Entah apa yang menjadi rencana pria sunda tersebut. Jaka memindai seseorang yang terlihat memperhatikan Naima dengan penuh minat, lelaki itu merotasikan matanya malas. Begitu mempesonakah Naima? Hingga banyak sekali yang menaruh hati pada gadis itu. Jaka memutar tumitnya meninggalkan dapur.
Naima melihat sekilas Jaka yang masuk ke dapur, tapi saat gadis itu menoleh sang pimpinan sudah tidak berada di sana. Jaka memang seperti jelangkung, datang tak diundang pulang tak diantar. Setidaknya menyapa karyawannya dan memberi semangat akan jauh lebih bai
sabar ya mbak Nai
Pendar kekuningan menelusup masuk melalui celah sempit, seakan tak mau menyerah. Cahaya emas itu menyeruak masuk menyibak bulu lentik nan panjang kelopak serupa almond. Menari di netra coklat gelap dengan helaian laksana sutra merah berpencar pada sekeliling kelereng yang seharusnya bening. Jejak tangisan semalam masih membekas pada cakrawala gadis ayu yang masih setia mengungkung diri di peraduannya. Semangatnya mengabur, melayang, kepingan ingatan tentang sang pangeran yang dia rindukan. Namun malah asik bercumbu dengan wanita lain, membuat hatinya meriyut nyeri. Ini baru 2 hari, bagaimana jika 3 bulan? Hal apa lagi yang akan ia temukan atau akan ia alami? Demi menjaga pikiran dan hatinya tetap waras, hari itu ia bertekad tidak akan mengaktifkan ponselnya. Seperti biasa, ia bangkit membersihkan diri dan bekerja seperti biasa. Di tempat kerja, Naima ti
Daun yang berguguran, semilir angin kering yang dingin laksana hatinya yang sedikit mengeras, terhempas, karena mengharap. Bayangan paras lembut dan ayu yang setia menari-nari di pelupuk mata tanpa tahu untuk berlalu. Mengharap kekasih hati menghubungi, menyalurkan rasa rindu, menyebutkan nama dengan mesra. Seperti mengharap bintang yang menemani rembulan dalam rinai hujan, tak akan mungkin. “Ric, kenapa tidak tidur? Masih Jetlag?” Blaire mendekati Albe, mengucek matanya. Gadis itu baru saja dari pantry untuk mengambil minum, tapi netra hijau bening milik gadis jangkung itu melihat Albe yang gelisah di teras belakang rumah orang tua mereka. “Aku menunggu seseorang menelponku.” Albe memperlihatkan ponselnya yang hanya ia mainkan sejak tadi. “Kenapa tidak kamu dulu saja yang menelepon dia? Apakah itu Chloe?” Albe memandang Blaire, mengapa adiknya menyebut nama Chloe, wanita penghianat yang membuatnya mengikuti Jaka untuk menyembuhkan luka. “Maksud kamu? Aku sudah lama tidak berhubun
Naima masih kepayahan membebat hatinya yang tersayat, air bening tak henti mengalir dari cakrawalanya. Dia belum berminat mengaktifkan ponsel, dia bukan ingin menghukum Albe. Namun menghukum dirinya yang dengan lancang menerima setengah hati orang yang menjanjikan bahagia. Namun 2 hari pernikahan yang ia dapat hanya nelangsa. Hati Naima tak semurah itu, mahar kalung 10 gram, uang 10 juta dan nafkah lahir 100 juta terlalu sedikit untuk jiwa dan hatinya yang rapuh. Karena kepingan kecewa yang berserakan tak akan bisa direkatkan kembali. Ketukan di pintu kamar membuat Naima harus beranjak. Melihat dari ekor mata jam sudah menunjukkan angka 17, berarti sudah 1 jam sejak kepulangan dari tempat kerja, hanya ia habiskan untuk menangisi lelaki yang belum tentu mengingat keberadaannya pada saat ini. Bunyi ketukan berisik menjadi berirama laksana gendang pantura, memaksa Naima segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk mencuci wajah. Setidaknya air akan mengaburkan duka yang membekas. Memas
Kepergian Viran hanya meninggalkan gamang yang tak berkesudahan. Menebalkan hati, Naima meraih gawainya. Dengan degup jantung yang menderu, Naima menekan tombol panggil pada kontak yang bernamakan My Love. Alay memang, namun begitulah Naima memberi nama pada kontaknya. “Hallo,” Sapa Naima dengan suara pelan nyaris berbisik. “Thanks God! Baby, I miss you so bad.” Albe menggeram bahagia. “Bagaimana kabarmu?” Naima menahan napas, matanya memanas. “Aku baik, Babe, aku ingin melihat wajahmu.” Albe berkata dengan lirih. Ada jeda di sana, Naima terdiam. Albe mendesah, mengerti kemarahan gadis itu. Siapapun tidak akan menerima, begitu pula jika itu ada pada posisi Albe. Ia pasti akan lebih brutal meluapkan kekecewaannya. “Mungkin marah bukan kata yang tepat, aku tahu kamu kecewa, Babe. Tapi aku bersumpah itu masa lalu kami. Bukan kemarin, saat ini atau nanti. Aku tidak hanya meminta maaf, aku meminta pengampunan-mu, Baby,” ucap Albe dengan suara yang sama merana-nya dengan hatinya. “Al
Hai readerku sayang😘, maaf untuk bab 48 ada revisi. Karena sedang tidak enak badan, eh jadi ngawur tanpa edit ke publish. Untuk cover juga di ganti ya, kalau ga bagus bilang ke mamak otor ya. Nanti kita bikin yang bagus. Pokoknya kalian penyemangatku. Tanpa kalian apalah aku. Semoga bisa di maklumi ya, tetap tinggalkan reviewnya juga kritik dan saran. GA di bab 100 ya. Jadi jangan males komen soyong-soyongku ku🤗 nanti akan ada hadiah menarik. Kira-kira mau kalian apa ni? Pulsa atau koin aja? Nanti mamak otor pilih sesuai banyaknya komen. Ini udah mau bab ke 50 dong ya.. yeyyy ayo berhitung dan tinggalkan jejaknya.
Chapt 50. My Wifey "Siapa istrimu?" Seorang wanita paruh baya dengan rambut coklat madu menepuk dan memeluk pundak Albe dengan kasih sayang. Naima menutup wajahnya dengan buku yang seharusnya ia baca. Sementara Albe menggaruk kepalanya sambil melirik ke arahnya, seperti mendapat petunjuk. Wanita yang masih terlihat cantik itu mendekat ke arah ponsel Albe, "Halo manis, apa kabarmu?" Tanyanya dengan senyum dan suara yang ramah. Naima menegakkan badannya "Hello Ibu, kabar saya baik, terima kasih. Bagaimana kabar anda?" Naima membalas dengan senyum mengembang, mencoba menghilangkan gugup. "Oh, kamu manis sekali. Siapa namamu?" Wanita yang Naima tebak adalah ibu Albe terlihat santai dan baik, ia menarik kursi dan duduk menghadap kamera ponsel Albe, Jantung Naima semakin berpacu. Kegugupan menyerangnya, jika dengan Albe yang sudah fasih berbahasa Naima bisa santai. Dengan ibunya? Bahasa Inggris Naima tidak aktif, membuatnya semakin tidak nyaman. "Nama saya Naima Ibu, senang bertemu deng
Naima meletakkan bungkusan makanannya, mengintip ke luar dari balik gorden kamar. Memastikan apakah pemuda misterius masih berada di luar pagar. Lalu lintas di jalan masih seperti biasa, motor dan mobil juga orang berlalu lalang. Jalan hanya akan sepi jika sudah tengah malam, karena portal akan dipasang demi keamanan. Bukan mengapa, walaupun kos Naima dikelilingi pagar tinggi. Namun orang jahat diluar sana tidak kita tahu darimana datangnya. Apalagi di kota metropolitan sekelas Jakarta, banyak premanisme dan kejahatan yang harus diwaspadai. Sembari memakan makananya Naima menimbang. Untuk segi keamanan, rumah suaminya memang lebih baik dan tidak diragukan lagi. Kenyamanan pun siapa yang akan menyangsikannya. Mengambil tas ransel kecil Naima memasukan beberapa lembar pakaian dalam. Apakah dia perlu membawa semua ke rumah Albe? Sepertinya tidak. Naima tidak tahu bagaimana kehidupannya kelak. Untuk berjaga, Naima akan tetap menyewa kamar kos ini, dan hanya membawa beberap
Naima terpekur dalam diam dan ketidakpercayaan. Kebingungannya terjawab, saat ini ia sedang duduk di balkon rumah suaminya. Menikmati secangkir kopi dan sebuah buku yang masih teronggok di meja. Jemari lentiknya dengan lincah menari di atas layar touchscreen ponsel keluaran lama. Mencari sosial media Alberico, lelaki keturunan Amerika-Italia yang sudah menjadi suaminya walaupun siri. Mata gadis menatap dengan takzim postingan feed video singkat konfirmasi tentang hubungan dengan sang mantan Chloe. Ya, dari ribuan like ada Chef Aren diurutan depan karena ternyata mereka saling mengikuti. Postingan yang tidak seperti yang Naima syaratkan, tapi ia terima. Bukan video untuk mempermalukan siapapun. Kedewasaan dan kebijaksanaan Albe dalam menyikapi sakit hati dan kekecewaannya terhadap Chloe dibalas dengan santun. Video kumpulan foto candid dengan caption yang menyentuh hati Naima : Untuk melanjutkan tiap langkah dan tak akan pernah berakhir Membuang segala kenangan silam yan
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang