Mengerjapkan mata, Naima mencoba beradaptasi dengan pemandangan asing di langit-langit kamarnya, tidak ada plafon dengan ornamen rumit. Naima mencoba bangkit, tapi rasa tak nyaman pada punggung dan kepalanya membuatnya urung. Naima baru tersadar ia berada di rumah sakit, saat merasakan telunjuknya terdapat selang yang tersambung hingga ke samping tubuhnya. Dia mendesah, merasa lega juga takut. Lega ternyata ia masih hidup, takut jika Albe akan marah karena ia tidak mematuhi perintahnya untuk tetap di dalam Cafe sampai ia datang. Deritan pintu terbuka, membuat Naima menelengkan kepalanya yang masih berdentam tak nyaman. Naima tersenyum, pun dengan orang yang baru saja masuk. “Baby! Akhirnya kamu bangun juga,” Albe tergesa mendekati Naima, menggenggam tangan Naima. Mengecup kening, pipi dan hidung juga bibir gadis yang memakai pakaian rumah sakit itu. “Aku baik-baik saja, Yang,” ucap Naima, menenangkan Albe. Menatap iris hijau kesukaannya. Naima hanya terdiam, menyelami perasaan san
“Nai, ini gak apa-apa, kita masuk kesini?” Ajeng menggandeng lengan Naima, berjalan dengan melirik ke kanan dan ke kiri. Sementara Tiara berada di belakang mereka dengan tanpa suara. “Gak usah ribet deh lo, Jeng. Pak Albe sendiri yang ngijinin kita kesini. Malah suruh nemenin sampai beliau dateng, ‘kan?” tegur Tiara mengingatkan. “Ih, gue ‘kan takut aja, Ra. Apartemen bisa gede banget gini sih. Ngalahin rumah bokap, pasti mahal banget ya Nai?” tanya Ajeng, masih terkagum-kagum dengan desain dan perabotan yang ada di dalam apartemen itu. “Aku gak tau, Jeng. Kesini juga udah kayak gini. Tapi ini apartemen baru. Tower ini udah habis. Masih ada yang tower dua sama tiga kalau bapak kamu mau,” tawar Naima, yang disambut tawa dari Tiara. “Ish, kamu menghina apa ngeledek. Mana mampu bapak gue beli kek gini. Mending dibikin kontrakan baru lagi kalo dia mah.” cebik Ajeng. Naima mempersilahkan mereka duduk di ruang keluarga. Tiara dan Ajeng takjub dengan foto Naima dan Albe yang terpasang d
Kedatangan wanita yang hanya beberapa kali kencan dan itupun sudah bertahun terlewat membuat Albe waspada. Karena ia tahu, wanita inilah yang menyarankan sang ayah untuk menjadikan Naima salah satu target. Walaupun Albe belum tahu maksud kedatangan rubah betina itu, tapi dia akan mencoba bersikap santai. Kasus ayah wanita ini sedang tahap pelaporan, ia harus bermain cantik. “Well, welcome Jess. Long time not see!” Alme menyambut ramah. Berdiri dari kursi kebesarannya dengan sebelah tangan ia masukkan ke saku celana. Memutari meja menilai penampilan Jessica yang terlihat seperti akan menghadiri pesta. Gaun rose gold berbelahan dada rendah mengkilap, wedges setinggi lebih dari sepuluh centi dan wajah full make up. Terlihat sangat palsu, dan itu membuat Albe jijik. “Syukurlah kamu masih mengingat namaku, Sepertinya sekarang lebih sukses. Dan pastinya kau baik-baik saja,” Jessica menghempaskan patatnya pada sofa dan meletakkan tas mahalnya pada meja tanpa dipersilakan. Albe berdecak ta
Bagi sebagian orang di muka bumi, media sosial sudah menjadi kebutuhan. Apalagi para makhluk yang menamakan mereka generasi milenial. Peran media sosial dalam semua aspek kehidupan menjadi sangat penting. Semua pemberitaan akan sangat cepat menyebar luas dengan adanya media penyebaran informasi daring tersebut.. Bagi sebagian orang yang memanfaatkan menjadi lahan bisnis, sudah pasti itu sangat menguntungkan. Namun tidak untuk wanita bernama Jessica Haryanto. Putri seorang pejabat di Departemen Penanaman Modal . Wajah cantiknya menjadi trending di jejaring sosial, video penangkapan di Cafe Kita menjadi buah bibir warganet. 29 detik waktu penangkapan menjadi judul utamanya. Jessica terlihat merana dan nelangsa. Pengacara ayahnya belum juga muncul di kantor polisi. Sementara Viran, bersama Jaka sedang menunggu sang ayah wanita itu. Mereka menunggu di sebuah apartemen di daerah selatan Ibukota. Mereka sepakat mengakhiri konflik dan bersedia memberikan uang jasa pengamanan wilayah. Seb
Ketika dua hati dimaksudkan untuk satu sama lain, tidak ada jarak yang terlalu jauh, tidak ada waktu yang terlalu lama dan tidak ada cinta lain yang dapat menghancurkan mereka. Karena rindu ternyata tak mengenal jarak dan waktu. Naima terpekur seorang diri, menanti sang kekasih hati. Kepergian dua sahabatnya beberapa menit yang lalu membuat suasana sudah kembali dalam sunyi dan sepi. Naima tak menyukai itu, ia memutar musik sedikit keras demi membunuh kesepiannya. Bola matanya selalu menuju satu titik di seberang ruangan yaitu pintu. Berharap segera terbuka dan menampilkan sosok yang sudah ia nantikan. Belum terlalu malam memang, bahkan Albe sudah mengabarkan jam berapa kira-kira ia akan sampai di rumah mereka. Naima berdiri, menuju ruang tamu yang didominasi warna coklat gelap dan nuansa gold yang lembut. Menjatuhkan badannya pada salah satu single sofa. Ruangan itu luas dengan hiasan lukisan abstrak di setiap dindingnya. Wallpaper serupa warna kayu mengelilingi ruangan persegi it
Albe kesal. Tentu saja, Viran berhasil membuatnya marah. Padahal dari awal dia berada di negara ini, dia dan Jaka yang membantu mengurus semua perizinan. Melempar ponselnya asal. Albe tahu apa yang sedang rekannya itu kerjakan, ia akan menunggu hingga besok. Keluar dari ruang kerjanya, Albe mengambil kunci motor sport yang sudah beberapa lama tak digunakan. Sebelum bertemu dengan Naima, Albe memang lebih sering menggunakan motor. Karena ia pikir, Naima lebih senang dengan pria yang mengendarai kendaraan roda empat. Ternyata perkiraannya salah. Motor yang Albe miliki adalah motor listrik, Arch KRGT-1. Harga motor itu fantastik. Tapi Albe suka, jadi tidak masalah untuknya. Ia membuka terpal khusus penutup motornya, melipat benda yang terbuat dari parasit itu lalu memasukkan pada kabinet yang tertempel di dinding parkir. Memasukkan kunci dan mulai memanaskan. Menancapkan charger pada stop contact khusus. Hari sudah hampir tengah malam, tapi mengingat keinginan Naima, i
Naima gugup, menutup kabinet dengan tergesa. Menggosok gigi seadanya, lalu ke luar menuju balkon. Ia butuh oksigen sebanyak-banyaknya. Perkataan Albe tentang tidak ingin mempunyai anak terngiang di kepalanya. Juga fakta mereka masih dalam status pernikahan siri, membuat Naima sesak napas. Memasuki kamar kembali, ia lalu meraih ponselnya yang tergeletak di nakas samping ranjang. Mencoba menghubungi Ajeng atau Tiara? Kebingungan menguasai pikirannya. Berjalan mondar-mandir pada balkon kamar, sesekali melirik ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Ra, pulang kerja bisa kesini? Atau kita ketemu di Mall? Naima mengirim pesan untuk Tiara, dia butuh sahabatnya itu. Ajeng terlalu heboh untuk situasi seperti ini. Dia butuh berpikir tenang, tanpa kericuhan. Tiara: Laki lo kemana? Boleh emang keluar? Naima: Ada, lg meeting sama Pak Jaka ... bakalan lama deh Tiara: Ok 👌 Di Starbuck PIM ya? Naima: Sip👍 Naima mendudukan dirinya pada keranjang ayunan. Mencoba menc
Jemari yang terjalin, dengan sama-sama berhiaskan cincin. Jemari lentik dengan kuku bening terawat berhiaskan cincin berlian indah. Sedang jemari besar berhias cincin palladium sederhana. Di dalamnya terukir nama masing-masing sang pemilik jari dan juga pemilik hati. Sebagai doa juga harapan, ikatan mereka tak akan pernah terputus, seperti cincin mereka. Setelah menghabiskan sore dengan sahabat, sekarang Naima sedang berada di sebuah restoran ternama dengan sang kekasih yang tak pernah melepaskan tautan jemarinya. “Bagaimana tadi? Apakah kalian bersenang-senang?” tanya Albe memecah keheningan. Naima menoleh, menatap Albe lamat-lamat. “Cuma ngobrol di cofee shop, setelah itu keliling aja. Cuci mata, lihat yang bening-bening,” goda Naima dengan alis ia naik turunkan, mengikuti gaya Albe jika menggodanya. Albe berdecak dan terkekeh. “Bening yang seperti apa? Apakah ada yang bisa menarik perhatianmu?” Albe menggenggam jemari Naima membawa ke bibirnya. “Ada beberapa, tapi setelah aku d
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang