"Menurut polisi yang membawanya, Mas Dani diduga menggelapkan dana nasabah," terang Zema sambil menitikkan air mata."Astaghfirullah, Dani!" Aku semakin tidak habis pikir. Kenapa adikku itu jadi serakah dan tidak pernah merasa cukup?"Tolong bantu dia Mas Andra, saya bingung."Isak tangis mulai terdengar, sementara Dinda memeluk ibunya dengan erat."Dinda ikut sama Tante ya, main sama Dede Abi," ajak Aina."Aku mau sama Mama ....""Biar Mama bicara dulu, ya. Nanti jajan juga di warung. Dinda mau apa?" Aina masih berusaha membujuk.Gadis kecil itu pun menurut dan mau ikut bersama Aina. Ditemani ART-nya, Dinda digendong Aina pulang ke rumah. Sementara Bang Faiz, lagi-lagi dia mengambil alih pekerjaaanku."Kamu sudah hubungi Adel dan Mas Gani?""Sudah Mas, tapi nggak ada yang jawab."Keluargaku selalu begitu. Setiap ada masalah, malah susah untuk dihubungi."Kalau begitu, saya telepon Mang Eri dulu buat nganter mobil kesini. Bagaimana?"Zema mengangguk setuju. Selama menunggu Mang Eri da
Ting! Pesan yang masuk memberitahukan kalau aku kembali mendapat transferan dari platform kepenulisan tempatku menerbitkan karya. Jumlah yang cukup banyak, walau tidak sebesar bulan kemarin. Aku bersyukur saat ini keuangan kami terbilang lebih dari cukup. Setidaknya kebutuhan kami terpenuhi, meski Allah masih menguji dengan masalah yang lain. Beberapa minggu ini, aku melihat Mas Andra telah kehilangan keceriaannya. Berawal dari kepergian Bapak, hingga harus melepas kepergian Dani ke kampung halaman Zema karena kasus besar yang dilakukannya. Aku tahu dibalik marahnya suamiku, dia tetap menyayangi Dani. Melihat adiknya jatuh hingga harus pergi ke pulau seberang, tentu membuatnya bersedih. Bahkan beberapa hari ini, aku sering memergoki Mas Andra melamun saat melayani pembeli. Sementara aku, tanpa suamiku tahu juga menyimpan kegelisahan hati. Tentang foto seorang wanita yang ada di laptop Bang Faiz, yang membuatku terperanjat kaget waktu itu sampai tidak sengaja menyenggol gelas kaca.
"Findri!" Aku tiba-tiba saja teriak. Bang Faiz juga.Kualihkan pandangan melihat Mas Andra. Dia mungkin keheranan karena aku dan Bang Faiz mengenal Findri. Tanpa kuduga sebelumnya, dia langsung berdiri dan menghampiri Niko, lalu ...Plakkk!!!Tamparan keras mendarat di pipi Niko. Tidak peduli ketika banyak orang yang kini memerhatikan kami."Kamu tahu kalau Adel sedang mengandung sekarang, hah? Bisa kamu enak-enakan disini sama wanita lain?"Niko mengangkat kepalanya dan menatap suamiku penuh kebencian. Aku tahu dia pasti marah dan malu karena menjadi tontonan banyak orang.Kupegang tangan suamiku agar dia tidak semakin kalap."Saya nggak percaya, Mas. Itu pasti akal-akalan Adel saja biar saya kembali.""Wajar dia ingin kamu kembali Niko, dia masih sah sebagai istri kamu! Dan kamu, Findri, apa kamu lupa dengan kebersamaan kalian selama ini?"Findri diam saja. Dia malah saling melempar pandangan dengan Bang Faiz. "Bagaimana kalau Adel benar-benar tengah mengandung darah daging kamu
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi mataku masih sulit untuk terpejam. Kejadian tadi di restoran, membuatku sempat tercengang. Ternyata Aina sudah mengenal Findri dan mengetahui tentang perjodohan yang sempat direncanakan oleh Adel, serta saudaraku yang lain.Sementara pernyataan Bang Faiz, tak kalah membuatku terkejut. Dia telah menyembunyikan hubungannya dengan Findri yang sudah terjalin selama lebih dari lima tahun."Mas, sebaiknya besok kita pulang ya?" ujar Aina. Tentu saja permintaannya membuatku bingung. Karena rencananya, kami akan menginap disini selama tiga hari dua malam. Belum genap sehari, malah sudah mau pulang."Lho, kenapa? Apa sikap Mas tadi keterlaluan sampai membuat kamu malu?" Aku jadi merasa bersalah pada Aina. Ini adalah liburan pertamanya, tapi malah membuatnya tidak nyaman berada disini."Nggak, kok Mas, sama sekali tidak. Aku cuma mikirin Adel. Sepertinya, dia benar-benar butuh bantuan kamu."Jadi, Aina tahu kalau Adel minta bantuan?"Kamu baca pe
"Iya, nggak ada di rumah. Malah kata ibunya pergi dari tadi."Kumatikan kompor dan langsung meraih ponsel untuk mengirim pesan pada Aina. Baru kali ini dia keluar rumah tanpa sepengetahuanku. Biasanya, Aina akan mengirim pesan untuk meminta izin terlebih dulu sebelum dia keluar rumah, kemanapun perginya. Meski jarak dekat sekalipun.[Sayang, kamu dimana?] tulisku khawatir.Lama kutunggu balasan darinya, hingga membuatku mulai cemas. Pikiranku sampai kemana-mana. Tidak biasanya Aina begini. Sedekat apapun, Aina pasti akan minta izin dulu setiap keluar rumah.[Keluar Mas, beli diapers Abi di minimarket.] Syukurlah! Akhirnya Aina membalas pesanku dan memberikan alasan yang membuatku tenang. Walaupun masih ada yang mengganjal karena tidak biasanya Aina seperti ini."Ayo, Mas!" seru Adel tidak sabaran."Mas nggak bisa, Del. Mencari orang tanpa tujuan yang jelas. Lagipula, teman kamu itu kan bilangnya udah beberapa hari yang lalu kalau Niko di Jakarta. Mana tahu sekarang mereka sudah samp
"Belanjaan?" Aina tampak berpikir. "Oh, itu tadi ... ketinggalan dimana ya, Mas?" Aina malah balik bertanya dan terlihat gugup saat menjawab. Aku tahu ada yang tidak beres. Selama hampir empat tahun berumah tangga, tidak biasanya dia seperti ini. Hanya saja, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan kecurigaanku."Ya sudah, nanti saja. Kita lihat Adel dulu!"Aku lalu menggandeng tangan Aina. Terasa dingin. Mungkinkah dia gugup saat kutanya tadi? Aku jadi semakin curiga, apa yang sebenarnya sedang dia sembunyikan?Sebelum masuk ke dalam ruangan, kami melihat Bu Asti yang masih setia duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponselnya."Ayo Bu, ke dalam!" ajakku.Bu Asti menggeleng pelan."Di sini saja Mas Andra ... Ibu takut Adel merasa tidak nyaman kalau Ibu ikut ke dalam.""Masuk saja Bu, temenin saya," bujuk Aina sembari merengek seperti anak kecil. Jurus andalannya setiap kali meminta sesuatu padaku. Dan Bu Asti, tampaknya percaya padanya. Dia langsung setuju dan mengekor d
"Lho, kan kamu sendiri yang banyakin aturan? Di rumah Mas nggak mau karena nggak ada AC. Di rumah Mas Gani nggak mau juga. Kenapa nggak nyusul Dani ke kampungnya Zema sekalian?" Aku semakin emosi menghadapi anak perempuan satu-satunya di keluarga kami ini. "Lagipula, Bu Asti ini bukan orang lain. Semenjak menikah dengan Bapak, dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini!"Adel kembali bergeming mendengar ocehanku. Mungkin dia malu menerima tawaran Bu Asti. Di satu sisi, aku gemas melihat sikap Adel, tapi disisi lain, ingatanku kembali ke masa dia kecil dulu, ketika Ibu meninggalkan kami berempat. Saat itu Adel dan Dani masih sangat kecil. Mereka berdua telah kehilangan sosok seorang ibu sejak dini. Mungkin itu juga yang sedikit banyak mempengaruhi perangai mereka."Jadi bagaimana, Del?" Bu Asti kembali memastikan."Memang Ibu nggak sibuk?" sahut Adel. Suaranya kedengaran lebih lembut dari biasanya. Membuatku dan Aina saling melempar pandangan saking keheranan."Paling sibuk hitung ua
"Masa sih, Mas? Saya sudah transfer beberapa hari yang lalu. Saya pikir Mas Gani langsung mengabari sendiri ke Mas Andra. Kalau saya yang bilang, nanti kan takut dia tersinggung," jelas Dani. Mas Gani memang tidak mengatakan apapun. Bahkan sampai saat ini, menjenguk Adel yang baru kena musibah saja belum. Apakah dia sibuk atau memang kelupaan?Keesokan harinya, aku memutuskan menelepon Mas Gani untuk menanyakan uang yang sudah dikembalikan oleh Dani. Bukannya aku tidak memercayainya, tapi kami memang sudah sepakat untuk menyedekahkan separuh dari uang hasil penjualan mobil itu atas nama Bapak dan Ibu."Mas hanya pinjam, Ndra. Mas bingung karena Mbak Feli marah-marah saat tahu uang tabungannya habis dan jadi barang yang tidak berguna," alasan Mas Gani saat kutanyakan kebenarannya. Ternyata benar kalau Dani sudah membayar hutangnya."Tapi Mas, bukankah kita sudah sepakat sebelumnya untuk apa saja uang itu akan digunakan?" protesku padanya. Kalau memang dia mau pakai, setidaknya dahuluk
"Harapan pasti ada. Tapi kami semua tahu seberapa besar kesalahan Mas Gani terhadap Mbak Feli. Jadi, nggak mungkin kami memaksa," jawabku jujur, atas pertanyaan Mbak Feli."Sudah makan siang belum, Mbak?" tanya Aina mengalihkan."Belum." Mbak Feli lalu beralih pada Bang Faiz yang masih saja melamun. "Iz, Mbak ingin nagih janji!"Bang Faiz benar-benar tidak mengindahkan panggilan Mbak Feli. Padahal, dia berteriak cukup keras."Bang!" panggil Aina sedikit lebih keras dari Mbak Feli."Eh, iya, kenapa Ai?" Bang Faiz gelagapan seperti orang bingung."Ditagih janji sama Mbak Feli. Janji traktiran waktu itu!""Sekarang, ya? Saya kan waktu itu janjinya mau traktir sekalian sama Mas Gani ....""Jangan bahas yang lalu, deh!" sungutnya kesal. "Maaf ya, Ndra ....""Santai saja, Mbak. Aku nggak apa-apa."Mau bagaimana lagi? Ini semua memang kesalahan Mas Gani sendiri. Dia yang sudah menyia-nyiakan wanita sebaik Mbak Feli."Iz, pacarmu orang mana?"Duh, Mbak Feli, kenapa harus membahas hal itu?"Sa
Setibanya di rumah Adel, aku melihat mobil Niko terparkir di depan pagar. Entah bagaimana caranya dia bisa membawa kendaraan dalam keadaan mabuk.Sementara Niko sendiri, dia duduk bersandar di depan pintu rumahnya saat masih bersama Adel dulu."Niko, ngapain malam-malam di sini?" tanyaku seraya berusaha membangunkannya.Niko bangkit, lalu duduk di bangku teras. Sementara Aina tetap mengekor di belakangku. Dia memang takut setiap kali melihat orang mabuk."Saya ingin bertemu Adel dan Azka, Mas!""Nggak seperti ini, Niko. Sidang perceraian kalian sedang berjalan. Adel bisa saja lapor RT karena merasa terganggu dengan kedatangan kamu dengan keadaan mabuk begini. Tapi dia nggak mau kamu malu, Niko! Pulang dan kembali lagi besok setelah kamu sadar dari pengaruh minuman!" Niko lalu mengusap-usap wajahnya beberapa kali. Saat dia sedang tidak fokus begitu, Aina mengambil kesempatan untuk membuka pintu dengan kunci cadangan yang pernah diberikan Adel."Saya ingin rujuk dengan Adel, Mas ... sa
Hari ini, aku dan Bang Faiz kembali membuka kios. Sedangkan Dani tidak bisa berjualan hari ini. Kabar bahagia yang kami terima, Zema kini tengah berbadan dua. Ngidam yang cukup parah membuat Dani memutuskan untuk libur berdagang untuk sementara waktu. Ketika sedang sibuk-sibuknya kami menyiapkan dagangan, seorang pelanggan yang pernah memesan banyak waktu itu, kembali datang. "Mas, saya pesan minuman sama paket nasi ayam untuk besok, bisa?" tanya wanita itu. "Berapa porsi, Mbak?" "Seratus lima puluh porsi. Bisa, kan?" "Insya Allah bisa, Mbak ... kalau boleh tahu, untuk acara apa, ya?" tanyaku penasaran. Jujur saja, aku merasa heran. Melihat penampilannya, kalau untuk acara resmi, bisa saja dia memesan makanan di tempat lain yang lebih mewah. Bukan makanan kaki lima pinggir jalan seperti ini. "Maaf, tapi saya nggak bisa bilang, Mas. Oya, toko rotinya nggak buka hari ini, ya?" Wanita itu melirik kios Dani. "Libur hari ini, Mbak. Memang mau pesan juga? Bisa saya sampaikan nanti. K
"Karena Azka sudah lahir, aku mau minta dukungan kalian untuk mengajukan gugatan perceraian di pengadilan," ungkap Adel hari itu, saat kami semua berkumpul di rumah Bapak yang kini dihuni Mas Gani bersama Siska. Sejak dia kehilangan salah satu kakinya, rumah ini memang menjadi tempat berkumpul kami. Selain karena kondisi Mas Gani, Siska juga sedang mengandung."Pikirkan lagi baik-baik, Del. Kasihan Azka. Bukankah bayi ini adalah bayi yang kalian nantikan selama ini?" kata Bu Asti sambil menimang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu."Iya, Del. Nggak mudah menjalani hidup sendiri. Lagipula, bukannya Niko sudah berjanji akan menceraikan Findri?" sambungku.Niko memang berjanji akan menceraikan Findri. Setelah Azka lahir, barulah timbul perasaan bersalah yang begitu dalam. Niko menyesal dan ingin kembali pada Adel."Nggak semudah itu untuk aku bisa menerima dia lagi, Mas. Coba lihat Mbak Feli, dia juga melakukan hal yang sama saat tahu Mas Gani selingkuh." Ucapan Adel sangat lanca
"Mas sendiri yang bermain api, kenapa harus menyalahkan kami?" protes Dani yang gemas. Dia mau buka suara juga ternyata."Istri baru Mas sedang hamil sekarang. Kalau Mbak Feli menarik semua asetnya bagaimana? Kalian mau bertanggung jawab?" katanya tanpa rasa malu. Sudah tahu bergantung sama Mbak Feli, kenapa malah banyak tingkah?"Mas nggak malu, menafkahi dia dengan uang hasil dari usaha milik Mbak Feli? Aku saja dengarnya malu, Mas!" kataku mengingatkan."Mas kerja di sana, Ndra. Selama ini Mas yang jatuh bangun mengurus pabrik. Jadi memang sudah semestinya Mas berhak mendapatkan bagian. Orang lain saja kerja dibayar! Kalau begini, Mas bisa nggak dapat apa-apa!"Aku semakin tak habis pikir dengan cara berpikir Mas Gani yang terbilang kuno. Pikiranku berkecamuk.Gemas rasanya punya kakak seperti Mas Gani."Bahkan, uang hasil jual kontrakan, Mas serahkan sama Feli supaya dia nggak curiga. Kenapa kamu sama yang lain malah menusuk Mas dari belakang? Kalian sengaja, lihat saudara kalian
Hari ini, aku datang bersama Aina dan Abidzar berkunjung ke rumah Adel. Di sana, nantinya akan ada Dani dan Zema juga. Sengaja kami berkumpul untuk membahas perihal pernikahan kedua Mas Gani yang belum diketahui Mbak Feli."Memang seharusnya diberitahukan sejak awal. Mas-nya aja yang ngotot ingin menyembunyikan semuanya dari Mbak Feli!" kata Adel menyalahkanku. "Alih-alih mau melindungi perasaannya, kita itu malah semakin menyakiti dia!"Meski Adel bicara dengan gaya khasnya yang frontal, aku terima. Aku memng salah karena telah membiarkan masalah ini terus berlarut-larut. Walau awalnya hnya niat baik, ternyata pilihanku untuk merahasiakannya dari Mbak Feli adalah keputusan yang salah."Aku sendiri ngerasain, Mas. Waktu keluarganya Niko ada di acara pernikahannya dengan Findri, itu rasanya sakit sekali! Mereka yang kuanggap berpihak padaku, malah mendukung pernikahan itu. Jangan sampai nih, ya, Mbak Feli justru tahu lebih dulu dari orang lain." tambahnya lagi."Iya, Mas menyesal ...,
"Mbak, maaf aku tinggal duluan ya. Tadi sebelum makan, aku sudah proofing adonan roti," pamit Dani. Dia pintar sekali mencari alasan yang tepat untuk menghindari pertanyaan Mbak Feli. "Silahkan saja, Dan. Mbak nggak ingin kalian merasa terganggu!" sahut Mbak Feli.Belajar dari cara Dani, aku juga bergegas membuat adonan tepung untuk ayam goreng. Daripada semakin merasa serba salah di hadapan Mbak Feli, lebih baik menghindar dengan cara menyibukkan diri."Maaf ya Mbak, saya tinggal dulu. Mumpung Aina masih ada di sini. Jadi sewaktu-waktu ada pembeli, saya nggak kerepotan," alasanku."Iya, silahkan aja, Ndra. Mbak main aja di sini sama Dinda. Di rumah dan di pabrik bosan. Mau ke rumah Adel, tapi dia lagi di rumah Bu Asti.""Ya, Mbak. Sudah dua hari ini dia memang nginep di sana."Adel memang semakin dekat dengan Bu Asti. Kalau tidak tahu yang sebenarnya, siapapun akan mengira kalau mereka adalah ibu dan anak sungguhan. Syukurlah ... sedikit banyak Adel mulai berubah sekarang.***Waktu
Saat aku masih kesal dengannya, Mas Gani yang datang seorang diri, terus saja mendesak agar aku menyerahkan surat rumah Bapak untuk digadaikan."Mas hanya pinjam, Ndra! Kalau tidak boleh dijual kan, bisa digadai dulu!" kata Mas Gani terus memaksakan kehendaknya."Siapa yang akan menebusnya, Mas? Uang hasil penjualan mobil Bapak yang sudah dikembalikan Dani saja, masih sama Mas Gani semua. Seharusnya Mas nggak dapat bagian kontrakan, tapi Mas tetap memaksa supaya Mbak Feli nggak curiga. Kami terima semua alasan Mas Gani, supaya Mbak Feli tetap percaya. Tapi untuk rumah itu, saya nggak bisa, Mas!"Mas Gani sekarang berbicara denganku sambil berdiri."Ini darurat, Ndra! Mas butuh uang untuk tambahan modal. Mas sudah nggak punya tabungan!" Dia terus saja memaksa. Tidak peduli lagi dengan tetangga sekitar yang kemungkinan mendengar suaranya yang cukup keras."Tidak bisa, Mas. Saya tidak bisa memutuskan sepihak. Harus berunding dulu dengan yang lainnya."Mas Gani mengembuskan napas kasar, l
Suasana berubah hening sejenak. Ingin kucubit bibir Adel yang lemes itu. Membayangkan bagaimana perasaan Mbak Feli harus mengingat kembali bayinya yang telah meninggal dunia."Aku juga maunya cepet hamil lagi, Del ... tapi kata dokter paling nggak nunggu setahun. Kan, Mbak sempat pendarahan waktu itu."Suasana kembali berubah. Aina menitipkan Abi padaku, lalu pamit ke belakang untuk membuat minuman untuk Mbak Feli. Aku tahu, dia paling sensitif mendengar hal seperti ini. Istriku lebih memilih melipir untuk menghindari orang lain, daripada melihat kakak iparnya menangis. Ya, aku yakin dia sedang menangis di dapur sekarang.***"Omsetnya besar disini ya, Bang?" tanya Dani pada Bang Faiz saat dia sedang meninjau kios tempat kami berjualan. Rencananya, Dani akan memulai usahanya beberapa hari lagi."Lumayan, Dan. Kalau lagi rame, saya sampai nggak sempat makan!" jawab Bang Faiz penuh semangat.Aku senang melihat Bang Faiz mulai bersuara lagi. Beberapa hari sejak mengetahui Findri resmi me