"Saya baru mau jualan, Pak. Kalau nanti sore bagaimana?" kataku beralasan. Mencoba mengetes Bapak. Apakah ini benar-benar darurat atau tidak."Tapi Bapak perlu sekarang, Ndra!" pintanya lagi. Suaranya kini terdengar jauh lebih tenang, tapi kenapa aku malah semakin khawatir?Prang!!!Aku menoleh cepat. Ternyata Aina baru saja menjatuhkan gelas beling."Yang, kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir dan sedikit mengabaikan Bapak. Kuletakan ponsel di meja, lalu mengambil pecahan kaca.Kulihat Aina langsung menutup laptopnya dan ikut berjongkok memunguti pecahan beling."Nggak sengaja kesenggol gelasnya tadi." Suara Aina terdengar bergetar."Kamu duduk aja, biar Mas yang beresin!" perintahku setelah melihat tangannya juga gemetar saat memasukan satu persatu pecahannya ke dalam plastik "Aku aja yang beresin. Mas harus nemuin Bapak, kan?""Nggak tahu, Mas bingung. Nanti jualan bagaimana? Mana ayamnya sudah terlanjur Mas kasih bumbu!""Ya ampun, masih mikirin ayam aja. Kan ada Bang Faiz!""Ngg
Aku berteriak kencang saking kagetnya, melihat Bapak sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi tengkurap."Angkat, Mang!" perintahku begitu Mang Eri datang.Kami berdua langsung menggotong Bapak menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Bu Asti terus menangisi Bapak yang tidak sadarkan diri."Bapak mengalami pendarahan di otak, Del. Kondisinya kritis sekarang!" Aku memberitahu Adel lewat panggilan telepon.Saat aku menemukan Bapak, dahinya memang terluka. Mungkin karena benturan yang keras ketika dia terjatuh."Kok bisa, Mas?" tanya Adel datar."Mas nggak tahu. Bapak terjatuh dari tempat tidur!""Tapi aku belum bisa pulang, Mas. Bagaimana kalau tiba-tiba Niko datang dan meminta persetujuan keluarganya untuk menikahi Findri? Bisa kecolongan aku nanti!" katanya mencari alasan.Aku hanya tertunduk lesu mendengar alasan Adel. Ini adalah ketiga kalinya menghubungi saudaraku dan mereka sama-sama menolak menemui Bapak.Sebelumnya, Dani dan Mas Gani men
Mas Gani hanya diam melihat aku dan Dani bertengkar. Biasanya, tanpa dikomando, dia akan mengambil alih tugasnya sebagai pemimpin. Namun, kali ini dia tidak berkutik melihat pertengkaran yang terjadi. Mungkinkah dia menyesali sikapnya pada Bapak belakangan ini?Setelah aku dan Bu Asti mengurus administrasi, jenazah Bapak di bawa ke rumah untuk disemayamkan.Adel yang datang bersama mertuanya, menangis histeris melihat Bapak sudah tidak bernyawa. Tangis penyesalan pun mewarnai kedatangannya. Tangis yang tidak berarti apa-apa karena Bapak kini sudah tiada."Nak, Ibu pulang dulu ...," pamit Bu Asti padaku, setelah Bapak selesai dikebumikan."Ibu tetap disini dulu!" pintaku.Bu Asti mengembuskan napas kasar. Dia sempat melirik ketiga saudaraku."Ibu nggak mau menambah kesedihan saudara kalian. Insya Allah doa dari Ibu akan terus mengalir untuk Bapak, walaupun Ibu tidak di sini, Nak!"Bu Asti mungkin menyadari. Kehadirannya di sini tidak diharapkan mereka."Tapi, Bu!" Aku masih berusaha me
"Itu kelamaan Andra! Jual rumah itu nggak seperti jual cabai! Kita bisa bicarakan ini dulu!" sela Mas Gani tak mau kalah."Mas! Ini bukan masalah itu. Aku tahu rumah ini nggak akan langsung terjual, tapi etika, Mas! Bapak baru meninggal tadi!""Susah memang ngajak Mas Andra kalau berunding soal beginian. Jangan salahkan kami kalau kita bertindak di belakang kamu, Mas!" kata Dani mengompori."Silahkan! Toh, kalian pasti juga butuh tanda tangan saya sebagai salah satu ahli waris! Dan saya nggak akan pernah menandatanganinya sebelum seratus hari Bapak!" sahutku kasar, sambil berlalu meninggalkan mereka.Aku berjalan keluar. Langkahku terasa berat sekali. Di teras, keluarga dari kedua kakak Bapak masih berkumpul. Aku tidak yakin kalau mereka tidak mendengar perdebatan kami yang cukup keras itu."Andra, sepertinya Pak De harus pamit. Maaf nggak bisa bermalam disini," kata Pak De Wirya, kakak Bapak yang pertama. "Nggih, Pak De!"Mereka semua jauh-jauh dari kampung kesini menggunakan bus ya
Dengan tergopoh-gopoh, Mang Eri yang sedang berada di ruang depan menghampiriku ke kamar Bapak. Kakiku lemas seketika sampai harus memegang pinggiran tempat tidur."Ada apa, Mas Andra?" sahut Mang Eri yang ikut panik mendengar teriakanku. Dia melihat ke dalam kamar Bapak untuk memastikan apa yang terjadi."Mang, apa CCTV di rumah ini masih berfungsi semua?" desakku begitu Mang Eri datang."Masih Mas Andra, memangnya ada apa?" tanyanya penasaran. Aku mengusap tengkuk yang tiba-tiba saja terasa berat."Kita lihat rekaman waktu Dani ke kamar ini dan bertengkar sama Bapak ya, Mang!"Mang Eri tampak mengingat-ingat sejenak."Tanggal berapa itu ya, Mas?""Tanggal dua puluh tiga kalau nggak salah Mang. Coba saja dulu!" perintahku lagi."Iya, Mas."Kami berdua segera menuju kamar bekas ruang kerja Bapak saat masih aktif bekerja dulu, untuk melihat rekaman CCTV pada hari itu. Dengan perasaan berdebar, aku tak sabar menunggu file terbuka."Sebenarnya, ada apa Mas Andra?" tanya Mang Eri makin pe
Aku menuruti saran Aina. Keesokan harinya, lebih dulu kujemput Adel bersama Mang Eri menggunakan mobil Bapak."Kenapa, sih Mas? Apa nggak bisa lewat pesan aja?" Adel menggerutu sambil masuk ke dalam mobil "Nggak bisa, Del. Oya, mertua kamu masih ada di sini?""Sudah kembali ke Bandung kemarin, Mas!""Kamu nggak jagain Niko lagi disana?""Aku udah malas, Mas. Yang penting, semua aset udah atas nama aku, jadi aku nggak perlu ngemis-ngemis dia buat balik lagi sama aku!" Adel mendengkus kesal."Lha, terus ngapain waktu itu kamu minta anter ke Bandung?" tanyaku gemas."Aku cuma mau tahu bagaimana sikap mertuaku saat tahu anaknya selingkuh!"Aku kembali melirik Adel, melihat ekspresi wajah yang sudah kembali seperti biasanya. Tidak ada lagi gurat kesedihan yang menyiratkan kalau dia sedang terluka.Beginikah jika menikah hanya memandang harta? Adel tidak begitu peduli saat belahan jiwanya mencintai wanita lain. Kalau aku, mungkin lebih baik kehilangan segalanya daripada harus kehilangan Ai
Tanpa kuduga sebelumnya, Zema berlutut sambil menangis di hadapan kami. Membuatku langsung teringat pada Aina. Sebagai seorang istri, dia bahkan rela merendahkan diri untuk membela suaminya."Mas, saya mohon jangan laporkan Mas Dani ke polisi. Saya dan Dinda nggak akan sanggup menerima sanksi sosial kalau dia sampai dipenjara. Bagaimana Dinda akan dikucilkan oleh teman-teman dia nantinya."Zema terisak-isak memohon agar kami memberi kesempatan kedua pada suaminya. Tidak ada lagi pembelaan diri seperti tadi."Saya mengaku salah, Mas. Tolong jangan bawa kasus ini ke polisi," tambah Dani yang sekarang ikut berlutut di samping Zema.Sebagai seorang kakak yang mengenalnya sejak kecil, perasaan iba tentu ada. Tapi perbuatan Dani sudah kelewat batas. Dia rela melakukan apapun demi bisa memenuhi keinginannya."Aku tuh nggak nyangka, Dan. Bapak itu sayang banget lho, sama kamu! Kok kamu malah bisa-bisanya tega begitu sama Bapak!" tambah Adel, sambil menunjuk-nunjuk wajah Dani dengan geram."Ke
"Menurut polisi yang membawanya, Mas Dani diduga menggelapkan dana nasabah," terang Zema sambil menitikkan air mata."Astaghfirullah, Dani!" Aku semakin tidak habis pikir. Kenapa adikku itu jadi serakah dan tidak pernah merasa cukup?"Tolong bantu dia Mas Andra, saya bingung."Isak tangis mulai terdengar, sementara Dinda memeluk ibunya dengan erat."Dinda ikut sama Tante ya, main sama Dede Abi," ajak Aina."Aku mau sama Mama ....""Biar Mama bicara dulu, ya. Nanti jajan juga di warung. Dinda mau apa?" Aina masih berusaha membujuk.Gadis kecil itu pun menurut dan mau ikut bersama Aina. Ditemani ART-nya, Dinda digendong Aina pulang ke rumah. Sementara Bang Faiz, lagi-lagi dia mengambil alih pekerjaaanku."Kamu sudah hubungi Adel dan Mas Gani?""Sudah Mas, tapi nggak ada yang jawab."Keluargaku selalu begitu. Setiap ada masalah, malah susah untuk dihubungi."Kalau begitu, saya telepon Mang Eri dulu buat nganter mobil kesini. Bagaimana?"Zema mengangguk setuju. Selama menunggu Mang Eri da
"Harapan pasti ada. Tapi kami semua tahu seberapa besar kesalahan Mas Gani terhadap Mbak Feli. Jadi, nggak mungkin kami memaksa," jawabku jujur, atas pertanyaan Mbak Feli."Sudah makan siang belum, Mbak?" tanya Aina mengalihkan."Belum." Mbak Feli lalu beralih pada Bang Faiz yang masih saja melamun. "Iz, Mbak ingin nagih janji!"Bang Faiz benar-benar tidak mengindahkan panggilan Mbak Feli. Padahal, dia berteriak cukup keras."Bang!" panggil Aina sedikit lebih keras dari Mbak Feli."Eh, iya, kenapa Ai?" Bang Faiz gelagapan seperti orang bingung."Ditagih janji sama Mbak Feli. Janji traktiran waktu itu!""Sekarang, ya? Saya kan waktu itu janjinya mau traktir sekalian sama Mas Gani ....""Jangan bahas yang lalu, deh!" sungutnya kesal. "Maaf ya, Ndra ....""Santai saja, Mbak. Aku nggak apa-apa."Mau bagaimana lagi? Ini semua memang kesalahan Mas Gani sendiri. Dia yang sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Mbak Feli."Iz, pacarmu orang mana?"Duh, Mbak Feli, kenapa harus membahas hal itu?"Sa
Setibanya di rumah Adel, aku melihat mobil Niko terparkir di depan pagar. Entah bagaimana caranya dia bisa membawa kendaraan dalam keadaan mabuk.Sementara Niko sendiri, dia duduk bersandar di depan pintu rumahnya saat masih bersama Adel dulu."Niko, ngapain malam-malam di sini?" tanyaku seraya berusaha membangunkannya.Niko bangkit, lalu duduk di bangku teras. Sementara Aina tetap mengekor di belakangku. Dia memang takut setiap kali melihat orang mabuk."Saya ingin bertemu Adel dan Azka, Mas!""Nggak seperti ini, Niko. Sidang perceraian kalian sedang berjalan. Adel bisa saja lapor RT karena merasa terganggu dengan kedatangan kamu dengan keadaan mabuk begini. Tapi dia nggak mau kamu malu, Niko! Pulang dan kembali lagi besok setelah kamu sadar dari pengaruh minuman!" Niko lalu mengusap-usap wajahnya beberapa kali. Saat dia sedang tidak fokus begitu, Aina mengambil kesempatan untuk membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah diberikan Adel."Saya ingin rujuk dengan Adel, Mas ... sa
Hari ini, aku dan Bang Faiz kembali membuka kios. Sedangkan Dani tidak bisa berjualan hari ini. Kabar bahagia yang kami terima, Zema kini tengah berbadan dua. Ngidam yang cukup parah membuat Dani memutuskan untuk libur berdagang untuk sementara waktu. Ketika sedang sibuk-sibuknya kami menyiapkan dagangan, seorang pelanggan yang pernah memesan banyak waktu itu, kembali datang. "Mas, saya pesan minuman sama paket nasi ayam untuk besok, bisa?" tanya wanita itu. "Berapa porsi, Mbak?" "Seratus lima puluh porsi. Bisa, kan?" "Insya Allah bisa, Mbak ... kalau boleh tahu, untuk acara apa, ya?" tanyaku penasaran. Jujur saja, aku merasa heran. Melihat penampilannya, kalau untuk acara resmi, bisa saja dia memesan makanan di tempat lain yang lebih mewah. Bukan makanan kaki lima pinggir jalan seperti ini. "Maaf, tapi saya nggak bisa bilang, Mas. Oya, toko rotinya nggak buka hari ini, ya?" Wanita itu melirik kios Dani. "Libur hari ini, Mbak. Memang mau pesan juga? Bisa saya sampaikan nanti. K
"Karena Azka sudah lahir, aku mau minta dukungan kalian untuk mengajukan gugatan perceraian di pengadilan," ungkap Adel hari itu, saat kami semua berkumpul di rumah Bapak yang kini dihuni Mas Gani bersama Siska. Sejak dia kehilangan salah satu kakinya, rumah ini memang menjadi tempat berkumpul kami. Selain karena kondisi Mas Gani, Siska juga sedang mengandung."Pikirkan lagi baik-baik, Del. Kasihan Azka. Bukankah bayi ini adalah bayi yang kalian nantikan selama ini?" kata Bu Asti sambil menimang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu."Iya, Del. Nggak mudah menjalani hidup sendiri. Lagipula, bukannya Niko sudah berjanji akan menceraikan Findri?" sambungku.Niko memang berjanji akan menceraikan Findri. Setelah Azka lahir, barulah timbul perasaan bersalah yang begitu dalam. Niko menyesal dan ingin kembali pada Adel."Nggak semudah itu untuk aku bisa menerima dia lagi, Mas. Coba lihat Mbak Feli, dia juga melakukan hal yang sama saat tahu Mas Gani selingkuh." Ucapan Adel sangat lanca
"Mas sendiri yang bermain api, kenapa harus menyalahkan kami?" protes Dani yang gemas. Dia mau buka suara juga ternyata."Istri baru Mas sedang hamil sekarang. Kalau Mbak Feli menarik semua asetnya bagaimana? Kalian mau bertanggung jawab?" katanya tanpa rasa malu. Sudah tahu bergantung sama Mbak Feli, kenapa malah banyak tingkah?"Mas nggak malu, menafkahi dia dengan uang hasil dari usaha milik Mbak Feli? Aku saja dengarnya malu, Mas!" kataku mengingatkan."Mas kerja di sana, Ndra. Selama ini Mas yang jatuh bangun mengurus pabrik. Jadi memang sudah semestinya Mas berhak mendapatkan bagian. Orang lain saja kerja dibayar! Kalau begini, Mas bisa nggak dapat apa-apa!"Aku semakin tak habis pikir dengan cara berpikir Mas Gani yang terbilang kuno. Pikiranku berkecamuk.Gemas rasanya punya kakak seperti Mas Gani."Bahkan, uang hasil jual kontrakan, Mas serahkan sama Feli supaya dia nggak curiga. Kenapa kamu sama yang lain malah menusuk Mas dari belakang? Kalian sengaja, lihat saudara kalian
Hari ini, aku datang bersama Aina dan Abidzar berkunjung ke rumah Adel. Di sana, nantinya akan ada Dani dan Zema juga. Sengaja kami berkumpul untuk membahas perihal pernikahan kedua Mas Gani yang belum diketahui Mbak Feli."Memang seharusnya diberitahukan sejak awal. Mas-nya aja yang ngotot ingin menyembunyikan semuanya dari Mbak Feli!" kata Adel menyalahkanku. "Alih-alih mau melindungi perasaannya, kita itu malah semakin menyakiti dia!"Meski Adel bicara dengan gaya khasnya yang frontal, aku terima. Aku memng salah karena telah membiarkan masalah ini terus berlarut-larut. Walau awalnya hnya niat baik, ternyata pilihanku untuk merahasiakannya dari Mbak Feli adalah keputusan yang salah."Aku sendiri ngerasain, Mas. Waktu keluarganya Niko ada di acara pernikahannya dengan Findri, itu rasanya sakit sekali! Mereka yang kuanggap berpihak padaku, malah mendukung pernikahan itu. Jangan sampai nih, ya, Mbak Feli justru tahu lebih dulu dari orang lain." tambahnya lagi."Iya, Mas menyesal ...,
"Mbak, maaf aku tinggal duluan ya. Tadi sebelum makan, aku sudah proofing adonan roti," pamit Dani. Dia pintar sekali mencari alasan yang tepat untuk menghindari pertanyaan Mbak Feli. "Silahkan saja, Dan. Mbak nggak ingin kalian merasa terganggu!" sahut Mbak Feli.Belajar dari cara Dani, aku juga bergegas membuat adonan tepung untuk ayam goreng. Daripada semakin merasa serba salah di hadapan Mbak Feli, lebih baik menghindar dengan cara menyibukkan diri."Maaf ya Mbak, saya tinggal dulu. Mumpung Aina masih ada di sini. Jadi sewaktu-waktu ada pembeli, saya nggak kerepotan," alasanku."Iya, silahkan aja, Ndra. Mbak main aja di sini sama Dinda. Di rumah dan di pabrik bosan. Mau ke rumah Adel, tapi dia lagi di rumah Bu Asti.""Ya, Mbak. Sudah dua hari ini dia memang nginep di sana."Adel memang semakin dekat dengan Bu Asti. Kalau tidak tahu yang sebenarnya, siapapun akan mengira kalau mereka adalah ibu dan anak sungguhan. Syukurlah ... sedikit banyak Adel mulai berubah sekarang.***Waktu
Saat aku masih kesal dengannya, Mas Gani yang datang seorang diri, terus saja mendesak agar aku menyerahkan surat rumah Bapak untuk digadaikan."Mas hanya pinjam, Ndra! Kalau tidak boleh dijual kan, bisa digadai dulu!" kata Mas Gani terus memaksakan kehendaknya."Siapa yang akan menebusnya, Mas? Uang hasil penjualan mobil Bapak yang sudah dikembalikan Dani saja, masih sama Mas Gani semua. Seharusnya Mas nggak dapat bagian kontrakan, tapi Mas tetap memaksa supaya Mbak Feli nggak curiga. Kami terima semua alasan Mas Gani, supaya Mbak Feli tetap percaya. Tapi untuk rumah itu, saya nggak bisa, Mas!"Mas Gani sekarang berbicara denganku sambil berdiri."Ini darurat, Ndra! Mas butuh uang untuk tambahan modal. Mas sudah nggak punya tabungan!" Dia terus saja memaksa. Tidak peduli lagi dengan tetangga sekitar yang kemungkinan mendengar suaranya yang cukup keras."Tidak bisa, Mas. Saya tidak bisa memutuskan sepihak. Harus berunding dulu dengan yang lainnya."Mas Gani mengembuskan napas kasar, l
Suasana berubah hening sejenak. Ingin kucubit bibir Adel yang lemes itu. Membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli harus mengingat kembali bayinya yang telah meninggal dunia."Aku juga maunya cepet hamil lagi, Del ... tapi kata dokter paling nggak nunggu setahun. Kan, Mbak sempat pendarahan waktu itu."Suasana kembali berubah. Aina menitipkan Abi padaku, lalu pamit ke belakang untuk membuat minuman untuk Mbak Feli. Aku tahu, dia paling sensitif mendengar hal seperti ini. Istriku lebih memilih melipir untuk menghindari orang lain, daripada melihat kakak iparnya menangis. Ya, aku yakin dia sedang menangis di dapur sekarang.***"Omsetnya besar disini ya, Bang?" tanya Dani pada Bang Faiz saat dia sedang meninjau kios tempat kami berjualan. Rencananya, Dani akan memulai usahanya beberapa hari lagi."Lumayan, Dan. Kalau lagi rame, saya sampai nggak sempat makan!" jawab Bang Faiz penuh semangat.Aku senang melihat Bang Faiz mulai bersuara lagi. Beberapa hari sejak mengetahui Findri resmi me