratama memeluk sang istri yang baru datang. "Iya, Mama juga kangen sama Papa. Papa hari ini nggak ke kantor?" Bu Herlin melepas pelukan. "Nggak. Papa mau di rumah saja sama Mama. Sudah lama sekali aku nggak menghabiskan waktu seharian bersama Mama." Pak Pratama mer*mas bok0ng sang istri. "Papa! Ini di luar, bukan di kamar! Kalau ada yang lihat, 'kan malu." Bu Herlin melirik ke kanan dan kiri memastikan tidak ada asisten rumah tangganya yang melihat. Namun ia jelas melihat bayangan Radit yang berlalu. "Tuh! Nggak enak dilihat Radit. Anak itu pasti malu melihat kita." "Biarkan saja, biar dia tahu memiliki istri itu bisa bikin betah di rumah. Biar dia segera cari istri." Tanpa menunggu lama, Pak Pratama mengajak istrinya ke kamar. Ia memang sudah tidak muda lagi. Namun fisiknya masih seperti anak muda. Karena ia selalu rajin olahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Meski sudah ber-umur, para
Hari ini, Devan dan Kanaya berangkat ke Jakarta. Mereka menggunakan mobil pribadi bersama Pak Bidin sebagai sopir dan Toni sang pengawal. Sebenarnya Devan mengajak istrinya naik pesawat, tapi Kanaya menolak dengan alasan ingin menikmati perjalanannya. Lagi pula, ia belum pernah naik pesawat. Jadi ia masih takut dan memilih naik mobil saja. Pak Bidin bersama Toni di depan sementara Devan dan Kanaya berada di belakang. "Sayang, tidurlah jika mengantuk." "Aku belum mengantuk. Aku ingin lihat luar, boleh aku buka jendelanya?" "Tentu saja." Mereka menikmati perjalanan pertama kalinya berdua menuju Jakarta. Kanaya sedikit resah, mengingat keluarga suaminya bukanlah keluarga sembarangan. Jika dibandingkan dengan dirinya, sangatlah berbeda. Namun sang suami selalu meyakinkan dirinya jika perbedaan tidak akan mengubah apa pun. Karena ia tahu Bu Herlin pun tidak mempermasalahkannya. Perjalanan yang panjang, sesekali mereka berhenti di rest area untuk melepa
Kanaya terkejut, ia tidak tahu jika orang yang di hadapannya itu adalah sang mertua. Begitu pun dengan Pak Pratama. Ia tidak menyangka jika perempuan yang dianggap pelayan baru itu adalah menantunya yang diceritakan sang istri. "Papa keterlaluan." Devan menarik tangan istrinya dan hendak membawanya pergi. Namun Pak Pratama mencegahnya. "Keterlaluan apa? Memangnya apa yang Papa lakukan? Bukankah hal wajar jika seorang menantu membuatkan kopi untuk mertuanya? Kau tanya saja padanya. Aku hanya memintanya membuatkan kopi." Kanaya menoleh, "iya, Mas." Ia mengganti panggilannya agar terlihat sopan dan tidak terkesan lebay. "Aku hanya membuat kopi." Ia mengajak suaminya duduk agar lebih tenang, karena suaminya itu terlihat menahan emosi. "Papa di sini rupanya." Bu Herlin datang dan menghampiri mereka. "Kamu sudah bangun, Sayang. Selamat datang di rumah. Jangan sungkan ya, karena mulai sekarang, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini." Bu Herlin memeluk menantu kes
Devan sudah selesai berganti pakaian, begitu pun dengan Kanaya. Devan memakai baju santai, Kanaya menggunakan baju terusan bermotif daun. Mereka berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Pak Pratama dan Bu Herlin yang sedang menunggu mereka. Nampak Bu Herlin tersenyum menyambut anak dan menantunya dan mempersilakan mereka duduk. Devan menarik kursi untuk istrinya, dan dilirik oleh Pak Pratama yang terlihat datar tanpa ekspresi. Kanaya melihat tatapan dari papa mertuanya, hanya tersenyum canggung. "Ayo, Sayang, nikmati makan malamnya. Semoga kamu suka, ya." Bu Herlin mengambilkan nasi untuk suaminya, diikuti Kanaya yang mengambilkan nasi untuk suaminya juga. "Kalian tidak menungguiku! Tega sekali!" Seseorang duduk dan langsung meneguk air putih yang ada di gelas milik Devan. Kanaya melihat wajah lelaki yang tidak asing yang kini berada di samping suaminya. 'Pak Radit?' "Kapan kamu pulang, Dit? Mama tidak melihatmu. Bukannya harusnya besok pulangnya?"
60 "Kenapa kaget?" "Ini kesukaan Tuan Besar, Nona." "Benarkah?" Kanaya senang karena ternyata makanan favoritnya sama dengan papa mertua. Mungkin ia bisa mendekati dan mengambil hatinya dengan memasakkan makanan beraroma khas itu. "Tapi suamiku tidak suka makanan ini." "Tuan Muda memang tidak menyukainya. Hanya Tuan Besar yang menyukai makanan ini. Tapi sudah lama sekali tidak memasak jengkol karena kami jarang mendapatkannya. Kalaupun ada, biasanya masih muda dan Tuan tidak suka." Jengkol yang dibawa Kanaya adalah jengkol super yang besar dan sudah tua, jadi rasanya lebih kenyal dan lebih terasa aromanya. "Baiklah, aku akan segera memasaknya. Kau bisa membantuku?" "Tentu, Nona." "Sudah kubilang jangan memanggilku seperti itu jika sedang bersamaku. Panggil saja Aya." Perempuan muda itu hanya mengangguk patuh sambil tersenyum. Ia tidak menyangka sikap nona-nya sangat rendah hati. Bahkan tidak sungkan berteman dengannya yang hanya seorang p
"Kamu tidak perlu repot memasak, Sayang. Jangan terlalu capek, di sini banyak yang bisa membantu memasak. Kamu bisa meminta bantuan mereka jika ingin sesuatu," saran Bu Herlin. "Tidak pa-pa, Ma. Aku senang melakukannya. Sangat bosan jika tidak ada kegiatan." "Baiklah jika itu maumu. Tapi jangan sampai kecapekan. Hari ini istirahat saja dulu, Mama sudah siapkan semua untuk acara nanti sore. Akan ada sekitar seratus anak panti asuhan yang kita undang. Mama sangat senang sekali ada kamu di sini." "Aku juga senang bisa mendapatkan Mama dalam hidupku." Bu Herlin memeluk Kanaya yang ia tahu sudah ditinggal pergi sang ibu sejak kecil. Rasa sayangnya sungguh besar terhadap menantunya itu. "Mama kenapa senang sekali memeluk istriku?" Bu Herlin melepas pelukan mendengar putranya berujar. Sungguh ia heran dengan putranya, yang bahkan tidak memperbolehkan ia memeluk Kanaya. "Kamu ini, Dev! Apa Mama tidak boleh memeluk putrinya sendiri?" "Tapi dia istriku, Ma
62 Pak Pratama memegang kedua foto dengan tangan bergetar. Ia benar-benar melihat gambar dari seorang yang telah lama ia cari. Nampak kerutan di foto yang satu. Foto itu bersama dengan Kanaya. Namun senyum itu masih sama seperti saat ia kecil dulu. Senyum tulus yang selalu memberikan semangat untuknya. Dan di foto yang satunya lagi, ia benar-benar bisa melihat dengan jelas, betapa anak kecil tangguh itu tersenyum menggendong adiknya. Ya, ia sangat ingat. Adik kecil yang dulu ia juga sering menggendongnya saat ditinggal ibunya berjualan koran. "Ali ... ini benar-benar kamu, Li." Pak Pratama menyeka sudut matanya yang memanas dan mengeluarkan setetes cairan bening. Pria patuh baya yang biasanya sangat tegas itu, terlihat sangat sedih. Rasanya tidak kuasa, mengingat ucapan istrinya yang mengatakan jika Kanaya adalah gadis yatim. Yang itu artinya, ayahnya yang tak lain adalah Ali Hasan, temannya, telah meninggal dunia. "Jadi mereka orang yang sama, Pa?" Bu Herlin m
" Kenapa berhenti?" "Lihat itu! Sepertinya itu nikmat sekali." Kanaya menunjuk seorang lelaki paruh baya yang membawa jualan. "Apa yang kau cari?" Tidak menjawab, Kanaya hanya melangkah menuju pedagang rujak yang ada di seberang jalan. Devan mengikutinya di belakang. "Aku ingin beli rujak itu!" "Tapi itu tidak higienis, Sayang." Kanaya berhenti dan menatap tajam suaminya. "Nanti aku minta Bi Karti membuatnya." "Aku ingin yang di sana, Honey." Kanaya tetap melangkah, membuat Devan mengikutinya. "Maaf, Tuan. Anda sudah ditunggu oleh Tuan Jody," panggil Andre, sang sekretaris yang merangkap sebagai asisten. "Katakan untuk menunggu," perintah Devan. "Tapi Tuan Jody tidak mau menunggu lagi, beliau sudah hadir sepuluh menit yang lalu. Anda tahu sendiri bagaimana orang itu." Devan melihat istrinya itu tengah menemui pedagang rujak dan ingin membeli rujak di sana. Dilarang pun percuma, karena Kanaya memang lebih suka membeli makanan pada
"Aya! Kamu kenapa, Sayang?" Bu Herlin menghampiri Kanaya yang berada di kamar mandi dapur. Menantunya itul tampak lemas dan pucat. "Bi, bantu bawa Aya ke kamarnya."Dengan bantuan Bi Karti, Bu Herlin membawa menantunya ke kamar. Sampai di sana, dia semakin terkejut melihat Devan yang juga tampak lemas dan tiduran di ranjang. "Istriku kenapa, Ma?" Dengan tubuh yang lemas, Devan mendekati istrinya yang kini dibaringkan di sampingnya. "Kamu kenapa, Sayang?Kanaya memegang perutnya, sementara Bu Herlin memijat kepala menantunya itu. "Aya muntah di kamar mandi," jawab Bu Herlin. "Kamu sakit juga, Dev?" "Kepalaku pusing, Ma, tapi aku lebih khawatir sama Aya. Biar kutelepon Aldo agar memeriksanya." Devan mengambil ponsel dan melakukan panggilan pada Aldo. "Apa? Lalu kamu tidak bisa ke sini? Ya sudah, tolong suruh Dokter Maria kemari untuk memeriksa istriku.""Gimana, Dev?""Aldo sedang mengurusi istrinya yang juga sakit, Ma. Sama seperti Aya, Resti juga muntah-muntah parah dan harus dirawa
Hari ini Kanaya akan menghadiri pernikahan Tini, setelah mendapatkan undangan yang diberikan Resti dua hari yang lalu. Kanaya sudah bersiap dan sedang menunggu Resti dan Mili. Tak lama kemudian, kedua sahabatnya itu datang bersama pasangannya masing-masing.Setelah ijab kabul yang dilaksanakan berbarengan dengan Mili, Resti akan ikut suaminya ke Jakarta, begitupun Mili yang akan ikut di mana suaminya tinggal. Namun, sebelum itu mereka akan menghabiskan beberapa hari lagi untuk menikmati suasana di kampung mereka. Seperti hari ini, ketiga pasangan itu sudah berada di salah satu gedung yang sedang diadakannya pesta pernikahan Tini dan Pak Iyan, dosen Kanaya dulu. Mereka tidak menyangka jika Pak Iyan yang sikapnya kadang lemah lembut seperti perempuan itu akhirnya menikah. Dan yang tidak disangka juga, Tini, yang dulu selalu mengutamakan ketampanan untuk menjadi pasangannya, kini menjatuhkan pilihan pada Pak Iyan."Hai, Aya, Mas Ganteng, selamat datang!" sapa Tini, setelah melihat kedat
Kanaya dan Devan mengajak semua tamunya untuk masuk. Mereka duduk bersantai di belakang rumah, yang mana ada dua gazebo yang baru saja dipesan oleh Devan dari meubel Pak Karman. Tempatnya yang rindang, membuat mereka betah berlama-lama di sana. Terlebih ada banyak mangga yang sudah tua dan ada yang sudah masak dari pohonnya. Kemarin setelah menghabiskan waktu di gazebo yang disediakan warga, Devan mempunyai inisiatif untuk membuat gazebo juga di belakang rumah sang istri. Kapan-kapan ia akan mengajak seluruh keluarganya untuk ke sini, sambil membuat tenda dan bermalam di belakang rumah. Sudah lama sekali tidak melakukan kegiatan seperti itu. Tidak masalah meski harus kemah di belakang rumah karena suasananya sudah seperti di hutan, banyak pohon yang rindang. "Ayo ambil lagi! Itu yang atas ada yang sudah masak, My Sweety. Aku mau yang di atas yang warnanya sudah kuning." Mili berteriak pada sang kekasih yang kini naik ke atas pohon mangga. Andre mengambil beberapa mangga muda serta
"Aku hanya bercanda, Sayang. Aku tahu tidak akan ada yang bisa menandingi pesonaku," kata Devan dengan percaya dirinya."Jadi, kamu mau memberinya pekerjaan?""Iya. Nanti akan kuminta Andre untuk menanyakan posisi yang masih membutuhkan karyawan di kantor cabang yang ada di sini." Kanaya pun tersenyum bahagia.Mereka menikmati jajanan yang tadi dibawanya, ditemani angin sepoi-sepoi dan lucunya Mira yang sesekali merebut makanan Kanaya."Kali ini biar aku yang menggendongnya. Setelah ini kita langsung istirahat," tegas Devan saat melihat istrinya lelah. Dengan membawa payung, Devan menggendong Mira dan menggandeng istrinya. Sungguh pemandangan yang membuat banyak orang merasa iri pada Kanaya. Memiliki suami yang tampan dan juga kaya, serta perhatian dan penuh kasih."Waduh, jadi ngerepotin Nak Devan. Sini Mira, sama Nenek." Bu Sumi langsung menyambut Mira yang berada di gendongan Devan dan Devan pun menyerahkan balita itu setelah sampai di rumah Bu Sumi."Nggak ngerepotin kok, Bu," sa
Cintia menatap Devan, yang membuat laki-laki juga menoleh. "Aku minta maaf karena membuatmu digerebek warga. Aku juga minta maaf atas kesalahan yang telah kulakukan pada Aya selama ini."Cintia menangkupkan kedua tangannya, membuat Kanaya memegang tangan itu. "Suamiku sudah memaafkanmu, iya, kan, Honey?" Kanaya lagi-lagi tersenyum, Devan hanya mengangguk."Papa, ayo kita pulang!" Anak kecil berusia dua tahun itu menarik lengan papanya."Iya, Sayang. Sebentar, ya.""Hai, anak manis, siapa namamu?" Kanaya menanyai anaknya Alex."Namaku Altaf, Tante," jawabnya dengan lancar. Meski baru dua tahun, anak itu sudah pandai berbicara dengan lancarnya. Hal itu membuat Kanaya senang karena dia memang sangat menyukai anak kecil."Oh ya, Altaf, Tante ada jajanan, kamu mau nggak?" Kanaya mengambil plastik berisi jajanan miliknya, memberikan pada Altaf.Anak kecil itu memilih-milih dan akhirnya mengambil klepon."Terima kasih, Tante.""Sama-sama, Sayang." Kanaya tersenyum ramah dan mengusap kepala A
Alex dan Cintia sama terkejutnya kala melihat kedatangan Kanaya dan Devan. Namun, Alex bersikap ramah dan menyapa Devan serta Kanaya. "Hai, Ay. Bagaimana kabarmu dan suamimu?"Alex yang tadinya tengah duduk di gazebo akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Kanaya dan Devan. Devan hanya menatapnya dengan tatapan datar, sementara Kanaya tersenyum ramah. "Baik, Lex, kami sangat baik," ujar Kanaya yang menoleh pada Cintia di samping Alex.Selain bersama Cintia, di sana juga ada Bu Mirna yang duduk di kursi roda. Kanaya sangat penasaran mengapa Bu Mirna berada di kursi roda dan sepertinya tidak begitu sehat. Belum sempat Kanaya bertanya, Cintia akhirnya berdiri sambil menggendong putranya. "Kapan kamu datang, Aya?""Kemarin. Ini anak kalian?" Kanaya menatap anak laki-laki yang matanya mirip dengan Alex."Iya, ini anak kami," sahut Cintia yang kini bersikap ramah, tidak seperti Cintia yang dulu. Ia bahkan memperhatikan balita yang berada di gendongan Kanaya. "Ini, kan, anaknya Lita, kok bisa
Suara jangkrik masih terdengar karena masih terlalu petang. Kanaya bangun pagi-pagi sekali. Sebelum suaminya bangun, ia sudah lebih dahulu berada di dapur setelah membersihkan tubuhnya. Rasanya ia lebih bersemangat pagi ini. Memasak beberapa menu masakan, wanita berambut panjang itu melakukannya dengan gembira.Jendela dan pintu sudah dibuka, Kanaya menghirup udara pagi yang begitu sejuk dan segar. Dirinya berdiri, merenggangkan otot-otot tangan, lalu memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya. Beberapa sudah ada rumah baru, juga ada rumah yang sudah direnovasi."Aku mencarimu, Sayang." Devan memeluk Kanaya dari belakang. "Kupikir kamu kabur.""Untuk apa, aku kabur? Memangnya aku buronan?" Devan menghidu aroma istrinya dan menciumi tengkuknya. "Geli, Honey. Jangan menggodaku! Kalau tidak mau aku terkam!" Devan menyernyit, lalu melepaskan tangan yang melingkar di perut istrinya. Ia tertawa mendengar kata-kata istrinya yang seperti mengancam. "Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Harusnya
"Bagaimana keadaan anak-anak asuh? Aku sudah lama tidak ke sana." Radit memulai pembicaraan di tengah perjalanan menuju ruang tamu."Mereka baik-baik saja dan ... mereka menanyakanmu." Zalia menjawab tanpa menoleh.Sejak Bu Herlin memintanya untuk tinggal lagi di rumah, Radit hanya sesekali pergi ke desa Sumber Makmur, tempat di mana ia menghabiskan waktu untuk lebih dekat dengan Ustaz Zaki dan Zalia. Di tempat itu ia sering diajak Ustaz Zaki untuk mengurusi anak-anak asuh yang diambil dari jalanan. Radit yang pernah tinggal di jalanan, merasa sangat tergugah untuk membantu mengurusi mereka. Ia menghabiskan banyak uang untuk membantu pembangunan rumah anak-anak asuh itu."Oh ya? Aku juga sudah rindu pada mereka. Juga, pada kalian semua." Zalia menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. Jujur hatinya juga bahagia bisa melihat Radit lagi. Menurutnya, Radit adalah sosok yang baik dan penyayang. Selama di desa Sumber Makmur, Zalia sering melihat Radit membantu pembangunan masjid dan j
Gerimis yang tiba-tiba mengguyur, seolah ikut merasakan kesedihan Kanaya. Di samping makam sang ibu yang masih basah, perempuan itu masih duduk berjongkok. Diusapnya pusara yang baru beberapa menit terpasang itu, berkali-kali pula menghapus air mata yang terus mengalir. Rasa sedih di hatinya tak bisa lagi ditahan. Untuk kedua kalinya ia merasakan kehilangan orang terkasih.Biar seperti apa pun, Dewi tetaplah ibu yang pernah mengisi hatinya. Kenangan indah sebelum ia memutuskan meninggalkan dirinya dan sang ayah pun masih ada dalam ingatan. Pun dengan pelukan hangat yang selalu dirindukannya. Kini, harapan untuk bisa mendapatkan pelukan hangat itupun telah sirna. Dewi, telah terbujur kaku di bawah sana. "Ayo kita pulang, Sayang. Di sini dingin," ajak Devan yang memegang bahu sang istri.Kanaya menoleh, menatap wajah teduh sang suami yang tersenyum hangat padanya. Sungguh, ia bersyukur masih memiliki Devan. Suami yang dikirimkan Tuhan, dengan segala kesempurnaan di matanya."Ayo, Sayan