Keterkejutan Naima membuat hati Albe berbunga, tentu saja itu menandakan adis itu tidak rela dia pergi. Pria tampan itu memegang pipi Naima menenangkan, “Aku memang akan pulang, Baby. Maka dari itu aku ingin memintamu menjaga separuh hatiku yang ada di hatimu.” Albe menyunggingkan senyum yang membuat Naima malah menjadi semakin membeku.
“Apa kamu gak akan kembali?” Tanya Naima dengan suara yang melemah, tenaganya seperti melayang. Rasa takut Albe tidak akan kembali menyeruak di palung hati. Pria tampan itu mengendikkan bahu, sengaja membuat Naima semakin menunjukkan ketidakrelaannya melepaskan dia untuk pergi.
“Tergantung kamu Nai ….“ Albe menggantung perkataannya, membuat Naima semakin gelisah.
“Kenapa harus tergantung aku, Al?” Naima menatap Albe dengan perasaan yang campur aduk, inginnya mengatakan jangan pergi, tapi gadis itu sadar dia bukan apa-apa untuk lelaki dengan iris sewarna pucuk daun itu. Akan tetapi tidak cukupkah cin
Naima memicingkan mata, bunyi alarm membangunkannya. Masih dengan posisi yang sama, baju yang sama. Naima mencoba bangkit, lehernya sakit. Posisi tidur atau lebih tepatnya tertidur dalam keadaan memilukan, membuat ia memosisikan kepala dengan tidak benar. alhasil sekarang lehernya sangat sakit saat hendak memalingkan wajah. Naima menggeleng-gelengkan pelan kepalanya, mengambil minyak kayu putih dan mengurut pelan. Rentetan peristiwa tadi malam membuatnya menghembuskan napas pelan dan dalam. Melirik Kalung setengah hati yang tergeletak mengenaskan di atas sprei yang kumal dan lecek karena tangisannya. Naima membiarkan benda itu tetap di tempat, memasuki kamar mandi mencoba menyegarkan diri, berharap dengan guyuran air yang mengenai setiap pori-pori juga membawa serta kepiluan hatinya. Nyatanya Naima salah, bayangan senyum Albe juga cara pria itu memandangnya, bahkan genggaman telapak tangan pria itu pada tangannya masih
Naima yang sedang bersiap-siap akan menuju kediaman Albe tersentak dengan getar ponsel di tasnya. Gadis itu sudah berdandan manis dengan tanktop hitam, di lapisi kemeja flannel kotak-kotak dipadu dengan celana skiny jeans biru gelap yang membungkus kaki jenjangnya. Naima mengambil ponsel dan melihat nama chef Adi tertera di layar, alis gadis rupawan itu mengerut. Hari ini hari off untuknya, merasa ada yang aneh karena tidak pernah chef Adi menelepon. “Selamat pagi chef ....” Naima menyapa, sedang tangannya masih sibuk mengunci pintu kamar. “Pagi Nai, sedang apa?“ Suara Chef yang beberapa bulan menjadi pembimbingnya itu terdengar bersemangat. Naima berjalan pelan menuruni tangga, “ Saya mau jalan Chef, ada apa ya?” Naima menanyakan keperluan apa yang membuat chef-nya menghubungi. “Waduh berarti ganggu dong ....” Chef Adi seperti sungkan. Naima mengelak, “Tidak Chef, kebetulan hanya
“Ra, apartemen di depan itu ya!?”Naima berseru menepuk bahu Tiara, gadis yang menyetir motor trail itu mengangguk tanda mengiyakan. Sampai di depan gerbang, Tiara menghentikan motornya. Naima segera turun dan menyerahkan helm, “Ra, makasih, aku masuk … bye …”Naima berlari menuju lobby dan masuk ke dalam apartemen yang menurut Tiara sangat mewah. Gadis itu mengamati sebentar,siapa yang Naima temui? Itu menjadi tanda tanya bagi Tiara. Sementara Naima dengan gelisah memencet kode akses untuk masuk ke dalam lift, gadis itu berdiri dengan tidak sabaran, matanya sudah memanas Naima memegang kalung yang Albe berikan. Bunyi ‘Ting’ sebagai tanda ia sudah sampai pada lantai yang ia tuju. Pintu yang terbuka menampakan pria yang menjadi pusat gelisahnya berdiri menjulang seperti menyambutnya. Naima segera berhambur memeluk pinggang pria yang mungkin tidak akan dia temui lagi jika dia terlambat. Usapan lembut di kepala dan pelukan hangat yang ia rasakan, membuat hati gadis itu merasa pulan
Naima mencium tangan Albe takzim, dalam hatinya Naima berdoa ‘semoga tangan ini akan membimbingnya, akan menuntunya, juga akan memberikan kebahagiaan kepadanya’ Pun Albe rasa di hatinya masih tidak dapat ia jelaskan, antara bahagia dan kebingungan juga kebanggaan. Bagaimana tidak. Ia sekarang berstatus suami, sedang beberapa manit yang lalu ia masih seorang lajang yang merdeka. Oh, Naimanya yang penuh kejutan. Namun ia boleh berbangga hati, dilamar seorang wanita yang ia cintai yang juga penyelamat hidupnya. Sungguh amazing hidupnya, sang casanova yang menikahi gadis sederhana, dan pemberani. Dan setelah menikah ia harus pergi, sial bukan? Tak bisa menikmati hari-hari sebagai sejoli berstatus suami istri. Setelah melakukan foto sebagai dokumentasi dan bukti, Albe bergegas mengganti bajunya pun Naima. Viran terpaksa melakukan check in online untuk Albe, sesampai di bandara Albe tinggal menuju imigrasi. Viran tidak ingin mengambil resiko, lelaki itu terlambat atau gagal te
Albe melempar Viran dengan kotak tisu, "Aduh! Sensitif amat lo Al, berapa lama sih gak kawin jadi galak amat!”Protes Viran mengusap lengannya yang terkena lemparan Albe, padahal lelaki beriris hijau itu yakin hanya drama. Mobil memasuki area terminal keberangkatan internasional, hati Naima berdesir ngilu. Walaupun hanya 3 bulan rasanya sangat lama untuk dibayangkan. Jam sudah menunjukkan tepat tengah malam, Viran membantu Albe mengambil koper di bagasi. Albe tidak melepaskan tangan Naima sedetikpun, gadis itu hanya mengikuti kemana langkah pria di depannya. Mereka tiba di pengecekan Imigrasi, Albe mengeluarkan semua dokumen penunjang. Setelah semua dipastikan memenuhi syarat. Albe mengajak Naima ke sudut yang terdapat sofa, lelaki kekar itu meminta Naima duduk, ada beberapa hal yang harus dia utarakan. "Nai, jujur aku masih tidak mempercayai status kita yang berubah begitu cepat,” Albe mengatakan dengan pandangan tajam tapi penuh kelembutan kedalam cakrawala bening Naima, gadis itu
“Lo minta di nikahin Albe, bukan karena lo sudah hamil kan?” Tanya Viran dengan muka serius dan iris gelapnya terlihat menyelidik. “Hahahaha ….” Naima tertawa dengan lepas hingga melontarkan kepalanya kebelakang dan menutup mulutnya, apa yang Albe katakan pada pria di depannya ? “Gue serius Nai, kalau lo emang hamil. Dan lo cuma minta nikah siri, lo rugi.” Viran melipat tangannya di meja, menatap Naima dengan seksama. Lelaki itu berpikir, pasti Albe dan Naima sering melakukan hubungan suami istri, Viran tahu bagaimana Albe dan sepak terjangnya dengan para teman kencannya dulu. “Kamu pikir aku semurahan itu, Bang? Oh ya, maaf ya, selama ini Nai gak sopan manggil Bang Viran cuma nama aja.” Naima mengikuti lelaki di depannya, melipat tangan di meja. Ia berkata jujur, dia terbawa sikap santai Viran dan bersikap kurang ajar dengan tak memberi embel-embel pada panggilannya. Pria dengan jaket hoody itu tersenyum jemawa, “Emang udah seharusnya, gue udah jadi wali nikah lo, kan?” Viran meny
Viran mengantarkan Naima sampai di apartemen Albe, pria yang sekarang berubah menjadi abang untuk Naima itu tersenyum geli dengan status yang dia sematkan sendiri. Dia memang anak tunggal, dan kebanyakan saudara sepupunya adalah laki-laki. Jadi wajar merasa sedikit senang, mempunyai adik walaupun hanya pengakuan sepihaknya saja. “Makasih Bang, sudah mau pagi lho. Abang nggak ngantuk?” Naima menunggu lift yang akan membawanya ke lantai unit Albe. “Ngantuk lah Nai, gila aja. Gue bukan kelelawar. Lo naik dulu deh, ntar Albe cerewet lagi ke gue. Males banget ....” Viran memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Menyandarkan tubuhn di dinding samping pintu lift yang masih dalam perjalanan turun. “Gak apa-apa Nai nginep sini, ya?” Naima masih ragu. “Kan rumah laki lo, siapa lagi yang mau nempatin. Angkut dah barang lo kesini besok.” Viran memberi saran, seharusnya memang seperti itu bukan aturannya? “Gak deh, Bang, biarkan saja. Soalnya Ajeng dan Tiara suka main., kadang nginep juga.
Suara bising membangunkan seorang gadis yang masih bergelung dalam kehangatan bulu angsa yang terbungkus satin yang lembut, berisiknya suara dari ponselnya tidak serta merta membuat gadis itu beranjak. Malah semakin asik melilitkan kaki jenjangnya pada benda panjang yang terasa pas dan hangat dalam dekapan. Suara panggilan kembali terdengar kali ini langsung pada nomor ponselnya. Naima membuka mata, merotasi irisnya. Dia sadar sekarang di rumah siapa? Tapi Naima lupa hari ini dia tetap harus bekerja. Gadis itu segera membangunkan badan dengan berat, meraih ponsel, sudah jam 7. Dan Naima ingat dia harus bekerja, ia mengangkat panggilan dengan malas, “Hallo … Siapa?” Tanya Naima, tertera deret nomor yang tidak ia kenal di layar ponsel pintarnya. “Halo Nai, eh Sorry ganggu pagi-pagi, ini Astrid, asistent Chef Aren. Kalau kamu belum berangkat. Kita bisa tuker shift? Aku ada keperluan nanti sore.” Kata wanita di seberang sana, Naima mengingat wanita dengan kulit tan dan berwajah mani
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang